A.
PENDAHULUAN
Kebanyakan negara-negara di dunia pada
umumnya saat ini dikuasai oleh perekonomian Barat, tidak terkecuali
negara-negara Islam sendiri. Negara-negara Barat dengan kemajuan ekonominya
disebut sebagai negara maju (developed)
sedangkan negara-negara Islam dianggap sebagai negara terbelakang (underdeveloped).
Dalam kondisi seperti itu negara-negara
Barat yang unggul secara ekonomi telah berhasil meyakinkan negara-negara Islam
untuk menganut sistem ekonomi Barat sebagai sistem ekonomi modern untuk
diterapkan dan diikuti dengan alasan penyelamatan dari keterbelakangan ekonomi.
Sistem ekonomi Barat yang banyak dipakai di dunia Islam kebanyakan adalah
Sistem Liberalis yang didasarkan pada kapitalisme dan Sistem Komunis yang
didasarkan pada sosialisme.
Prinsip-prinsip dan aturan dalam suatu
sistem ekonomi akan menyangkut masalah hubungan sosial, legal, dan kerangka
perilaku para pihak yang terlibat sistem ekonomi tersebut. Pertama, hal ini
minimal menyangkut kepemilikan faktor-faktor produksi yaitu siapakah yang
memiliki atau menguasai faktor-faktor produksi tersebut. Kedua menyangkut
distribusi yaitu bagaimana akses terhadap transaksi atau pasar diatur.
Ketiganya adalah menyangkut konsumsi yaitu bagaimana konsumsi terhadap barang
atau jasa diatur/dibatasi.
Dalam sistem ekonomi kapitalis,
faktor produksi dikuasai secara mutlak oleh individu-individu sedang
kepemilikan pemerintah terbatas. Akses terhadap pasar berlangsung secara bebas,
artinya siapa yang kuat di pasar dapat menguasai pasar. Konsumsi juga tidak ada
aturan atau batasan, dimana kepemilikan mutlak juga mendorong konsumsi yang
tiada batas. [1]
Dalam sistem ekonomi sosialis,
kepemilikan faktor produksi dimiliki secara bersama oleh kaum proletarian yang
terwakili oleh kepemimpinan yang umumnya diktator. Kepemimpinan tersebut yang
menentukan apa yang harus diproduksi, kapan, dan berapa banyak. Sedangkan dalam
sistem ekonomi Islam, pelaku ekonomi hanyalah seorang wakil yaitu wakil atau
khalifah Allah di muka bumi. Hak terhadap faktor produksi terbatas pada hak
untuk menggunakannya dan bukan hak kepemilikan mutlak. Hal ini terkait langsung
dengan pertanggungjawaban atas penggunaan faktor produksi tersebut terhadap
pemilik sesungguhnya yaitu Allah. Selain itu, hak ini pun dibatasi waktunya
yaitu sebatas umur kita. Itulah sebabnya dalam Islam juga diatur hukum waris
yang sangat adil. Akses terhadap pasar terbuka bebas tetapi diatur dengan
sistem yang adil. Tidak ada satu pihak pun yang boleh mengambil hak akses pasar
ini dengan kekuatan atau kekuasaannya. Konsumsi juga dibatasi pada kebutuhan
yang wajar, tidak berlebihan atau boros, dan tidak pula kikir.
Dengan demikian, dalam makalah ini kami akan mencoba membahas
tentang ruang lingkup pemikiran ekonomi islam mengenai teori, institusi dan
relitas ekonomi.
B.
PEMBAHASAN
1.
Teori
Produksi
Sadr
mengklasifikasi dua aspek yang mendasari terjadinya aktivitas produksi. Pertama
adalah aspek obyektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan sisi teknis dan
ekonomis yang terdiri atas sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang
diolah dan kerja yang dilakukan dalam aktivitas produksi. Aspek ini berusaha
untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai what,
how, dan whom (The three fundamental economic problem). Yang kedua yaitu aspek subyektif. Terdiri atas
motif psikologis, tujuan yang hendak dicapai lewat aktifitas produksi, dan
evaluasi aktivitas produksi menurut konsepsi keadilan yang dianut.[2]
Selain itu
menurut Sadr sumber asli produksi terdiri dari tiga kelompok yakni, alam,
modal, dan kerja. Adapun sumber alam yang digunakan untuk produksi dibagi
menjadi tanah, substansi-substansi primer, dan air.
