I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
Islam, ada beberapa bentuk perikatan untuk memindahkan hak milik dari seseorang
kepada orang lain, baik pemindahan hak milik yang bersifat sementara maupun
selamanya, seperti jual-beli, waris, wasiat, shadaqah, hadiah, hibah
dan lain-lain.Hibah
merupakan ajaran Islam yang mengatur tentang bagaimana kita sebagai makhluk
sosial untuk berinteraksi dengan yang lain. Banyak dijelaskan tentang hibah dengan landasan dari al-Qur’an
dan Hadits-hadits ahkam. Hal itu
dikarenakan masalah mu’amalah
merupakan bidang yang amat lebar, yakni sama luasnya dengan aktivitas kehidupan
keduniaan kita sehari-hari. Dalam hubungan ini, maka Islam telah memberikan
dasar-dasar yang kuat sebagai pegangan yang tidak akan menghambat manusia itu
berkreativitas sepanjang tidak menyalahi dasar-dasar syari’at, termasuk hibah
yang merupakan aktivitas yang bernilai positif sebagai pemererat tali silaturrahim.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian hibah menurut para imam
mazhab?
2. Apa-apa
saja syarat dan rukun hibah menurut
para imam mazhab?
3. Bagaimana
hukum menarik kembali harta yang telah dihibahkan
menurut para imam mazhab?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
pengertian hibah menurut para imam
mazhab.
2. Mengetahui
tentang syarat dan rukun hibah
menurut para imam mazhab.
3. Memperoleh
pengetahuan tentang hukum menarik kembali harta yang telah dihibahkan menurut para imam mazhab.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertin
Hibah Secara
bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu akad yang menjadikan
kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara
sukarela.[1]Di
dalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok
persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia
hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang
lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka
harta tersebut disebut ijarah
(pinjaman).Adapum
definisi hibah dari empat mazhab yaitu:[2]Menurut
mazhab Hanafi, hibah adalah
memberikan suatu benda tanpa menjanjikan imbalan seketika. Mazhab Hanafi
memberikan definisi yang lebih rinci, yaitu pemilikan harta dari seorang
terhadap orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan
tindakan hukum terhadap harta itu ketika masih hidup dan tanpa mengharap
imbalan.Menurut
mazhab Maliki, hibah adalah memberikan
suatu barang milik sendiri tanpa mengharap suatu imbalan kepada orang yang
diberi.Mazhab
Syafi’i memberikan definisi hibah
secara singkat, yaitu memberikan barang milik sendiri secara sadar sewaktu
hidup.Menurut
mazhab Hambali, hibah adalah
pemberian milik yang dilakukan oleh orang dewasa yang pandai yang berhak
menggunakan sejumlah harta yang diketahui atau tidak diketahui namun sulit mengetahuinya,
harta tersebut memang
ada, dapat diserahkan dalam kondisi tidak wajib dalam keadaan masih hidup dan
tanpa imbalan.
B.
Macam-macam
Hibah 1) Hibah mu’abbadMu’abbad
disini dimaksudkan pada kepemilikan penerima hibah terhadap barang hibah
yang diterimanya. Kata mu’abbad sendiri
dapat diartikan dengan selamanya atau sepanjang masa. Hibah dalam kategori ini tidak bersyarat, barang sepenuhnya menjadi
milik mauhublah. Sehingga dia mampu
melakukan tindakan hukum pada barang tersebut tanpa ada batasan waktu.
