PEMIKIRAN
EKONOMI ISLAM
A. PENDAHULUAN
Berbicara pemikiran ekonomi Islam, maka tidak terlepas dari mana
Islam tersebut lahir. Tanah Arab adalah cikal bakal tumbuh dan berkembangnya
agama Islam, sehingga untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pemikiran Islam,
maka perlu kiranya menelisik sumber aslinya hingga masa sekarang.
Ketika masa Nabi Muhammad masih hidup, masalah-masalah yang timbul
di kalangan masyarakat diselesaikan oleh wahyu, atau oleh Nabi Muhammad sebagai
manusia yang memperoleh otoritas tasyri’ (menetapkan hukum). Dengan
bergulirnya waktu sejarah umat Islam mewarisi sebuah peradaban kuno yang besar
di abad ke-20 dalam beberapa dekade sekarang, dunia Arab sedang melakukan
modernisasi berbagai aspek kemasyarakatan.
Selanjutnya, dalam perkembangan pemikiran Islam terdapat hierarki
dalam diri subjek yang mengetahui. Manusia bukan hanya subjek Cartesian
Cogito yang mengetahui pada satu dataran tunggal dari apa yang disebut
dengan pikiran. Otoritas-otoritas intelektual Islam sepenuhnya sadar akan hirarki
objek dan subjek pengetahuan. Berdasarkan realitas-realitas ini mereka mencoba
mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang dijabarkan hukan hanya dari al-Quran dan
hadis, tetapi juga yang diwarisi oleh para ilmuan dan sarjana muslim dari
peradaban-peradaban terdahulu seperti, Yunani, Persia, dan India.[1]
Dari perkembangan pemikiran Islam dari masa ke masa inilah, muncul
pemikiran atau gerakan Islam yang sangat bervariatif, sehingga di era modern
ini Islam memiliki madzhab (aliran) pemikiran yang banyak sekali. Akan tetapi
kita tidak ingin menyoroti madzhab dan aliran pemikiran tersebut kecuali dari
sudut peranan dan sejauh mana keterkaitan dengan dua sistem, yaitu elitisme (nakhbawiyah)
dan populisme (jamahariyah), sebagaimana kajian ini juga tidak ingin memasukkan
pembahasan tentang madzhab-madzhab dan aliran-aliran pemikiran lain yang tidak
membawa misi perubahan secara sempurna.
Sekalipun demikian, terdapat
beberapa catatan para cendekiawan muslim yang telah membahas berbagai isu
ekonomi tertentu secara panjang, bahkan di antaranya memperlihatkan suatu
wawasan analisis ekonomi yang sangat menarik.
Jadi dalam makalah ini kami akan mencoba menguraikan beberapa
pemikiran tentang ekonomi islam, yaitu madzhab Baqir Ash-shadr, madzhab
Mainstream dan madzhab alternatif
(analitis Kritis).
B. Pengertian
Pemikiran Ekonomi Islam
Menurut Muhammad Najatullah Ash-shiddiqy pemikiran ekonomi islam
adalah respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada
masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran
Al-quran sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek
kajian dalam pemikiran ekonomi islam bukanlah ajaran tentang ekonomi, tetapi
pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka
memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi. Objek pemikiran ekonomi
islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi islam yang terjadi dalam praktik
historis. [2]
C. PEMBAHASAN
1.
Mazhab Baqir Ash-Shadr
Menurut pendapat mazhab
Baqir As-Sadr dalam bukunya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) bahwa terdapat
perbedaan yang mendasar antara ilmu ekonomi dengan islam, keduanya merupakan
sesuatu yang berbeda sekali. Ilmu ekonomi adalah ilmu ekonomi sedangkan islam
adalah islam, tidak ada yang disebut ekonomi islam. Menurut mereka islam tidak
mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas, sebab alam semesta ini maha
luas. Sehingga jika manusia bisa memanfaatkannya niscaya tidak akan pernah
habis.[3]
Jadi, menurut mazhab ini bahwa ekonomi Islam merupakan suatu
istilah yang kurang tepat sebab ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu
ekonomi dengan ideologi Islam. Ada kesenjangan secara terminologis antara
pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian
ekonomi dalam perspektif syariah Islam, sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam
dalam konteks syariah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari Ilmu
ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah
kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan
manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam hal ini mazhab Baqir As-Sadr
menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT
telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber
daya ekonomi sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
Ï%©!$# ¼çms9 à7ù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur óOs9ur õÏGt #Ys9ur öNs9ur `ä3t ¼ã&©! Ô7ΰ Îû
Å7ù=ßJø9$#
t,n=yzur
¨@à2
&äóÓx«
¼çnu£s)sù
#\Ïø)s?