Dalam ekonomi
Islam, produksi mempunyai motif kemahslatan,
kebutuhan dan kewajiban. Demikian pula, konsumsi. Perilaku produksi merupakan
usaha seseorang atau kelompok untuk melepaskan dirinya dari kefakiran. Menurut
Yusuf Qardhawi (1995), secara eksternal perilaku produksi dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan setiap individu sehingga dapat membangun kemandirian ummat.
Sedangkan motif perilakunya adalah keutamaan mencari nafkah, menjaga semua
sumber daya (flora-fauna dan alam sekitar), dilakukan secara profesional (amanah & itqan) dan berusaha pada sesuatu yang halal. Karena itu dalam
sebuah perusahaan misalnya, menurut M.M. Metwally asumsi-asumsi produksi, harus
dilakukan untuk barang halal dengan proses produksi dan pasca produksi yang
tidak menimbulkan ke-madharatan. Semua orang diberikan kebebasan untuk
melakukan usaha produksi.
Berdasarkan
pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad
Abdul Mannan, pertimbangan perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada
permintaan pasar (given demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat
memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil
keputusan tentang kuantitas produksi.Sebaliknya dalam sistem konvensional,
perusalas arikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi
pada outputyang menjadi permintaan pasar (effective
demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil masyarakat terabaikan.[3]
Dari
sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional yang dilakukan
oleh setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat
mencapai nilai tambah (value added).
Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut;
apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan,
mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa
yang memproduksi?
1.1.
Pengertian
Teori Produksi
Dr. Muhammad
Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata
al-intaj yang secara harfiyah
dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan
atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu
mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu
zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya
bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang
terbatas).
Produksi menurut
Kahf mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif Islam sebagai usaha
manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga
moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan
dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat[4].
Produksi
adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa
manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga
materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam
“memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda.
1.2.
Tujuan
Produksi
Dalam konsep
ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba
sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional,
tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi
konsumen.
Walaupun dalam
ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba
tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam
konsep mashlahah dirumuskan dengan
keuntungan ditambah dengan berkah.
Keuntungan bagi
seorang produsen biasannya adalah laba (profit),
yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah
berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi produsen sendiri
dan manusia secara keseluruhan.
Keberkahan ini
dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai Islam dalam kegiatan
produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan
keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang
kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya
permintaan.
Berkah
merupakan komponen penting dalam mashlahah.
Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus
dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output.
2.
Teori
Konsumsi
Teori konsumsi
lahir karena adanya teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan permintaan
akan barang dan jasa timbul karena adanya keinginan (want) dan kebutuhan (need)
oleh konsumen riil maupun konsumen potensial. Dalam ekonomi konvensial motor
penggerak kegiatan konsumsi adalah adanya keinginan. [5]
Islam berbeda
pandangan tentang teori permintaan yang didasar atas keinginan tersebut.
Keinginan identik dengan sesuatu yang bersumber dari nafsu. Sedangkan kita
ketahui bahwa nafsu manusia mempunyai kecenderungan yang bersifat ambivalen, yaitu dua kecenderungan yang
saling bertentangan, kecenderungan yang baik dan kecenderungan yang tidak baik.
Oleh karena itu teori permintaan dalam ekonomi Islam didasar atas adanya
kebutuhan (need).
Kita harus
membedakan secara tegas antara keinginan dan kebutuhan ini. Kebtuhan lahir dari
suatu pemikiran atau identifikasi secara objektif atas berbagai sarana yang
diperlukan untuk mendapatkan suatu manfaat bagi kehidupan. Kebutuhan dituntun
oleh rasionalitas normative dan
positif, yaitu rasionalitas ajaran
Islam, sehingga bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya.
