A.
PENDAHULUAN
Wakaf
bukanlah sesuatu yang asing bagi umat Islam karena eksistensinya bisa dikatakan
hampir bersamaan dengan eksistensi Islam dan umat Islam itu sendiri. Masih
segar dalam ingatan umat Islam, bahwa ketika Rasulullah, pembawa risalah Islam,
berhijrah dari Makkah menuju Madinah dan sesampainya di Madinah beliau
memperkenalkan wakaf kepada kaum Muslimin, di mana pada masa itu kaum asli
Madinah yang bernama kaum Najja mendapatkan tawaran dari Rasulullah, untuk
mewakafkan tanahnya karena ketika itu beliau memerlukan tanah untuk pembangunan
masjid. Baliau mengatakan:”Wahai Bani
Najja, maukah kalian menjual kebun kalian ini?” Mereka menjawab:”(Ya!, tapi),
demi Allah, kami tidak akan meminta harganya, kecuali mengharapkan pahala dari
Allah.” Kemudian beliau mengambilnya, lalu membangun masjid di atasnya.”
Dari sinilah, lalu menjadi tradisi umat Islam mewakafkan tanah-tanah miliknya
untuk keperluan pembangunan masjid dan kepentingan umum lainnya.[1]
Selama
ini sebagian umat Islam telah terbiasa mewakafkan harta bendanya yang tetap
(tidak bergerak) seperti tanah, namun untuk mewakafkan harta bendanya yang
tidak tetap (bergerak) tidak begitu terbiasa. Hal tersebut tidak terlepas dari
pemahaman tentang lebih afdholnya mewakafkan harta benda berupa benda tetap
seperti tanah dari pada benda lainnya yang bergerak. Keafdholan tersebut
ditopang atas alasan antara lain, karena yang dicontohkan Rasulullah adalah
wakaf tanah dan karena tanah merupakan harta benda yang bisa dibilang kekal
sifatnya atau tidak gampang musnah, meskipun bisa musnah. Sedang untuk wakaf
berupa benda lainnya tidaklah seperti demikian keadannya.
Namun pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia
telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, yang di
dalamnya menentukan bahwa benda yang dapat diwakafkan tidak saja benda tetap
(tidak bergerak) tetapi terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak. Di antara
benda yang bergerak yang dapat diwakafkan adalah wakaf tunai (wakaf uang).
Wakaf jenis ini telah diintroduser oleh Prof. Dr. A. Mannan, Ketua Social
Invesment Bank Ltd. Dhaka, Bangladeh, seorang ekonom yang terkemuka dan
cendekiawan Muslim yang sejak lama dikenal memiliki komitmen yang jelas
terhadap sistem ekonomi Islam.
Apakah
sebenarnya wakaf tunai itu? bagaimanakah tata cara mewakafkannya? Bolehkah
wakaf tunai itu menurut pandangan hukum Islam? Melalui makalah ini penulis
mencoba untuk menelusurinya melalui sumber bacaan yang ada.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Wakaf Tunai
Secara
bahasa, kata wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa”
(berhenti) atau “waqfun” (terhenti).
Kata ini terkandung maksud, bahwa harta benda yang telah diwakafkan adalah
berhenti, tidak boleh dipindahkan. Baik dipindahkan dengan cara memberikan
kepada orang lain (hibah), dengan
cara menjual, dengan cara mewariskan, atau dengan bentuk-bentuk perpindahan
lainnya. Atau, berarti “Habasa”
(menahan) atau “habsun” (tertahan).
Dari kata ini terkandung maksud sama seperti yang terkandung dalam kata waqaf, bahwa harta benda
yang telah diwakafkan itu keadaannya
tertahan atau ditahan. Maksudnya, tidak boleh dipindahtangankan, baik dengan
cara menjual, menghibahkan, mewariskan atau lainnya[2].
Menurut
istilah, wakaf adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.
Demikian Sayid Sabiq mendefinisikannya dalam kitabnya Fiqhussunnah: 14 : 148.
Para ahli hukum Islam lainnya, hampir sama dengan Sayid Sabiq dalam
medefinisikan wakaf tersebut. Imam Abu Hanifah, misalnya, yang menyatakan wakaf
adalah menahan benda dan memberikan hasilnya. Golongan Malikiyah menyatakan,
wakaf adalah menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik manfaat tersebut
berupa sewa atau hasilnya, untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan
bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang
mewakafkan (wakif). Sementara jumhur
ulama mendefinisikan wakaf, dengan menahan harta yang dapat diambil manfaatnya
dengan tetap utuhnya barang.