ÇËÈ
Artinya:
“Yang
kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan
tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan dia Telah menciptakan segala
sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS
Al-Furqan : 2)
Jadi, dalam hal ini konsep kelangkaan (scarcity) tidak bisa
diterima karena tidak selaras dengan pesan wahyu yang menjamin kehidupan setiap
makhluk di bumi ini.[4]
Pada sisi lain mazhab Baqir As-Sadr juga menolak anggapan bahwa kebutuhan
manusia sifatnya tidak terbatas. Sebab dalam kebutuhan tertentu misalnya makan
dan minum manakala perut sudah merasa kenyang maka dia sudah merasa puas karena
kebutuhannya telah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya bahwa kebutuhan manusia
sifatnya tidak tak terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep law of
diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi maka
pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap
tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang.[5]
Jadi ada kesenjangan pemikiran yang menimbulkan kekacauan persepsi
antara pengertian kebutuhan (need) dan keinginan (want). Jika
perilaku manusia disandarkan pada keinginan (want), maka persoalan
ekonomi tidak akan pernah selesai karena nafsu manusia selalu merasa tidak akan
pernah puas. Dan disinilah persoalan ekonomi yang dihadapi sekarang karena
bertitik tolak pada keinginan (want) masyarakat sehingga tekanan ekonomi
menjadi semakin kuat yang berdampak pada ketidakseimbangan baik secara
makroekonomi maupun mikroekonomi. Salah satu efek yang ditimbulkan dari
perilaku ekonomi yang bertitik tolak pada keinginan (want) yaitu semakin
rusaknya sistem keseimbangan lingkungan hidup karena sumber-sumber daya ekonomi
terkuras habis sekedar untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak akan pernah
puas. Penebangan dan pencurian hutan (illegal logging), semakin
menipisnya cadangan minyak bumi, menipisnya lapisan ozon, semakin sulitnya
mencari sumber air, lunturnya nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dan di
masyarakat, dsb. merupakan beberapa gambaran dari adanya ketidakseimbangan
ekologi dan sosial yang diakibatkan ulah tangan manusia yang sekedar ingin
memuaskan keinginan (want) yang tidak pernah berhenti.
Dalam perspektif ekonomi Islam bahwa perilaku ekonomi harus
didasarkan pada kebutuhan (need) yang disandarkan pada nilai-nilai
syariah Islam. Sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan untuk selalu
mengikuti setiap keinginan hawa nafsu, karena bisa jadi keinginan itu justru
akan menimbulkan bencana bagi kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya.
Demikian juga dalam aktivitas ekonomi bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh
seorang muslim harus disandarkan pada syariah Islam baik dalam aktivitas
konsumsi, produksi maupun distribusi. [6]
Moral ekonomi Islam yang didasarkan pada pengendalian hawa nafsu
akan menjamin keberlangsungan (sustainability) kehidupan dan sumber daya
ekonomi di dunia ini. Alokasi sumber daya ekonomi akan diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan manusia secara bijaksana dan bertanggung jawab yaitu untuk
menghasilkan barang dan jasa yang penting bagi masyarakat. Akan dihindari alokasi
sumber daya ekonomi untuk hal-hal yang merusak dan merugikan kehidupan
masyarakat seperti produksi minuman keras, narkoba, prostitusi, perjudian,
bisnis pornografi dan pornoaksi, dsb. Sehingga tidak timbul kekhawatiran akan
nasib generasi manusia yang akan datang, karena tiap individu melakukan
aktivitas ekonomi dan pengelolaan sumber daya ekonomi yang didasarkan pada
kebutuhan (need) yang berlandaskan syariah Islam bukan hanya sekedar
mengikuti keinginan (want) yang tidak akan pernah puas.