Jadi, seorang muslim berkonsumsi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya
sehingga memperoleh kemanfaatan yang setinggi-tingginya bagi kehidupannya. Hal
ini merupakan dasar dan tujuan dari syariah Islam sendiri, yaitu mashlahat al ibad (kesejahteraan hakiki
bagi manusia), dan sekaligus sebagai cara untuk mendapat falah yang maksimum.
Al Shatibi, yang
mengutip pendapat Al Ghazali, menyebutkan 5 kebutuhan asar yang sangat
bermanfaat bai keidupan manusia, yaitu:
1)
Kebenaran (faith, ad-dien)
2) Kehidupan
(life, an-nas)
3) Harta
material (property, al-mal)
4) Ilmu
pengetahuan (science, al aql, al-‘ilmu)
5) Kelangsungan
keturunan (postery, an-nasl)
Kelima kebutuhan
ini semuanya penting untuk mendukung suatu perilaku kehidupan yang Islami,
karenya harus diupayakan untuk dipenuhi. Menurut Al Ghazali tujuan utama
syariat Islam adalah mendorong kesejahteraan manusia yang terletak kepada
perlindungan yang menjamin terlindungnya kelima kebutuhan ini akan memenuhi
kepentingan umum dan kehendaki.
Untuk menjaga
kontinuitas kehidupan, maka manusia harus memelihara keturunannya (an-nasl/posterity). Meskipun seorang
muslim meyakini bahwa horizon waktu kehidupan tidak hanya menyangkup kehidupan
dunia melainkan hingga akherat, tetapi kelangsungan kehidupan dunia amatlah
penting. Kita harus berorienasi jangka panjang dalam merencanakan kehidupan
dunia, tentu saja dengan tetap berfokus kepada kehidupan akhirat. Oleh karenanya,
kelangsungan keturunan dan keberlanjutan dari generasi ke generasi harus
diperhatikan. Ini merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi eksistensi
manusia.
Dalam
Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan
menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam bentuk perilaku, gaya
hidup, selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia, sumberdaya, dan ekologi.
Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas konsumsi baik dalam
bentuk kepuasan materil maupun spiritual. Dalam konteks inilah kita dapat
berbicara tentang bentuk-bentuk halal dan haram, pelarangan terhadap israf,
pelarangan terhadap bermewah-mewahan dan bermegah-megahan, konsumsi sosial, dan
aspek – aspek normatif lainnya.[6]
2.1.
Etika
Konsumsi Dalam Islam
Konsumsi
berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal
Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir
(menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir
berarti menggunakan barang dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju
tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum
atau dengan cara yang tanpa aturan. Pemborosan berarti penggunaan harta secara
berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan,
pakaian, tempat tinggal, atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam menganjurkan
pada konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang
terletak di antara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui
tingkat moderat (wajar) dianggap lisraf dan
tidak disenangi Islam.
2.2.
Perilaku
Konsumen Muslim
Perilaku
konsumen (consumer behavior)
mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang
dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources)
yang dimilikinya.
Teori perilaku
konsumen muslim yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan
yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar
yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan
dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.[7]
Ada tiga nilai
dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim:
1)
Keyakinan akan adanya
hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen
untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi
untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat
balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
2) Konsep
sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan
bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin
tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada
Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai
dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari
kejahatan.
3) Kedudukan
harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat
buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk
mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)
Perilaku
konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat
mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan
memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Focus dari perilaku konsumen adalah
bagaimana individu membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang
telah tersedia untuk mengkonsumsi suatu barang.
3.
Institusi
Dan Regulator
3.1
Badan
Perwakafan Nasional
Wakaf adalah
merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang cukup dikenal di Indonesia,
namun satu hal yang sangat disayangkan lembaga ini belum memberikan kontribusi
yang signifikan bagi keberlangsungan bangsa dan negara. Hal ini disebabkan
karena wakaf sebagai aset berharga ummat Islam dan sangat potensial, belum
dimanfaatkan secara maksimal dan belum menghasilkan secara optimal. Potensi
wakaf yang sangat besar tersebut kalaupun telah dikelola sebahagiannya, namun
pengelolaan tersebut belum bersifat produktif, sehingga dengan demikian maka
jadilah harta-harta wakaf itu dalam bentuk lahan tidur yang tidak dapat
menghasilkan secara ekonomis.