2) Hibah mu’aqqatHibah
jenis mu’aqqat merupakan hibah yang dibatasi karena ada
syarat-syarat tertentu dari pemberi hibah
berkaitan dengan tempo atau waktu. Harta yang dihibahkan biasanya hanya berupa manfaat, sehingga penerima hibah tidak mempunyai hak milik
sepenuhnya untuk melakukan tindakan hukum. Terdapat dua bentuk hibah yang bersyarat, yaitu al-‘umra’ dan al-ruqba. Al-‘umra’ adalah
hibah yang hanya diberikan pada
seseorang (penerima hibah) sepanjang
hidupnya. Jika penerima hibah itu
meninggal maka harta yang dihibahkan
kembali pada penghibah atau ahli
warisnya.[3] Apabila
seseorang menyuruh orang lain mendiami rumahnya dengan mengatakan: “rumah ini aku berikan kepadamu agar engkau
diami sepanjang umurmu”, maka hal itu berarti ia telah memberikan manfaat
kepadanya untuk mendiami rumah tersebut sepanjang hidupnya. Jika ia telah meninggal,
rumah tersebut kembali kepada pemiliknya, yaitu orang yang memberikannya.Hibah
seperti ini diperselisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat:
Pertama,
bahwa hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali. Yakni
bahwa hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya (ar-raqabah), pendapat ini dikemukakan
oleh Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad, dan sekelompok fuqaha lainnya.
Kedua,
bahwa orang yang diberi hibah itu
hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka
pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan
para pengikutnya, apabila dalam akad tersebut disebutkan keturunan sedangkan
keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya.
Ketiga,
bahwa apabila pemberi hibah berkata: “barang ini, selama umurku masih ada,
untukmu dan keturunanmu”, maka barang tersebut menjadi milik orang yang
diberi hibah. Jika dalam akad
tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan, maka sesudah meninggalnya orang
yang diberi hibah, barang tersebut
kembali kepada pemberi hibah atau
ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud dan Abu Tsaur.
Selanjutnya
yaitu al-ruqba yang artinya mengawasi
satu sama lain. Di sini antara pemberi dan penerima hibah saling mengawasi siapakah di antara mereka yang memiliki umur
lebih panjang maka dialah yang akan memiliki harta tersebut sampai ke anak cucu
atau ahli waris mereka, oleh karena itu barang yang dihibahkan secara otomatis langsung berpindah kepemilikannya pada
pihak yang masih hidup ketika salah satu dari mereka meninggal dunia.[4]Memberi
hibah secara ruqba, yaitu seorang mengatakan: “rumahku untukmu jika aku meninggal sebelummu, kamu gabungkan pada
rumahmu, dan rumahmu untukku jika engkau meninggal sebelumku, maka gabunglah
pada rumahku”, maka hukumnya adalah sah. Demikian menurut pendapat Syafi’i,
Hambali dan Abu Yusuf. Sedangkan menurut pendapat Maliki, Hanafi dan Muhammad
bin al-Hasan hibah ruqba adalah tidak
sah.C.
Kadar
Harta yang Boleh Dihibahkan
Islam
tidak menetapkan kadar atau had
tertentu bagi harta yang hendak dihibahkan.
Ini kerana harta yang hendak dihibahkan
itu merupakan milik pemberi hibah,
maka terpulanglah kepada pemberi hibah
membuat pertimbangan terhadap kadar harta yang ingin dihibahkan. Walaupun begitu, Islam menggalakkan hibah diberikan secara adil, lebih-lebih lagi jika diberikan kepada
anak-anak.Jumhur
ulama (Hanafi, Maliki dan Syafi’i) berpendapat bahwa sunat menyamakan pemberian
di antara anak-anak dan pemberian yang lebih kepada salah seorang daripada mereka
adalah makruh hukumnya, walaupun pemberian itu sah. Bagi Abu Yusuf, melebihkan
pemberian kepada sebahagian daripada anak-anak adalah diharuskan jika ibu bapak
tidak berniat menimbulkan bahaya kepada anak-anak yang lain. Sekiranya ibu bapak
berniat sedemikian, maka menjadi kewajiban mereka menyamakan pemberian
tersebut.
