google-site-verification: google8cc9d88fb7df7b42.html KESEMPURNAAN: Jual Beli Dalam Islam

Friday, 4 October 2013

Jual Beli Dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kehidupan dalam bermasyarakat memang penting, apalagi manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh sebab itu manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, atau disebut juga dengan bermuamalah. Memang telah kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah. Namun tidak semua masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah, misalnya dalam kasus jual beli.
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi.
Tidak sedikit kaum muslimin yang mengabaikan dalam mempelajari muamalat, melalaikan aspek ini sehingga tidak mempedulikan lagi, apakah barang itu halal atau haram menurut syariat Islam.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dan hukum jual beli?
2.      Apa saja rukun dan syarat jul beli?
3.      Apa saja macam jual beli?
C.     Tujuan penulisan
1.      Mengetahui pengertian dan hukum jual beli.
2.      Mengetahui rukun dan syarat jual beli.
3.      Mengetahui macam-macam jual beli.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian jual beli
              Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-ba’i, al-tijarah dan al-mubadalah’ sebagaimana Allah SWT berfirman:
¨šcqã_ötƒ Zot»pgÏB `©9 uqç7s?  
. . . mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (Fathir: 29).
              Menurut istilah (terminologi), para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara Lain:
1.      Menurut ulama’ Hanafiyah:
“Jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)”.
2.      Menurut Imam Nawawi:
“Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.
3.      Menurut Ibnu Qudamah:
“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta untuk menjadikannya milik”.
              Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar  benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.[1]
              Peraturan atau hukum jual beli dalam Islam ditetapkan sebagai berikut:[2]
1)      Dibenarkan jual beli yang tidak berbentuk riba
2)      Dalam jual beli perlu ada ijab-qabul (tanda-terima) yang diucapkan dengan lisan/perkataan, dan dibolehkan dalam hati masing-masing.
3)      Dilarang memperjual belikan darah,bangkai, hasil curian, waqaf, milik umum, minuman keras, babi, barang yang tidak ada harganya, dan barang yang tidak ada pemiliknya.
4)      Akad jual beli harus dilaksanakan dalam suatu majelis, dapat diterima (taslim) dan dapat dipegang (qabath).
5)      Dalam jual beli tersebut harus dilaksanakan oleh orang yang berakal sedangkan pada anak kecil dibenarkan  untuk benda-benda yang tidak bernilai tinggi
6)      Jika barang tersebut ditimbang atau diukur maka timbangan atau ukurannya harus tertentu dan diketahui.
7)      Larangan menawar tawaran orang lain atau menjual suatu yang telah dibeli orang lain.
8)      Larangan menimbun barang pada saat masyarakat bayak memerlukan barang tersebut.
9)      Larangan jual beli ke arah yang bermaksiat kepada Tuhan misalnya menjual patung untuk disembah.
10)  Larangan jual beli yang berunsur kepada peniuan, atau paksaan.
11)  Dalam jual beli harus terlihat jelas bendanya tetapi dibolehkan dengan melihat contoh barangnya seperti pesanan buku-buku.

B.     Rukun dan syarat jual beli
              Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum Islam). Diantaranya:[3]
1)      Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli)
        Syarat-syarat yang harus dimiliki penjual dan pembeli adalah:
a)      Berakal       
b)      Baligh
c)      Kehendak sendiri
d)     Tidak mubadzir (pemboros)
2)      Uang dan benda yang dibeli
a)      Suci
b)      Ada manfaatnya
c)      Barang itu dapat diserahkan
d)     Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.
e)      Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli
3)      Sighat atau ucapan ijab Kabul
           Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalahkerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu beradadalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan Ijab (dari pihakpenjual) dan kabul (dari pihak pembeli). Adapun syarat-syarat Ijab kabul adalah :
a)      Orang yang mengucap ijab kabul telah akil baliqh.
b)      Kabul harus sesuai dengan ijab.
c)      Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.