Mengingat bahwa
wakaf adalah merupakan aset ummat Islam yang sangat potensial sebagaimana
halnya zakat dalam pembahasan sebelumnya, maka pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersepakat menetapkan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sehingga dengan demikian maka pengelolaan wakaf
secara berdayaguna dan berhasil guna telah mendapat pengakuan secara yuridis
formal dari Pemerintah Republik Indonesia dan tidak ada lagi alasan untuk tidak
melaksanakannya sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam dalam konteks
kekinian dan kedisinian kita. [8]
Undang-Undang Wakaf ini adalah merupakan sebuah penuntun bagi
jalannya syariat Islam di Indonesia secara legal dan konstitusional. Oleh
karena itu pulalah maka UU ini mengatur berbagai hal penting dalam rangka
pengembangan wakaf produktif. Misalnya, benda wakaf yang diatur dalam UU ini
bukan hanya dibatasi pada benda tidak bergerak semata, akan tetapi termasuk di
dalamnya benda bergerak seperti logam, uang, surat berharga, kenderaan, hak
atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya sesuai dengan
ketentuan syariah dan perundang-undangan.
Khusus masalah wakaf uang ditegaskan secara rinci dalam UU ini
yang menyatakan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ditunjuk menteri. Wakaf uang dilaksanakan
oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis serta
harus dinyatakan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sertifikat wakaf tersebut
disampaikan LKS kepada wakif dan nazir sebagai bukti penyerahan harta benda
wakaf.
Ditetapkannya UU ini adalah merupakan
sebuah langkah maju bagi Negara Republik Indonesia yang nota bene penduduknya
adalah mayoritas beragama Islam. Sehingga dengan demikian maka hukum Islam di
bidang wakaf ini telah menjadi hukum nasional yang wajib dilaksanakan dalam
rangka meningkatkan harkat dan martabat umat Islam.
3.2
Baitul Maal Wat Tamwil
Baitul Maal wat Tamwil
adalah merupakan sebuah lembaga negara yang bergerak dalam bidang penampungan
harta umat Islam dan negara. Semua dana yang terkumpul apakah itu dari pajak
maupun dari yang lainnya, kesemuanya dikumpul pada lembaga yang disebut dengan baitul maal wat tamwil. Baitul maal wat tamwil ini adalah
semacam kas negara ataupun Departemen Keuangan pada zaman modern yang bertugas
menyimpan dan mengelola keuangan Negara sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik secara transfaran dan akuntable.
Baitul maal wat tamwil adalah
pertama sekali diprakarsai oleh Rasulullah saw sebagai sebuah lembaga keuangan
Negara pada abad ketujuh masehi yang mempunyai tugas yakni semua hasil
pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan
sesuai dengan kebutuhan negara. Status harta pengumpulan itu adalah milik negara
dan bukan milik individu. Meskipun demikian dalam batasan-batasan tertentu,
pemimpin negara dan pejabat lainnya menggunakan harta tersebut untuk mencukupi
kebutuhan peribadinya. Hal ini tentu berada di luar jalur dan ketentuan yang
berlaku.[9]
Pada masa
pemerintahan Rasulullah saw, baitul maal
bertempat di masjid Nabawi yang ketika itu dipergunakan sebagai kantor pusat negara
yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang
yang merupakan perbendaharaan negara tidak disimpan di baitul maal sesuai
dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di lapangan terbuka.
Namun harta negara seperti uang dan lain sebagainya yang dapat disimpan,
ditempatkan di baitul maal yang adalah merupakan perbendaharaan dan Kas Negara.
Apa
yang dilakukan oleh Rasulullah saw ini adalah merupakan langkah maju sebagai
sebuah kelengkapan alat Negara dalam rangka mengelola dan memberdayakan segenap
potensi keuangan negara untuk selanjutnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk
keperluan rakyat. Ternyata ide cemerlang Rasulullah saw ini adalah merupakan
ide pertama yang dilakukan oleh ummat manusia dalam mengelola sebuah institusi
kenegaraan. Sekalipun pada saat itu belum disebut sebagai sebuah negara dan
pemerintahan, namun ciri-ciri yang ada padanya telah menunjukkan bahwa
sesungguhnya negara Madinah itu sudah ada dan sudah maju serta mandiri.