Menurut
mazhab Hambali, keadilan dalam pemberian hibah
kepada anak-anak merupakan perkara yang wajib. Manakala menurut Imam Malik,
tidak boleh memberi hibah semua harta
kepada sesetengah anaknya dan tidak kepada yang lain.Menurut
pendapat Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Abu Yusuf, cara pemberian harta yang adil kepada
anak-anak semasa hayat ialah dengan
cara menyamakan pemberian tersebut tanpa membedakan di antara anak laki-laki
dan anak perempuan. Sebaliknya, golongan Hambali dan Muhammad bin Hasan
al-Shaybani berpendapat bahwa keadilan yang dikehendaki dalam pemberian adalah
mengikuti kadar mereka dalam pembahagian harta pusaka, yaitu bahagian anak
laki-laki menyamai dua bahagian anak perempuan.D.
Rukun
Dan Syarat Hibah Para
ulama sepakat mengatakan bahwa hibah
mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga hibah itu dianggap sah dan berlaku hukumnya.
Menurut Ibnu Rusyd, rukun hibah ada
tiga: (1) orang yang menghibahkan (al-wahib), (2) orang yang menerima hibah (al-mauhublah), pemberiannya (al-hibah).
Hal senada dikemukan Abdurrahman al-Jaziri, bahwa rukun hibah ada tiga macam: (1) ‘aiqid
(orang yang memberikan dan orang yang diberi) atau wahib dan mauhublah, (2) mauhub (barang yang diberikan) yaitu
harta, (3) shighat atau ijab dan qabul.
Ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa rukun hibah
itu adalah adanya ijab (ungkapan
penyerahan/pemberian harta), qabul
(ungkapan penerimaan) dan qabd (harta
itu dapat dikuasai langsung). Jumhur
ulama mengemukakan bahwa rukun hibah
itu ada empat, yaitu: (a) orang yang menghibahkan,
(b) harta yang dihibahkan, (c) lafaz hibah, dan (d) orang yang menerima hibah.[5]Adapun
persyaratan bagi orang yang boleh memberi atau menerima hibah dapat diuraikan secara terperinci dan akan menguraikan
tentang syarat-syarat hibah yang mana
syarat-syarat ini lahir dari bahagian-bahagian atau komponen rukun hibah yang telah disebutkan di atas.a. Syarat
orang yang memberikan hibah (wahib)
Sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj, sebagai berikut: “Maka disyaratkan terhadap orang yang menghibahkan adalah memiliki,
mempunyai hak untuk mentasarrufkan hartanya”.[6]Dari
pernyataan ini dipahami ada dua pernyataan bagi orang yang akan menghibahkan hartanya:1. Orang
yang memiliki, yaitu orang yang mempunyai hak milik penuh terhadap harta yang
dihibahkan, baik secara hakikat
maupun secara hukum, jadi tidak sah menghibahkan
sesuatu yang belum jelas kepemilikannya seperti menghibahkan ikan di laut atau hutan belantara, dan sebagainya.
2. Orang
yang mempunyai hak mentasarrufkan
hartanya. Jadi orang gila, anak-anak, orang yang masih dalam perwalian tidak
sah atau tidak boleh menghibahkan
hartanya.
b. Syarat
orang yang menerima hibah (mauhublah)
Dalam
hal ini juga tidak jauh berbeda dengan syarat orang yang memberi hibah, sebagaimana yang diungkapkan juga
oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya, sebagai berikut: “Dan disyaratkan bagi orang yang menerima
hibah itu adalah orang yang ahli memiliki apa yang dihibahkan baginya”.Dari
pernyataan ini dipahami bahwa orang yang boleh menerima hibah itu adalah ahli milik, yaitu orang-orang yang benar-benar
mampu dalam memelihara atau mengurus harta yang dihibahkan kepadanya. Dengan demikian tidak sah hibah ditujukan atau diberikan kepada anak-anak, dan
seumpamanya. Karena anak-anak dan orang
gila dianggap bukanlah orang yang mampu memelihara atau mengurus hartanya.Ulama
Hanafiyah menetapkan bahwa seseorang dibolehkan memberi hibah apabila memenuhi empat syarat. Adapun empat syarat tersebut
adalah:1) Merdeka
Seorang
hamba tidak sah memberi hibah, sebab
menurut hukum ia tidak mempunyai harta dan dia sendiri adalah milik tuannya.2) Berakal
dan tidak dibawah pengampuan
Seorang
gila tidak sah memberi hibah, begitu
pula anak-anak, orang bodoh dan pemboros yang ditaruh dalam pengampuan.