Dari
beberapa definisi tersebut dapat difahami bahwa wakaf adalah memberikan manfaat
benda kepada pihak lain, baik perorangan atau umum, di mana bendanya tidak boleh
dipindahtangankan kepada pihak lain.
Secara
umum definisi wakaf tunai adalah penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang
tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang
tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya. Dalam pengertian yang
lain, wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Juga termasuk ke dalam
pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham, cek dan lainnya.
Jadi
Wakaf tunai atau kadang disebut dengan wakaf uang adalah wakaf berupa uang
dalam bentuk rupiah yang dapat dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan
untuk mauquf 'alaih (penerima wakaf).
2.
Landasan
Hukum Wakaf Tunai
Sistem
wakaf merupakan konsep yang tidak secara jelas dan tegas disebutkan dalam al-Qur’an. Bebeda dengan zakat yang
secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an.
Kendatipun demikian, dalam beberapa ayat yang memerintahkan manusia untuk
berbuat baik untuk kebaikan masyarakat, dipandang oleh para ahli sebagai
landasan perewakafan.[3]
Sebagaimana
kita ketahui bahwa wakaf tunai dalam era kini terkesan sangat baru, sehingga
membutuhkan sosialisasi yang sangat mendasar terhadap pemahaman masyarakat
tentang wakaf tunai tersebut. Pemahaman atau paradigma masyarakat ialah tentang
landasan hukum wakaf yang selama ini hanya dipahami sebagai benda yang tetap
atau tidak bergerak. Para ulama mengemukakan beberapa ayat yang sifatnya umum
yang dijadikan landasan hukum wakaf, antaranya ialah :
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îÏJym ÇËÏÐÈ
Artinya:
”Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
(Q.S. al-Baqarah: 267).
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
Artinya:
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian
harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya
Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran: 92).
Ayat-ayat
tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang
diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat
al-Baqarah telah menyebutkan pahala
yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di
jalan Allah.
Di
antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang diceritakan
oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:
اد قطع عمله الا من ثلاث
صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صا لح يدعواله
Artinya:
“Jika seseorang
meninggal dunia, maka terputuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga;
shadaqah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya”.
(HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Para
ulama menafsirkan kata-kata shadaqah jariah yang akan terus mengalir pahalanya
dalam hadist tersebut dengan wakaf. Nash nash diatas merupakan nash yang jelas
yang secara khusus dijadikan landasan utama adanya syari'ah wakaf.
3.
Pengelolaan
Wakaf Tunai
Sejak
awal harus disadari bahwa wakaf, tidak terkecuali wakaf tunai merupakan dana
publik. Wakaf tunai akan mempermudah masyarakat atau wakif dalam mewakafkan hartanya karena wakif tidak memerlukan dana yang besar untuk mewakafkan sebagian hartanya.
Karena dana wakaf dihimpun dari masyarakat luas yang dengan sukarela menyisihkan
hartanya untuk diwakafkan, maka Wakaf seyogyanya dimanfaatkan untuk kepentingan
masyarakat luas pula. Agar pemanfaatan wakaf untuk kepentingan luas menjadi maksimal,
pengelolaannya harus dilakukan secara professional, transparan dan dapat dipertanggung
jawabkan. Ketiga syarat ini tidak bisa ditawar lagi dalam pengelolaan wakaf,
lebih-lebih wakaf tunai.
Untuk
menjamin ketiga syarat pengelolan tersebut, maka lembaga wakaf tunai seyogyanya
memenuhi syarat sebagai berikut: [4]
a) Memiliki
akses yang baik kepada calon wakif
b) Memiliki
kemampuan untuk menginvestasikan dana wakaf
c) Mampu
untuk mendistribusikan hasil atau keuntungan dari investasi dana wakaf
d) Memiliki
kemampuan untuk mencatat atau membukukan segala hal yang berkaitan dengan
masyarakat yang diberi wakaf, dan peruntukan wakaf tersebut.
e) Lembaga
pengelola wakaf tunai hendaknya dipercaya oleh masyarakat dan kinerjanya
dikontrol sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap
pengelola dana publik.
Oleh
karena itu Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak yaitu pemberi wakaf (wakif), Pengelola wakaf (Nazhir) yang dalam hal ini berupa
lembaga keuangan Islam, yang nantinya juga bertindak sebagai manajer investasi,
dan beneficiary (masyarakat yang
diberi wakaf).
1.