3.3
Bank
Syariah
Perbankan
syariah adalah merupakan sebuah lembaga keuangan yang berdasarkan hukum Islam
yang adalah merupakan sebuah lembaga baru yang amat penting dan strategis
peranannya dalam mengatur perekonomian dan mensejahterakan umat Islam.
Kehadiran lembaga perbankan bukan hanya dapat mengatur perekonomian masyarakat,
akan tetapi kehadirannya dapat juga menghancurkan perekonomian sebuah negara sebagaimana
yang dialami bangsa Indonesia decade delapan puluhan dan sembilan puluhan. [10]
Oleh karena
itulah maka diperlukan perbankan yang berorientasi syariah sehingga dapat
melindungi uang si penanam modal dan juga memberikan keuntungan bagi si peminjam
modal. Pada keduanya terjalin hubungan yang sinergis dan saling menguntungkan,
serta kesepakatan bersama apabila terjadi kerugian yang tidak diinginkan
bersama. Apabila terjadi keuntungan, maka sesungguhnya hal itu mudah diatur,
akan tetapi apabila terjadi kerugian ataupun jatuh pailit, maka timbullah
percekcokan. Dalam kaitan dengan ini, hukum Islam telah memberikan aturan main
yang saling menguntungkan dan tidak saling merugikan.
Bank Islam
ataupun Bank Syariah sebagaimana disebutkan oleh Fuad Mohammad Fakhruddin
adalah bank dimana kebanyakan pendirinya adalah orang yang beragama Islam dan
seluruhnya atau sebahagian besar sahamnya kepunyaan orang Islam sehingga dengan
demikian maka kekuasaan dan wewenang baik mengenai administrasi maupun mengenai
yang lainnya terletak di tangan orang Islam.
Sedangkan
menurut Karnaen A. Parwaatmadja, Bank Islam atau Bank Syariah adalah bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan
operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang
harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur
riba.
Dari
definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bank Islam ataupun Bank
Syariah adalah bank yang mana seluruh atau sebahagian besar sahamnya milik
orang Islam dan beroferasi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan syariah Islam
(al-Quran dan al-Sunnah) yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
3.4
Bank
Perkreditan Rakyat Syariah
Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha
berdasarkan prinsip syariah ataupun disebut juga bank perkreditan rakyat yang
pola operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah Islam. BPRS ini dapat
dibentuk dengan badan hukum berupa Perseroan terbatas (PT), Koperasi dan
Perusahaan Daerah.
BPRS didirikan
sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian Indonesia yang
dituangkan dalam berbagai paket kebijaksanaan keuangan, moneter, dan perbankan
secara umum, dan secara khusus mengisi peluang terhadap kebijaksanaan bank
dalam penetapan tingkat suku bunga (rate of interest) yang selanjutnya secara
luas dikenal sebagai system perbankan bagi hasil atau system perbankan Islam.
BPRS sebagaimana tersebut di atas adalah
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama
masyarakat golongan ekonomi menengah, meningkatkan pendapatan perkapita,
menambah lapangan kerja, mengurangi urbanisasi serta membina semangat ukhuwah
islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
BPRS
ini adalah merupakan asset berharga ummat Islam yang sangat potensial dalam
rangka meningkatkan perekonomian umat Islam, namun sangat disayangkan dari 50
unit BPRS yang telah berdiri di Indonesia, yang sudah operasional barulah 17
unit. Hal inipun belum menunjukkan kinerja yang maksimal dalam mengentaskan
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat Islam.
3.1
Asuransi
Syariah
Asuransi dalam
Islam lebih dikenal dengan istilah takaful
yang berarti saling memikul resiko di antara sesama orang Islam, sehingga
antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya.
Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan
dimana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma (tabarru’) yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. Asuransi
seperti ini disebut dengan Asuransi Syariah.[11]
Asuransi Syariah
sebagaimana tersebut di atas mempunyai prinsip-prinsip pokok sebagai berikut :
1) Saling
bekerjasama dan saling membantu.