Pendapat ini disepakati oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Sebutan “berakal” disini menurut ulama Hanafiyah berakal secara umum.
Karenanya, seorang yang mabuk disebabkan karena minum khamar misalnya, tetap sah memberi hibah. Ini berbeda dengan pendapat Malikiyah yang menyatakan orang
mabuk tidak sah memberi hibah, sebab
bagaimanapun pemberian itu adalah di luar kesadarannya sehingga kerelaannya
tidak dapat dipercaya sepenuhnya.3) Baligh, anak-anak
tidak sah memberi hibah.
4) Ia
pemilik barang yang dihibahkan
Seseorang
tidak sah menghibahkan sesuatu yang
bukan miliknya. Sekalipun sedang berada di dalam tangannya. Karenanya, seorang
pencuri tidak sah menghibahkan barang
curiannya.Bagi
orang yang berhak menerima hibah ulama
Hanafiyah memberikan persyaratan bagi seseorang yang boleh menerima hibah, menurut pendapat mereka siapa
saja boleh menerima hibah. Baik orang
baligh, berakal, maupun gila,
anak-anak ataupun orang ditaruh di bawah pengampuan. Syarat-syarat yang
diberlakukan terhadap pemberi hibah
tidak berlaku bagi penerima hibah.[7]Pendapat
ini tidak disepakati oleh ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah. Mereka berpendapat
bahwa seseorang baru sah menerima hibah
apabila telah dipenuhi syarat taklif.
Dengan demikian pendapat mereka, orang gila dan anak-anak ataupun orang yang
ditaruh di bawah pengampuan, tidak sah menerima hibah. Karena orang-orang yang demikian tidak ahliah al-milk (diakui kemampuannya untuk mengurusi harta benda
miliknya), ataupun ahlu al-tasarruf
(diakui kemampuannya untuk mentransaksikan harta benda miliknyaSedangkan
syarat barang yang dihibahkan adalah:[8]a. Harta
yang akan dihibahkan ada ketika akad hibah berlangsung. Apabila harta yang dihibahkan itu adalah harta yang akan ada,
seperti anak sapi yang masih dalam perut ibunya atau buah-buahan yang masih
belum muncul di pohonnya, maka hibahnya
batal. Para ulama mengemukakan kaidah
tentang bentuk harta yang dihibahkan
itu, yaitu: (segala yang sah diperjualbelikan sah dihibahkan).
b. Harta
yang dihibahkan itu bernilai harta
menurut syara'.
c. Harta
itu merupakan milik orang yang menghibahkannya.
d. Menurut
ulama Hanafiyah apabila harta yang dihibahkan
itu berbentuk rumah harus bersifat utuh, sekalipun rumah itu boleh dibagi. Akan
tetapi, ulama Malikiyah, Syafi'iyah dan Hambaliyah mengatakan bahwa menghibahkan sebagian rumah boleh saja dan
hukumnya sah. Apabila seseorang menghibahkan
sebagian rumahnya kepada orang lain, sedangkan rumah itu merupakan miliknya
berdua dengan orang lain lagi, maka rumah itu diserahkan kepada orang yang
diberi hibah, sehingga orang yang
menerima hibah berserikat dengan pemilik
sebagian rumah yang merupakan mitra orang yang menghibahkan rumah itu. Akibat
dari pendapat ini muncul pula perbedaan lain di kalangan ulama Hanafiyah,
Misalnya, apabila seseorang menghibahkan
hartanya yang boleh dibagi kepada dua orang, seperti uang Rp. 1.000.000,- atau
rumah bertingkat, menurut Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M), hibahnya tidak sah, karena ia
berpendapat bahwa harta yang dihibahkan
itu harus sejenis, menyeluruh dan utuh. Imam Abu Yusuf (731-798 M) dan Muhammad
ibn al-Hasan asy-Syaibani (748-804 M), keduanya pakar fiqh Hanafi, mengatakan hibah itu hukumnya sah, karena harta
yang dihibahkan bisa diukur dan
dibagi.