Wakif
Wakif
adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Dengan adanya wakaf tunai
seorang wakif tidak lagi memerlukan
jumlah uang yang besar untuk dibelikan tanah atau bangunan guna diwakafkan.
Karena wakaf uang jumlahnya bisa lebih bervariasi, sehingga orang yang memiliki
dana terbatas sudah bisa memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi
konglomerat terlebih dahulu. Dalam hal ini masyarakat dapat memberikan wakaf
dalam bentuk uang tunai dimana uang tersebut dapat dikumpulkan terlebih dahulu
oleh seorang pengelola untuk kemudian diinvestasikan, dan benefit atas
investasi tersebut dapat didistribusikan kepada yang membutuhkannya. Untuk
menjamin dana wakaf tunai tersebut dikelola dengan baik maka wakif mempunyai hak-hak seperti yang
telah diatur dalam Undang-Undang RI No.8 tahun 1999 tentang perlindungan
Konsumen yaitu : [5]
a) Hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
b) Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
c) Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak
yang ketiga ini penting terutama bagi mereka yang ingin mewakafkan hartanya akan
tetapi tidak mengetahui teknisnya.
2.
Nazhir
Nazhir adalah
pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif
untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Sebagaimana yang
telah dikemukakan sebelumnya bahwa wakaf tunai atau wakaf uang harus dikelola
secara profesional dan melalui lembaga-lembaga yang kinerjanya dikontrol sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka lembaga-lembaga yang
dapat dipercaya dan memenuhi kriteria untuk mengelola wakaf tunai adalah
lembaga-lembaga keuangan syari’ah. Belakangan banyak tumbuh lembaga-lembaga
keuangan semisal bank syari’ah seperti asuransi syari’ah, atau lembaga
pembiayaan syari’ah lainnya. Dalam pembahasan ini lembaga yang menjadi nazhir wakaf
tunai adalah bank syari’ah.
Di
sisi ketentuan perbankan, yaitu SK Dir. BI No.32/34/KEP/DIR tentang bank umum berdasarkan
prinsip syari’ah, kegiatan usaha bank yang terkait dengan masalah wakaf adalah sebagaimana
yang tertera dalam pasal 29 ayat 2 SK Direktur Bank Indonesia tersebut dimana “Bank
dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal
dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah
atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk
santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul
hasan)
Dari
ketentuan di atas dapat dilihat bahwa secara umum bank syari’ah dapat mengambil
peran sebagai penerima dan penyalur dana wakaf. Wewenang pengelolaan ini dipandang
penting karena berbeda dengan dana sosial lainnya, seperti zakat, infak atau shadaqah,
dana wakaf tidak dibagikan langsung kepada yang berhak melainkan harus dikelola
terlebih dahulu untuk kemudian hasilnya baru dibagikan kepada yang berhak.
Di
sisi lain, dalam SK Dir. BI No.32/34/KEP/DIR tentang bank umum berdasarkan prinsip
syari’ah, pasal 28 huruf m disebutkan bahwa “bank dalam melakukan kegiatan usahanya
dapat melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui
oleh Dewan Syari’ah Nasional”
Secara
regulatif, bank syari’ah merupakan lembaga yang “Syari’ah high Regulated” dengan
dipantau oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Pemantauan
yang dilakukan DSN dan DPS berkaitan dengan apakah operasional dan produk bank
syari’ah sudah seiring dengan ketentuan syari’ah atau tidak.
4.
Wakaf
Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam
Setelah
membicarakan panjang lebar tentang pengertian wakaf dan rukun serta
syarat-syaratnya, maka tibalah saatnya membicarakan tentang wakaf tunai dalam
perspektif hukum Islam. [6]
Mengenai hukum
wakaf uang (wakaf tunai) ini, para ulama hukum Islam berbeda pendapat. Ada yang
membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Adapun alasan yang tidak
membolehkan adalah sebagai berikut:
·
Bahwa uang bisa habis
zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dengan membelanjakannya,
sehingga bendanya lenyap. Sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan
hasil dari modal dasar yang tetap lagi kekal, tidak habis sekali pakai. Oleh
karena itu ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda
yang tahan lama, tidak habis dipakai.
·
Uang seperti dirham dan
dinar diciptakan sebagai alat tukar yang memudahkan orang melakukan transaksi
jual beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya.