2) Saling
melindungi dari berbagai kesusahan.
3) Saling
bertanggungjawab.
4) Menghindari
unsur gharar, maysir, dan riba.
Asuransi
syariah adalah merupakan aset berharga dan merupakan potensi umat Islam yang
apabila dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik, maka akan dapat mengangkat
harkat dan martabat umat Islam, khususnya dalam mengentaskan umat dari
kemiskinan dan kehinaan, serta akan dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan
baik. Namun demikian secara jujur diakui bahwa terdapat beberapa kendala dalam
pelaksanaan Asuransi Syariah ini di lapangan.
3.2
Obligasi
Syariah
Obligasi Syariah
adalah suatu kontrak perjanjian tertulis yang bersifat jangka panjang untuk
membayar kembali pada waktu tertentu seluruh kewajiban yang timbul akibat
pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan ketentuan tertentu serta
membayar sejumlah manfaat secara priodik menurut akad.
Perbedaan
mendasar antara Obligai Syariah dan Obligasi Konvensional adalah terletak pada
penetapan bunga yang besarnya sudah ditentukan di awal transaksi jual beli,
sedangkan pada obligasi syariah saat perjanjian jual beli tidak ditentukan
besarnya bunga, yang ditentukan adalah berapa proporsi pembagian hasil apabila
mendapatkan keuntungan di masa mendatang.
Obligai syraiah
sebagaimana tersebut di atas dapat dibagi kepada jenis-jenis obligasi syariah
sebagai berikut:
a) Obligasi
mudharabah, yaitu obligasi yang menggunakan
akad mudharabah (akad kerjasama antara pemilik modal / sahohibul maal /
investor yang menyediakan dana penuh 100 % dan tidak boleh aktif dalam
pengelolaan usaha dan pengelola/mudhorib/emiten
mengelola harta secara penuh dan mandiri dengan persyaratan-persyaratan
tertentu.
b) Obligasi
ijarah, yaitu obligasi berdasarkan
akad ijarah (suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian)
artinya pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan obyek dengan manfaat
tertentu dan membayar imbalan kepada pemilik obyek. Dalam akad ijarah disertai
adanya perpindahan manfaat tetapi tidak perpindahan kepemilikan.
3.1
Pegadaian
Syariah
Pegadaian
syariah dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rahn. Rahn secara bahasa
berarti at-tsubut (tetap), al-dawam (kekal), dan al-habas (jaminan). Secara istilah rahn berarti menjadikan sesuatu barang
yang berharga sebagai jaminan hutang dengan dasar bisa diambil kembali oleh
orang yang berhutang setelah dia mampu menebusnya.
4.
Realitas
Ekonomi
Dalam kehidupan
ekonomi masyarakat muslim, yang paling penting adalah perlu dirumuskannya
kaidah, konsep dasar, serta tujuan-tujuan yang harus dicapai sistem ekonomi
Islam, tentunya hal itu bersumber dari hukum-hukum Islam yang bersifat kekal
dan abadi. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya dari intelektual muslim guna
merekonstruksi persoalan dimaksud, dengan melakukan penelitian, kajian dan
analisa teks-teks ekonomi yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Nilai-nilai yang mampu dikaji dari kedua
sumber tersebut, diharapkan bisa bersenyawa dengan realitas yang ada, sehingga
akan melahirkan peradaban baru dalam kehidupan manusia yang syarat dengan norma
dan etika[12].
Sampai dewasa
ini, terdapat dua mainstream sistem
ekonomi yang diterapkan dalam kehidupan, yaitu sistem kapitalis dan sosialis,
kemudian disusul oleh hadirnya sistem ekonomi Islam yang dijadikan sebagai
salah satu alternatif. Dalam perjalanan sejarah, ideologi yang dibawa oleh
sistem sosialis mengalami stagnansi dan tidak mampu menjawab perubahan zaman.