e. Harta
yang dihibahkan itu terpisah dari
yang lainnya dan tidak terkait dengan harta atau hak lainnya, karena prinsip barang
yang dihibahkan itu dapat
dipergunakan oleh penerima hibah
setelah akad dinyatakan sah. Apabila seseorang
menghibahkan sebidang tanah, tetapi
di tanah itu ada tanaman orang yang menghibahkan,
maka hibah tidak sah. Begitu juga
apabila seseorang menghibahkan sebuah
rumah, sedangkan di rumah itu ada barang orang yang menghibahkan, maka hibahnya
juga tidak sah. Dari permasalahan ini muncul pula persoalan menghibahkan sapi yang masih hamil. Orang
yang menghibahkan sapi itu menyatakan
bahwa yang dihibahkan hanya induknya
saja, sedangkan anak yang dalam perut induknya tidak. Hibah seperti ini pun hukumnya tidak sah.
f. Harta
yang dihibahkan itu dapat langsung
dikuasai (al-qabdh) penerima hibah. Menurut sebagian ulama Hanafiyah
dan sebagian ulama Hambaliyah, syarat ini malah dijadikan rukun hibah, karena keberadaannya sangat penting.
Ulama Hanafiyah, Syafi'iyah dan ulama Hambaliyah lainnya mengatakan al-qabdh (penguasaan terhadap harta itu)
merupakan syarat terpenting sehingga hibah
tidak dikatakan sah dan mengikat apabila syarat ini tidak dipenuhi. Akan
tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa al-qabdh
hanyalah syarat penyempurnaan saja, karena dengan adanya akad hibah, hibah itu telah sah. Berdasarkan perbedaan pendapat tentang al-qabdh ini, maka ulama Hanafiyah,
Syafi'iyah, dan Hambaliyah mengatakan bahwa hibah
belum berlaku sah hanya dengan adanya ijab
dan qabul saja, tetapi harus
bersamaan dengan al-qabdh (bolehnya
harta itu dikuasai), sekalipun secara hukum. Umpamanya, apabila yang dihibahkan itu sebidang tanah, maka syarat
al-qabdhnya adalah dengan menyerahkan
surat menyurat tanah itu kepada orang yang menerima hibah. Apabila yang dihibahkan
itu sebuah kendaraan, maka surat menyurat kendaraan dan kendaraannya diserahkan
langsung kepada penerima hibah.
Al-qabdh
itu sendiri ada dua, yaitu:
1) Al-qabdh
secara langsung, yaitu penerima hibah
langsung menerima harta yang dihibahkan
itu dari pemberi hibah. Oleh sebab
itu, penerima hibah disyaratkan orang
yang telah cakap bertindak hukum.
2) Al-qabdh
melalui kuasa pengganti. Kuasa hukum dalam menerima harta hibah ini ada dua,
yaitu:[9] a. Apabila
yang menerima hibah adalah seseorang
yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka yang menerima hibahnya adalah walinya.
b. Apabila
harta yang dihibahkan itu berada di
tangan penerima hibah, seperti harta
itu merupakan titipan di tangannya, atau barang itu ia ambil tanpa izin (al-gasb), maka tidak perlu lagi penyerahan
dengan al-qabdh, karena harta yang dihibahkan telah berada di bawah
penguasaan penerima hibah.
D.
Penarikan
Kembali Harta Hibah Ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa akad hibah
tidak mengikat, oleh sebab itu pemberi hibah
boleh saja mencabut kembali hibahnya.
Alasan yang mereka kemukakan adalah sabda rasulullah SAW:“Orang yang menghibahkan hartanya
lebih berhak terhadap hartanya, selama hibah itu tidak diiringi ganti rugi”.