Adapun alasan
ulama yang membolehkan wakaf uang adalah seperti diuraikan dalam kutipan
berikut ini:[7]
Dalam kitab al-Is’af fi Ahkamil Awqaf, Ath-Tharablis
menyatakan:”Sebagian ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang
dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat
Abu Hanifah, tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan, dirham atau
dinar, dan dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar, seperti
makanan gandum. Yang membuat mereka merasa aneh adalah karena tidak mungkin
mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera
mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan dana
tunai dirham?” Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah Al-Anshari menjelaskan
dengan mengatakan :”Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah dan
labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar
dengan usaha mudharabah, kemudian hasilnya disedekahkan.”
Di
kalangan Malikiyah populer pendapat yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang
kontan, seperti dilihat dalam kitab Al Majmu’ oleh Imam Nawawi (15/325) yang
mengatakan: dan para sahabat kita berbeda pendapat tentang berwakaf dengan dana
dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar
membolehkan berwakaf dengannya dan yang tidak membolehkan mempersewakannya
tidak membolehkan mewakafkannya. “Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
(31/234-235), meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang
membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang sama dikatakan pula oleh
Ibnu Qudamah dalam bukunya al-Mughni (8/229-230).
Sebagian
ulama dari kalangan Syafii membolehkan wakaf tunai. Dalam kitab al-Hawil Kabir, al-Mawardi menyatakan
diriwayatkan dari Abu Tsaur dari Imam as-Syafi’i tentang bolehnya wakaf dinar
dan dirham (uang).
Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi
fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi didasarkan
kepada hadits Ibnu Umar. Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan
definisi (baru) tentang wakaf,yaitu:[8]
“Menahan harta
yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak
melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau
mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak
haram) yang ada.”
Apabila
memperhatikan definisi wakaf, yang diberikan oleh para ulama hukum Islam, di
mana wakaf didefinisikan sebagai menahan bendanya dan memberikan manfaatnya ke
arah kebaikan, baik perorangan atau kepentingan umum, dan memperhatikan tata
cara mewakafkan dan pengelolaannya, maka ternyata dzat uang wakaf tetap
tersimpan di dalam Bank Penerima Wakaf Uang sebagai nadzir. Uang wakaf tersebut dikelola oleh Bank tersebut dengan
cara-cara yang dibenarkan oleh syariat. Dari pengelolaan tersebut diperoleh
keuntungan. Dan dari keuntungan itu dipergunakan pendanaan atau
pembiyaan-pembiyaan berbagai keperluan umat Islam. Dari kenyataan tersebut
diperoleh kesimpulan, bahwa wakaf tunai telah memenuhi pengertian wakaf dan
tujuan dari wakaf secara umum. Karenanya, pendapat-pendapat tentang kebolehan
wakaf tunai sebagai diuraikan di atas dapat dipertahankan dan dapat dijadikan
pijakan tentang bolehnya Wakaf Tunai.
5.
Tata
Cara Wakaf Tunai
Sebagaimana
diuraikan di muka, bahwa wakaf tunai merupakan terobosan dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu pasal 28 sampai pasal 31, yang dapat
dijabarkan sebagai berikut:[9]
·
Wakif
dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui
lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
·
Wakaf benda bergerak
berupa uang dilaksanakan oleh wakif dengan
pernyataan kehendak wakif yang
dilakukan secara tertulis.
·
Wakaf benda bergerak
berupa uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
·
Sertifikat wakaf uang
diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada wakif dan
nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
·
Lembaga keuangan
syariah atas nama nazhir mendaftarkan
harta benda wakaf berupa uang kepada menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak diterbitkan sertifikat wakaf uang.
Dari berbagai
ketentuan di atas, tata cara perwakafan tunai kiranya dapat dikonstruksi
sebagai berikut:
·
Wakaf uang (tunai) yang
dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.
·
Karenanya wakaf uang
yang berupa mata uang asing, harus dikonversi lebih dulu ke dalam rupiah.
·
Wakif
yang akan mewakafkan uangnya wajib hadir di Lembaga Keuangan Syariah Wakaf Uang
(sebagai nazhir) yang telah ditunjuk
oleh Menteri Agama berdasarkan saran dan pertimbangan dari Badan Wakaf
Indonesia, untuk:
o Menyatakan
kehendaknya, yaitu mewakafkan uangnya;
o Menjelaskan
kepemilikan dan asal usul uang yang akan diwakafkan;
o Menyetorkan
secara tunai sejumlah uang ke lembaga keuangan syariah tersebut;
o Mengisi
formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai Akta Ikrar Wakaf.
·
Dalam hal wakif tidak dapat hadir, maka wakif dapat menunjuk wakil atau
kuasanya.
·
Wakif
juga dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan), yang selanjutnya nazhir menyerhakan akta ikrar wakaf
tersebut kepada Lembaga Keuangan Syariah.