Ideologi ekonomi yang dibawa dalam kehidupan, tidak mampu mengakomodir
persoalan-persoalan mendasar dan kebutuhan manusia, dan akhirnya mengalami
keruntuhan. Sistem sosialis (bisa disebut juga dengan sistem komunis) pertama
kali diperkenalkan di Uni Soviet, dimana sistem ini mempunyai prinsip dasar
untuk tidak mengakui adanya kepemilikan dan kebebasan individu dalam
berekonomi, serta dinafikannya kehadiran pasar bebas dalam aktivitas ekonomi.
Dalam sistem ini, manusia sebagai pelaku ekonomi tidak mempunyai kebebasan untuk
menjalankan hak-haknya, kebebasan, kehormatan dan hak-hak manusia dikorbankan
demi menegakkan nilai-nilai sosialis yang ditawarkan oleh Karl Marx. Dengan
terpasungnya kebebasan dan hak-hak manusia dalam berekonomi, adalah langkah
awal yang akan menggiring sistem tersebut ke ambang kehancuran, karena seperti
yang telah disadari bahwa elemen itu merupakan sesuatu yang asasi dalam
kehidupan manusia, dan kita tidak bisa menafikannya.
Akhirnya,
terdapat pergolakan dari masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang
selama ini telah dikebiri, terjadi perlawanan terhadap sistem yang ada guna
meraih nilai-nilai kebebasan dan kehormatan mereka sebagai sosok manusia.
Sebagai makhluk, manusia merasa memiliki ‘nilai’ yang tidak bisa dijajah dan
dieliminasi akan keberadaannya, terlebih mereka mempunyai dimensi lain dalam
hidup, yakni kebutuhan spiritual.
Dengan munculnya
peradaban baru dalam kehidupan manusia, hal itu akan memberikan perubahan
terhadap gaya hidup dan nilai-nilai yang dipegang dalam kehidupan, terlebih
dalam bidang ekonomi. Peradaban ini akan membawa perubahan yang cukup
signifikan bagi kehidupan, sehingga memacu Islam untuk bisa menghadirkan
pemikiran ataupun nilai-nilai untuk mengakomodir perubahan sebagai konsekwensi
atas hadirnya peradaban baru. Dalam konteks ekonomi, sistem ekonomi yang telah
berkembang, akan mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat muslim, sehingga
diperlukan pencerahan nilai-nilai dari perspektif Islam.[13]
Khazanah
pemikiran Islam semakin luas diperkaya dengan pengalaman empiris yang telah
dilakukan oleh kedua khalifah pertama, nilai-nilai yang tercatat dalam sejarah
tersebut memberikan kontribusi bagi dinamika pemikiran Islam. Tentunya,
fenomena ini akan memperkaya pemikiran ekonomi yang mungkin akan diterapkan
oleh negara tertentu. Apa yang telah dicatat oleh ulama, dijadikan sebagai
bahan inspirasi guna mengembangkan pemikiran dan kebijakan yang mungkin akan
diambil oleh komunitas tertentu seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia.
Pemikiran dan kebijakan yang akan diambil oleh masing-masing negara bisa jadi
berbeda antara satu dengan lainnya, perbedaan tersebut hanyalah merupakan
kebijakan strategis yang disesuaikan dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat
yang melatarbelakanginya, yang terpenting konsep dasarnya tidak dilupakan.
Dengan adanya perbedaan kebijakan di negara maju, berkembang, atau bahkan
terbelakang, akan memperkaya khazanah pemikiran Islam, baik dalam tataran
teoritis ataupun aplikatif.
Apa yang telah dilkukn khalifah,
setidaknya dapat dijadikan sebagai pendorong bagi masyarakat muslim dewasa ini
guna melakukan kebangkitan untuk memperbaiki realitas yang ada. Sejarah telah
menyaksikan dinamika kehidupan masyarakat muslim berikut perangkat kehidupan
yang dibutuhkan, baik dari segi hukum, aturan ataupun pemikiran-pemikiran yang
relevan dengan realitas yang ada. Dinamika Islam menyentuh seluruh aspek
kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, ataupun etika masyarakat,
fenomena ini menunjukkan dinamisnya hukum dan aturan Islam untuk menjawab
perubahan zaman. Realitas yang sekarang terjadi dalam masyarakat muslim, sudah
saatnya untuk dicarikan solusi ataupun alternatif dalam perspektif Islam.