Selanjutnya bahwa menurut mazhab Baqir As-Sadr persoalan pokok yang
dihadapi oleh seluruh umat manusia di dunia ini adalah masalah distribusi
kekayaan yang tidak merata. Bagaimana anugerah yang diberikan Allah SWT kepada
seluruh makhluk termasuk manusia ini bisa didistribusikan secara merata dan
proporsional. Potensi sumber daya ekonomi yang diciptakan Allah SWT di alam
semesta ini begitu melimpah baik yang ada di darat maupun di laut. Jika
dikelola dengan baik dan bijaksana niscaya semua individu di dunia dapat hidup
secara layak dan manusiawi. Namun fakta membuktikan bahwa tidak semua manusia
dapat menikmati anugerah Allah tersebut, sehingga masih banyak dari mereka yang
hidup di bawah garis kemiskinan sementara sebagian kecil lainnya bergelimang
dalam kemewahan. Menurut mazhab Baqir As-Sadr untuk mewujudkan hal tersebut
maka ada beberapa langkah yang dilakukan yaitu :
1. Mengganti
istilah ilmu ekonomi dengan istilah iqtishad yang mengandung arti bahwa
selaras, setara dan seimbang (in between).
2. Menyusun
dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadist.
Dalam hal itulah mazhab Baqir As-Sadr mempunyai kontribusi yang
cukup signifikan dalam wacana perkembangan ilmu ekonomi Islam
2.
Aliran Mainstream
Corak utama dari pemikiran aliran ini adalah
kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam memandang masalah ekonomi. Menurut
aliran ini, masalah ekonomi timbul memang dikarenakan kelangkaan (scarcity)
Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak terbatas. Untuk itu, manusia
diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi segala kebutuhannya.[7]
Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut tidak dapat dilakukan
semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya sesuai dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul
Mannan, Muhammad Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a. Muhammad
Abdul Mannan.
Abdul Mannan merupakan salah satu sosok pemikir ekonomi Islam yang
datang di masa kontemporer ini, yaitu salah seorang yang mendapat gelar Master
dan Doktornya di Universitas Michigan, Amerika Serikat. Ia juga salah satu
pengajar dan peneliti di universitas-universitas dunia termasuk di Universitas
Kiing Abdul Aziz, Jeddah
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya Islamic Economics
Theory and Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society
(1984). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai
Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah ”kelangkaan”, maka bagi
Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat. Bedanya adalah
pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi
oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan,
yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah
sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi
produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam
adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran
sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih
adil.[8]
b.
Muhammad Nejatullah Siddiqi.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam
karya-karyanya; The Economic Enterprise in Islam (1971) dan Some Aspects of The
Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “respon para
pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi pada zaman mereka
masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik
sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen. Siddiqi menolak
determinisme ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan
teknik produksi terbaik dan metode organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak
pada basis hubungan antarmanusia, di samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan
sosial yang membentuk sistem tersebut. Ciri utama yang membedakan perekonomian
Islam dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di
dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan
sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia
mengusulkan modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya
untuk mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan
tujuan yang dicapai.
c.
Syed Nawab Haidar Naqvi.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; Ethics and
Economics: An Islamic Synthesis (1981). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai
“perilaku muslim sebagai perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3
tema besar yang mendominasi pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama,
kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih
luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika ilahiyyah,
yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān). Menurutnya,
hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam
ekonomi Islam, dan faktor etika inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam
dari sistem ekonomi lainnya. Kedua, melalui prinsip Al-’Adl wa Al-
Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam
kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis.[9]
Bias tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia
terjemahkan sebagai egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering
kali ia tekankan dalam tulisannya. ketiga adalah diperlukannya suatu
peran utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai
regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan dasar,
tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik di
pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan sebagai
pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau
penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang
dan pendorong kegiatan ekonomi.[10]
d.
Monzer Kahf.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya The Islamic
Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System
(1978). Ia tidak mengusulkan suatu definisi ”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi
karena ilmu ekonomi berhubungan dengan perilaku manusia dalam hal produksi,
distribusi dan konsumsi.[11] Maka
ekonomi Islam, menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang dari ilmu
ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni aksioma, sistem
nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan ekonomi
Sosialisme. Dengan pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok ekonom Islam
tertentu. Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan
terlalu keras perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak
memahami bahwa perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan
prinsipnya, bukan pada metode yang digunakan.[12]
Di pihak lain, terdapat juga
kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-asumsi ekonomi Barat yang
sarat nilai. Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba menyamakan
antara ekonomi Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah
menyempitkan ekonomi Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan
larangan saja, padalah seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori
konsumsi atau teori produksi. Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi
ekonomi Islam dalam kerangka atau kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta
tidak pula bisa memisah-misahkan berbagai seginya seperti filosofinya, prinsip
atau aksiomanya, serta fungsi aktualnya.