C.     Macam-Macam Jual Beli
              Selagi manusia masih hidup dan bermasyarakat serta masih berhubungan dengan orang lain akan selalu mengadakan transaksi jual beli dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya. Seiring dengan kebutuhan manusia yang bermacam-macam, baik kecil maupun besar, bersifat rutin maupun insidental, maka jual beli juga bermacam-macam:
1.      Jual beli dilihat dari segi sifatnya:
a)      Jual beli yang sah
        Yaitu jual beli yang dibenarkan oleh syara’ dan telah memenuhi segala rukun dan syaratnya, baik dengan orang yang mengadakan transaksi, objek transaksi serta ijab dan qabul.
b)      Jual beli yang batal
      Yaitu jual beli yang seluruh atau salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli yang menurut asalnya tidak dibenarkan oleh syara’, seperti transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil atau jual beli barang haram. Termasuk jual beli yang batal ini, antara lain:
1)      Jual beli yang tidak ada pada penjual
2)      Memperjual belikan suatu barang yang tidak dapat diserah terimakan dari penjual kepada pembeli
3)      Menjual benda-benda yang hilang, seperti lepas dari peliharaan
4)      Jual beli yang mengandung unsur penipuan
5)      Jual beli benda najis, seperti jual beli babi, khamr, bangkai, anjing, dan sebagainya.
6)      Jual beli yang menjadi milik umum, seperti air sungai, danau, dan laut.
c)      Jual beli yang fasid
      Ulama Hanafiyah membedakan arti jual beli yang fasid dan jual beli yang batal. Apabila dalam jual beli tersebut terkait dengan barang yang diperjualbelikan, maka hukumnya batal, seperti jual beli barang-barang yang haram diperjualbelikan. Tetapi jika kerusakan tersebut terkait dengan harga barang dan bisa diperbaiki maka hukumnya jual beli fasid.[4]
              Di samping beberapa bentuk jual beli yang telah disebut di atas terdapat juga pembagian jual beli yang lain, yaitu:
a)      Jual beli yang tidak sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh syariat Islam karena ada alasan-alasan tertentu seperti:
    1)      Menyakiti kepada salah satu atau orang lain yang terlibat dalam jual beli tertentu.
     2)      Menyempitkan gerakan pasaran.
     3)      Merusak ketentraman umum.
b)      Jual beli yang sah tapi dilarang, antara lain:
   1)      Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar, padahal si pembeli tidak menginginkan barang tersebut, tetapi semata-mata bertujuan supaya orang lain tidak membeli barang tersebut. 
     2)      Membeli barang yang sudah dibeli oleh orang lain atau sudah ditawar oleh orang lain yang masih dalam masa khiyar.
     3)      Membeli barang dari orang yang datang dari luar kota sebelum sampai di pasar dan belum mengetahui harga yang ada di pasar.
       4)      Membeli barang untuk ditahan dan dijual kembali pada saat-saat tertentu dengan harga yang lebih mahal, padahal masyarakat umum berhajat terhadap barang tersebut.
        5)      Jual beli dengan mengicuh atau menipu baik dari pihak penjual maupun si pembeli.

    2.      Jual beli dilihat dari segi harganya:
       1)      Jual beli musawamah, yaitu menjual sesuatu dengan jalan tawar menawar.
       2)      Jual beli tauliyah, yaitu menjual dengan harga modal artinya harga jual dan harga beli sama.
       3)      Jual beli murabahah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan mencari laba yang diketahui. 
       4)      Jual beli wadi’ah, yaitu jual beli barang yang harga jualnya lebih rendah dibandingkan dengan harga    
              pembelian barang tersebut.

D.    Khiar dalam Jual Beli
              Dalam jual beli, menurut agama Islam diperbolehkan memilih dalam jual beli, apakah memilih untuk meneruskan membeli atau akan membetalkannya. Hal itu dapat terjadi jika disebabkan oleh sesuatu hal. Khiar dibagi dalam 3 macam berikut:[5]
1)      Khiar Majelis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya selama keduanya masih berada dalam satu tempat (majelis), khiar ini boleh dilakukan dalam berbagai jual beli. Rasulullah Saw bersabda:


“Penjual dan pembeli boleh khiar selama belum berpisah”
(HR. Bukhari dan Muslim)
2)      Khiar Syarat, yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual ataupun oleh pembeli, seperti seseorang berkata, “saya jual rumah ini dengan haraga 100.000.000,00 dengan syarat khiar (selama 3 hari)”. Rasulullah Saw bersabda :


“Kamu boleh khiar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam” (HR. Baihaqi)
3)      Khiar ‘Aib, yaitu jual beli yang disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli, seperti seseorang berkata; “saya beli mobil itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya kembalikan”.