(HR. Ibnu Majah, ad-Daruquthni, at-Thabrani, dan al-Hakim)
Akan
tetapi mereka juga mengatakan ada hal-hal yang menghalangi pencabutan hibah itu kembali, yaitu:[10]a) Apabila
penerima hibah memberi imbalan
harta/uang kepada pemberi hibah dan
penerima hibah menerimanya, karena
dengan diterimanya imbalan harta/uang oleh pemberi hibah maka tujuannya jelas untuk mendapatkan ganti rugi. Dalam
keadaan begini, hibah itu tidak boleh
dicabut kembali.
b) Apabila
imbalannya bersifat maknawi, bukan bersifat harta, seperti mengharapkan pahala
dari Allah, untuk mempererat hubungan silaturrahmi,
dan hibah dalam rangka memperbaiki
hubungan suami istri,
maka dalam kasus seperti ini menurut ulama Hanafiyah hibah tidak boleh dicabut.
c) Menurut
ulama Hanafiyah, hibah tidak boleh
dicabut apabila penerima hibah telah
menambah harta yang dihibahkan itu
dengan harta yang tidak dapat dipisahkan lagi, baik tambahan itu hasil dari
harta yang dihibahkan maupun bukan.
d) Harta
yang dihibahkan itu telah
dipindahtangankan penerima hibah
melalui cara apapun.
e) Wafatnya
salah satu pihak yang berakad hibah.
Apabila penerima hibah atau pemberi hibah wafat, maka hibah tidak boleh dicabut.
f) Hilangnya
harta yang dihibahkan atau hilang
disebabkan pemanfaatannya,
maka hibahpun tidak boleh dicabut.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang
tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih
kecil. Jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak
tersebut tidak memiliki hutang.[11] Ulama
Hambaliyah dan Syafi’iyah berpendapat
bahwa penerima hibah tidak dapat menarik
kembali/mencabut hibahnya dalam
keadaan apapun, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang meminta
kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya”.
(HR. Abu Daud dan an-Nasa’i)
Dalam
Hadis lain Rasulullah bersabda:“Tidak seorangpun yang boleh menarik kembali
pemberiannya kecuali pemberian ayah terhadap anaknya”. (HR. Abu Daud, Ibnu
Majah, at-Tirmizi dan an-Nasa’i)Kebolehan
orang tua untuk menarik kembali harta yang telah dihibahkan kepada anak atau cucunya juga harus memiliki
persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu sebagai berikut:a) Orang
tua harus berstatus merdeka, jika tidak maka dia tidak boleh menarik hibahnya kembali, hal ini dikaitkan
dengan penghibah yang menerima kepada
budak yang seharusnya untuk tuannya, sedangkan ia adalah orang lain maka tidak
boleh menarik kembali pemberian daripadanya.
b) Yang
diberikan itu adalah benda, bukan hutang, jika penghibah memberikan hutang, maka orang tua tidak boleh menariknya
kembali.
c) Benda
tersebut berada jelas pada si anak, seandainya benda tersebut telah ditasarrufkan, maka orang tua tidak
diperkenankan untuk menarik kembali benda yang telah dihibahkan, karena kekuasaan anak telah terputus sejak harta tersebut
ditasarrufkan.
d) Orang
tua tidak berada dalam pengampuan si anak, jika orang tua berada pada
pengampuan si anak maka orang tua tidak diperbolehkan menarik harta yang telah
dihibahkan.
e) Benda
yang diberikan itu mudah rusak, sepeti telur ayam.