Adapun syarat
yang harus dipenuhi oleh suatu Lembaga Keuangan Syariah untuk menjadi Penerima
Wakaf Uang adalah sebagai berikut:[10]
·
Memiliki kantor
operasional di wilayah Republik Indonesia
·
Bergerak di bidang
keuangan syariah;
·
Memiliki fungsi
menerima titipan (wadi’ah).
·
Lembaga Keuangan
Syariah mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Agama dengan
melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum.
·
Mengajukan permohonan
menjadi Lembaga Keuangan Syariah
·
Penerima Wakaf Uang
secara tertulis kepada Menteri Agama dengan melampirkan anggaran dasar dan
pengesahan sebagai badan hukum.
Kemudian Menteri
paling lambat dalam waktu tujuh hari menunjuk lembaga keuangan syariah atau
menolak permohonan tersebut sebagai penerima wakaf uang.
Lalu
Lembaga Keuangan Syariah yang ditunjuk: (1) mengumumkan kepada publik atas keberadaannya
sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (2) menyediakan blangko
Sertifikat Wakaf Uang (3) menerima secara tunai wakaf uang dari wakif atas nama nazhir (4) menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama nazhir yanmg ditunjuk wakif
(5) menerima pernyataan kehendak wakif
yang dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak wakif (6) menerbitkan sertifikat wakaf
uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada nazhir yang ditunjuk oleh wakif (7) mendaftarkan wakaf uang
tersebut kepada Menteri Agama atas nama nazhir.
Sedang
isi sertifikat wakaf uang sekurang-kurangnya harus memuat keterangan mengenai:
(a) nama Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf (b) nama wakif (c) alamat wakif
(d) jumlah wakaf uang (e) peruntukan wakaf (f) jangka waktu wakaf (g) nama nadzir yang ditunjuk (h) tempat dan
tanggal penerbitan sertifikat wakaf uang.
Bagi
wakif yang berkehendak melakukan
wakaf uang dalam jangka waktu tertentu, maka pada saat jangka waktu tersebut
berakhir, nazhir wajib mengembalikan
jumlah pokok wakaf uang tersebut kepada wakif
atau ahli warisnya/penerus haknya melalui lembaga keuangan syariah penerima
wakaf tunai.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari uaraian di
atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
·
Wakaf tunai adalah
wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai.
·
Wakaf tunai dapat
dilakukan di Lembaga Keuangan Syariah yang telah menerima penunjukan dari
Menteri Agama sebagai Penerima Wakaf Uang (sebagai nazhir) dan dapat juga dilakukan di Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang untuk selenjutnya
diserahkan kepada Lembaga Keuangan syariah Penerima Wakaf Tunai yang ditunjuk.
·
Menurut hukum Islam
wakaf tunai diperbolehkan, sekalipun ada juga ahli hukum Islam lainnya yang
menolak. Namun pendapat yang membolehkan lebih dapat diterima oleh perkembangan
kepentingan umat Islam.
2.
Saran
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan tentang Wakaf Tunai, kami menyadari bahwa
dalam makalah kami masih banyak terdapat kekurangan. Maka dari itu kritik dan
saran sangat kami harapkan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
D.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Ali,
Mohamad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat
dan Wakaf. Jakarta: UI Press,
1988.
Ibn
Manzur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar
Sadr, 1990.
Mannan,
M.A. Sertifikasi Wakaf Tunai: Sebuah
Inovasi Instrumen Keuangan Islam,
Depok: CIBER – PKYII UI, 2001.
Sabiq,
Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena
Pundit Aksara, 2007.
Sudarsono,
Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,
Yogyakrta: EKOHISIA, 2008.
[1] Sariman, Wakaf Tunai dalam Prespektif Hukum Islam, http://pabangil.pta-surabaya.go.id/
[2] Ibn Manzur, Lisan
al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadr, 1990), hal.
359.
[3] Mohamad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
(Jakarta: UI Press, 1988), hal. 80
[4] M.A. Mannan, Sertifikasi Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi
Instrumen Keuangan Islam, (Depok: CIBER – PKYII UI, 200), hal. 37
[5] Ibid, hal. 39
[6] Sariman, Wakaf Tunai dalam Prespektif Hukum Islam,
http://pabangil.pta-surabaya.go.id/
[7] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundit
Aksara, 2007), hal 96
[8] Ibid. hal. 97
[9] Mohamad Daud Ali, Sistem Ekonomi. . . , hal. 83
[10] Heri Sudarsono, Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakrta: EKOHISIA, 2008), hal. 285.