E.     Berselisih dalam Jual Beli
              Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, terus terang dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta, sebab sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli. Rasulullah Saw bersabda:[6]


“Bersumpah dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah” (H.R. Bukhari Muslim)
              Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata ang punya barang, bila diantara keduanya tak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah Saw bersabda:



“Apabila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalakan.” (HR. Abu Dawud).
F.      Badan Perantara
              Badan perantara (simsar) yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahawa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya. Dalam satu keterangan dijelaskan:




“Dari Ibnu Abbas r.a., dalam perkara simsar ia berkata tidak apa-apa, kalau seorang berkata juallah kain ini dengan harga sekian, lebih dari penjualan harga itu adalah untuk engkau” (Riwayat Bukhari).
                   Berdagang secara simsar diperbolehkan berdasarkan agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap yang lain.
G.    Lelang (Muzayadah)
              Penjualan dengan cara lelang (muzayadah) diperbolehkan dalam islam, sesuai dengan yang dijelaskan dalam satu keterangan: [7]






 “Dari Anas r.a., ia berkata, Rasulullah Saw menjual sebuah pelana dan sebuah mangkuk air, dengan berkata : ‘Siapa yang mau membeli pelana dan mangkuk air ini?’ seorang lelaki menyahut: ‘Aku bersedia membelinya seharga satu dirham’ lalu nabi berkata lagi : ‘Siapa yang berani menambahi?’ maka dibeli dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadi.”(Riwayat Tirmiddzi)
H.    Penjualan Tanah
              Apabila seseorang menjual sebidang tanah atau lapangan, sedangkan di dalamnya terdapat pohon, rumah, dan lainnya, menurut madzhab Syafi’i semua bangunan dan pohon-pohonan yang berada di dalanya turut terjual, tetapi tidak termasuk di dalamnya barang-barang yang dapat diambil sekaligus, seperti padi, jagung, bawang, dan benih serta tanamannya, kalau menjual tanah itu tidak dipisahkan dari penjualan benih dan tanaman itu, maka penjualan itu batal karena tidak jelas, apakah hanya tanah atau dengan tanaman dan biji-bijian.
Yang termasuk dalam penjualan sebidang tanah adalah:
1)      Batu yang ada di dalamnya;
2)      Barang – barang yang terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang berharga.
Adapun menjual sebidang kebun, yang termasuk di dalamnya adalah:
1)      Pohon-pohonannya;
2)      Bangunan-bangunnya yang ada di dalamnya, kecuali barang-barang yang dikecualikan dalam akad dan disepakati dua belah pihak;
3)      Pekarangan yang melingkari;
4)      Tanahnya.
Bila menjual rumah, di dalamnya ialah :
1)      Tanah tempat mendirikan;
2)      Apa yang ada dalam pekarangannya.
Bila menjual seekor binatang, maka yang termasuk di dalamnya adalah:
1)      Sandal/Sepatunya;
2)      Pelananya.
              Bila yang dijual itu pohon-pohon yang sedang berbuah, buahnya adalah milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan agar buahnya untuk dia.
I.       Buah-Buahan yang Rusak Setelah Dijual
              Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka kerusakan itu tanggungan penjual, bukan tanggungan pembeli, seperti yang disebutkan dalam sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim:





 “Jika engkau telah menjaul buah-buahan kepada saudaramu, lalu buah-buahan itu rusak (busuk), maka haram bagimu mengambil sesuatu darinya, apakah kamu mau mengambil harta saudaramu dengan tidak hak”(Riwayat Muslim).




















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar  benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
2.      Apabila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata ang punya barang, bila diantara keduanya tak ada saksi dan bukti lainnya.
3.      Badan perantara (simsar) yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahawa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya.
4.      Penjualan dengan cara lelang (muzayadah) diperbolehkan dalam islam.
5.      Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka kerusakan itu tanggungan penjual
6.      Khiar ada tiga macam :
a.              Majelis
b.              Khiar Syarat
c.              Khiar ‘Aibi
B.     Saran
    Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan tentang perdagangan atau jual beli, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran  pembaca sangat kami harapkan demi kesumpurnaan makalah ini.






DAFTAR KEPUSTAKAAN
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, cet. ke-1 Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000.
http://pasar-islam.blogspot.com/2011/04/fiqih-muamalah-bab-3-murabahah-jual.html
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, cet. 2, Jakarata: Rineka Cipta, 2001.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
.




[1] Hendi suhendi, Fiqh Muamalah,  (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 68-69.
[2] Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, cet. 2, (Jakarata: Rineka Cipta, 2001), hal. 392-393.
[3] http://pasar-islam.blogspot.com/2011/04/fiqih-muamalah-bab-3-murabahah-jual.html
[4] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet. ke-1 (Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000), hal. 120-125.
[5] Hendi suhendi, Fiqh Muamalah. . ., hal. 83-84.
[6] Ibid, hal. 84
[7] Ibid, 86.

No comments:

Post a Comment