f) Orang
tua tidak menjual benda yang diberikan, jika dia menjualnya, maka dia tidak boleh
menariknya kembali
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu akad yang menjadikan
kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara
sukarela.Menurut
mazhab Hanafi, hibah adalah
memberikan suatu benda tanpa menjanjikan imbalan seketika. Mazhab Syafi’i
memberikan definisi hibah secara
singkat, yaitu memberikan barang milik sendiri secara sadar sewaktu hidup. Menurut
mazhab Maliki, hibah adalah
memberikan suatu barang milik sendiri tanpa mengharap suatu imbalan kepada
orang yang diberi. Menurut mazhab Hambali, hibah
adalah pemberian milik yang dilakukan oleh orang dewasa yang pandai yang berhak
menggunakan sejumlah harta yang diketahui atau tidak diketahui namun sulit
mengetahuinya, harta tersebut memang
ada, dapat diserahkan dalam kondisi tidak wajib dalam keadaan masih hidup dan
tanpa imbalan.
Ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa rukun hibah
itu adalah adanya ijab (ungkapan
penyerahan/pemberian harta), qabul
(ungkapan penerimaan) dan qabd (harta
itu dapat dikuasai langsung).Ulama Hanafiyah
menetapkan bahwa seseorang dibolehkan memberi hibah apabila memenuhi empat syarat. Adapun empat syarat tersebut
adalah:1. Merdeka
2. Berakal
dan tidak dibawah pengampuan,
Pendapat
ini disepakati oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah. Sebutan
“berakal” disini menurut ulama Hanafiyah berakal secara umum. Karenanya,
seorang yang mabuk disebabkan karena minum khamar
misalnya, tetap sah memberi hibah.
Ini berbeda dengan pendapat Malikiyah yang menyatakan orang mabuk tidak sah
memberi hibah, sebab bagaimanapun
pemberian itu adalah di luar kesadarannya sehingga kerelaannya tidak dapat
dipercaya sepenuhnya.3. Baligh, anak-anak
tidak sah memberi hibah.
4. Ia
pemilik barang yang dihibahkan
Bagi orang yang berhak
menerima hibah ulama Hanafiyah
memberikan persyaratan bagi seseorang yang boleh menerima hibah, menurut pendapat mereka siapa saja boleh menerima hibah. Baik orang baligh, berakal, maupun gila, anak-anak ataupun orang ditaruh di
bawah pengampuan. Syarat-syarat yang diberlakukan terhadap pemberi hibah tidak berlaku bagi penerima hibah.Pendapat ini tidak disepakati
oleh ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah. Mereka berpendapat bahwa seseorang baru
sah menerima hibah apabila telah
dipenuhi syarat taklif. Dengan
demikian pendapat mereka, orang gila dan anak-anak ataupun orang yang ditaruh
di bawah pengampuan, tidak sah menerima hibah.
Karena orang-orang yang demikian tidak ahliah
al-milk (diakui kemampuannya untuk mengurusi harta benda miliknya), ataupun
ahlu al-tasarruf (diakui kemampuannya
untuk mentransaksikan harta benda miliknya.Ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa akad hibah
tidak mengikat, oleh sebab itu pemberi hibah
boleh saja mencabut kembali hibahnya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah
dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya
yang masih kecil. Ulama Hambaliyah dan Syafi’iyah berpendapt bahwa penerima hibah tidak dapat menarik
kembali/mencabut hibahnya dalam
keadaan apapun, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.B.
SaranDalam penulisan makalah ini penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga penulis mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Diharapkan
penulis selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya
kedepan untuk memajukan syari’at
Islam.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN Al-Jaziri, Abd. Rahman, Fikih Empat Mazhab, Jakarta, Rajawali Press, 2007.Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Fiqh, jilid. III,
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.Haroen, Nasrun, Fiqh
Muamalah, cet.1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.Karim, Helmi, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.Khatib, Muhammad Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, juz. II, Beirut: Dar al-Fikr, 1978.Rofiq, Ahmad, Hukum
Islam di Indonesia, cet. 6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.Sabiq, Sayyid, Fiqh
al-Sunnah, juz. V, Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009.Syafi’i, Rachmat, Fiqh Muamalah, cet. 3, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
[1] Rachmat Syafi’I, Fiqh Muamalah, cet. 3, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 242.