3.
Aliran Alternatif
Aliran ini dikenal sebagai
aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik sebagai ilmu
maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran sebelumnya. Aliran
Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang
sebenarnya sudah ditemukan tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream
dikritik sebagai jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan
menghilangkan unsur riba serta memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga
tidak ada yang orisinil dari aliran ini. Namun aliran ini tidak hanya
mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi konvensional pun juga telah dikritik.
Tokoh-tokoh aliran ini
adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a.
Timur Kuran.
Ia adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University,
USA. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The
Economyc System in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and
Assessment”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 18
tahun 1986, dan “On The Notion of Economic Justice in Contemporary Islamic
Thought”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume
21 tahun 1989.
b.
Sohrab Behdad.
Pemikirannya dapat
ditemukan dalam tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in
Contemporary Islamic Economic Thought A Critical Perspective” dalam jurnal Review
of Social Economy Volume 47 tahun 1989.
c. Abdullah Saeed.
Ia adalah seorang Profesor Studi
Arab-Islam di University of Melbourne, Australia. Pemikirannya bisa ditemukan
dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in Practice A
Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of Arabic,
Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral Context
of The Prohibition of Riba in Islam Revisited” dalam American Journal of
Islamic Social Science tahun 1995.
D.PENUTUP
Kesimpulan
Ekonomi Islam pada dasarnya merupakan aktualisasi nilai-nilai Islam
dalam aktifitas kehidupan manusia dalam rangka mewujutkan kesejahteraan manusia
di dunia dan akhirat.
Perbedaan pandangan diantara para tokoh ekonom Islam pada dasarnya
berakar pada 3 permasalah utama yang diantaranya adalah :
1.
Metodologi yang di pakai dalam membangun ekonomi Islam dan sistem ekonomi
Islam.
2.
Perbedaan tafsir konsep ekonomi yang ditemukan dalam al-Qur’an seperti istilah
khilafah dan implikasi kepemilikan.
3.
Penafsiran yang berbeda terhadap bangunan sistem ekonomi.
Namun ketiga mazhab tersebut
tidak saling menyalahkan satu sama lain dan memiliki tujuan yang sama.
Keberadaan ekonomi Islam tidak lain bertujuan mewujudkan
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Tujuan tersebut
dalam pandangan para ahli dijabarkan dalam 3 permasalah pokok yang terdiri atas
:
1.
Mewujudkan pertumbuhan ekonomi dalam Negara.
2.
Mewujudkan kesejahteraan manusia
3. Mewujudkan
mekanisme distribusi kekayaan yang adil.
Saran
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami
ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan
baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami
mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di
kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah
ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai pemikiran tentang ekonomi
islam.
E. DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Boedi, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
As
Shadr, Baqr, Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishoduna, Jakarta: Ziyad, 2008.
Azwar
karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2006.
Chamid,
Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Kediri: Pustaka Pelajar, 2010.
Ulfah,
Mariyah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2010.
Hulwati, Ekonomi Islam, Jakarta:
Ciputat Press Group, 2009.
Amalia,
Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Gramata publishing, 2005.
Qardhawi,
Yusuf, Norma &Etika Ekonomi Islam, GIP,
www.google.com
Konsep Asas Rasionalisme Islam Menurut Mozer Kahf
[2]Boedi Abdullah,
Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal.
15
[3] Baqr As Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishoduna, (
Jakarta: Ziyad, 2008), hal 286
[5] Adiwarman
Azwar karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ( Jakarta: Rajawali Press,
2006), hal,. 54-55
[6] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
(Kediri: Pustaka Pelajar, 2010), Cet.1, hal. 230
[7] Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, (
Bandung: Alfabeta, 2010 ), hlm.21
[8] Hulwati, Ekonomi
Islam, ( Jakarta: Ciputat Press Group, 2009), hlm.1-3
[10] Yusuf Qardhawi, Norma
&Etika Ekonomi Islam, GIP, h.22
[11] www.google.com Konsep Asas Rasionalisme Islam Menurut Mozer
Kahf