Intelektual muslim harus bekerja keras untuk merekonstruksi apa yang telah
dituliskan ulama terdahulu dengan melihat realitas yang ada, baik dari segi
teoritis maupun praksis. Namun, satu hal yang perlu dicatat, tidak boleh keluar
dari aturan dasar yang telah ditentukan oleh agama. Pembaharuan yang akan
dilakukan oleh intelektual muslim harus mengikuti aturan baku yang telah
ditetapkan agama, agama telah menetapkan aturan-aturan maupun instrumen yang
mungkin bisa digunakan untuk melakukan pembaharuan.
Al-Qur’an
mungkin hanya akan menyediakan aturan global tanpa disebutkan secara
terperinci, kemudian kita menggunakan hadist sebagai penjelas atau pemerinci
aturan yang ada dalam al-Qur’an.
Namun, jika aturan tersebut belum mendapatkan kejelasan, kita bisa menggunakan
instrumen ijma’, qiyas, istihsan, masalih
mursalah, dan ‘urf untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Selain itu, kita
bisa menggunakan kaidah al ma’ruf ‘urfan
ka al masyruthi syarthan (sesuatu yang telah menjadi kebiasaan bisa
dijadikan/dianggap sebagai syarat), al dhalurat
tubihu al mahdzurat (kondisi darurat dapat memperbolehkan sesuatu yang
dilarang), maa la yudraku kulluh laa
yutraku kulluh (apa yang tidak bisa kita capai secara sempurna, jangan
ditinggalkan semuanya) ataupun kaidah apa yang dianggap baik oleh kaum muslim,
maka hal itu juga baik di hadapan Allah, dan masih banyak kaidah lainnya.[14]
C. PENUTUP
Kesimpulan
Dalam konsep ekonomi konvensional
(kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya,
berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi
dalam Islam yaitu memberikan mashlahah yang
maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah
memaksimalkan mashlahah, memperoleh
laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam.
Dalam konsep mashlahah dirumuskan
dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Teori konsumsi lahir karena adanya
teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan permintaan akan barang dan
jasa timbul karena adanya keinginan (want) dan kebutuhan (need) oleh konsumen
riil maupun konsumen potensial. Dalam ekonomi konvensial motor penggerak
kegiatan konsumsi adalah adanya keinginan.
Lembaga-lembaga
perekonomian dalam islam antara lain: Badan Perwakafan Nasiona, Baitul Maal Wat
Tamwil, Bank Syariah, Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Asuransi Syariah dan Obligasi
Syariah
Saran
Dengan selesainya makalah ini kami sadar
bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak
kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata,
maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari
pembaca agar di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Anto,
Hendrie, Pengantar Ekonomi Mikro Islami,
Yogyakarta: Ekonisia, 2003.
Ash
Shadr, Muhammad Baqir, Buku Induk Ekonomi
Islam – Iqtishaduna, terj. Yudi,
cet.1, Jakarta: Zahra, 2008.
Chamid,
Nur, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
http://www.dudung.net/artikel-islami/realita-umat-islam-sekarang.html,
didownload pada 8 Juni 2013
Masykuroh, Ely, Pengantar
Teori Ekonomi, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.
Mannan,
M.A, “The Behaviour of The Firm and Its
Objective in an Islamic Framework”, Readings
in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman: Malaysia, 1992.
Muhamad,
Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta:
UII Press, 2000.
Supardi,
Ahmad, Lembaga-Lembaga Perekonomian Dalam
Islam, www.hupelita.com,
didownload pada 8 Juni 2013.
K.
Lubis, Surawardi, Hukum Ekonomi Islam.
Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
[2] Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hal. 102
[3] M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective
in an Islamic Framework”, Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif,
(Longman: Malaysia, 1992), hal. 120-130.
[6] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hal. 125.
[7] Ely Masykuroh, Pengantar Teori. . . , hal, 144
[10] Ahmad Supardi, Lembaga-Lembaga Perekonomian Dalam Islam, www.hupelita.com, didownload pada 8 Juni 2013.
[12] http://www.dudung.net/artikel-islami/realita-umat-islam-sekarang.html, didownload pada 8 Juni
2013