google-site-verification: google8cc9d88fb7df7b42.html KESEMPURNAAN: PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Saturday, 12 October 2013

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM



PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
A. PENDAHULUAN
Berbicara pemikiran ekonomi Islam, maka tidak terlepas dari mana Islam tersebut lahir. Tanah Arab adalah cikal bakal tumbuh dan berkembangnya agama Islam, sehingga untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pemikiran Islam, maka perlu kiranya menelisik sumber aslinya hingga masa sekarang.
Ketika masa Nabi Muhammad masih hidup, masalah-masalah yang timbul di kalangan masyarakat diselesaikan oleh wahyu, atau oleh Nabi Muhammad sebagai manusia yang memperoleh otoritas tasyri’ (menetapkan hukum). Dengan bergulirnya waktu sejarah umat Islam mewarisi sebuah peradaban kuno yang besar di abad ke-20 dalam beberapa dekade sekarang, dunia Arab sedang melakukan modernisasi berbagai aspek kemasyarakatan.
Selanjutnya, dalam perkembangan pemikiran Islam terdapat hierarki dalam diri subjek yang mengetahui. Manusia bukan hanya subjek Cartesian Cogito yang mengetahui pada satu dataran tunggal dari apa yang disebut dengan pikiran. Otoritas-otoritas intelektual Islam sepenuhnya sadar akan hirarki objek dan subjek pengetahuan. Berdasarkan realitas-realitas ini mereka mencoba mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang dijabarkan hukan hanya dari al-Quran dan hadis, tetapi juga yang diwarisi oleh para ilmuan dan sarjana muslim dari peradaban-peradaban terdahulu seperti, Yunani, Persia, dan India.[1]
Dari perkembangan pemikiran Islam dari masa ke masa inilah, muncul pemikiran atau gerakan Islam yang sangat bervariatif, sehingga di era modern ini Islam memiliki madzhab (aliran) pemikiran yang banyak sekali. Akan tetapi kita tidak ingin menyoroti madzhab dan aliran pemikiran tersebut kecuali dari sudut peranan dan sejauh mana keterkaitan dengan dua sistem, yaitu elitisme (nakhbawiyah) dan populisme (jamahariyah), sebagaimana kajian ini juga tidak ingin memasukkan pembahasan tentang madzhab-madzhab dan aliran-aliran pemikiran lain yang tidak membawa misi perubahan secara sempurna.
 Sekalipun demikian, terdapat beberapa catatan para cendekiawan muslim yang telah membahas berbagai isu ekonomi tertentu secara panjang, bahkan di antaranya memperlihatkan suatu wawasan analisis ekonomi yang sangat menarik.
Jadi dalam makalah ini kami akan mencoba menguraikan beberapa pemikiran tentang ekonomi islam, yaitu madzhab Baqir Ash-shadr, madzhab Mainstream dan madzhab  alternatif (analitis Kritis).
B. Pengertian Pemikiran Ekonomi Islam
Menurut Muhammad Najatullah Ash-shiddiqy pemikiran ekonomi islam adalah respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-quran sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek kajian dalam pemikiran ekonomi islam bukanlah ajaran tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi. Objek pemikiran ekonomi islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi islam yang terjadi dalam praktik historis. [2] 
C. PEMBAHASAN
1. Mazhab Baqir Ash-Shadr
 Menurut pendapat mazhab Baqir As-Sadr dalam bukunya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara ilmu ekonomi dengan islam, keduanya merupakan sesuatu yang berbeda sekali. Ilmu ekonomi adalah ilmu ekonomi sedangkan islam adalah islam, tidak ada yang disebut ekonomi islam. Menurut mereka islam tidak mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas, sebab alam semesta ini maha luas. Sehingga jika manusia bisa memanfaatkannya niscaya tidak akan pernah habis.[3]
Jadi, menurut mazhab ini bahwa ekonomi Islam merupakan suatu istilah yang kurang tepat sebab ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Ada kesenjangan secara terminologis antara pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian ekonomi dalam perspektif syariah Islam, sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks syariah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari Ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam hal ini mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
Ï%©!$# ¼çms9 à7ù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur óOs9ur õÏ­Gtƒ #Ys9ur öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! Ô7ƒÎŽŸ° Îû Å7ù=ßJø9$# t,n=yzur ¨@à2 &äóÓx« ¼çnu£s)sù #\ƒÏø)s? ÇËÈ
Artinya:
Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS Al-Furqan : 2)
Jadi, dalam hal ini konsep kelangkaan (scarcity) tidak bisa diterima karena tidak selaras dengan pesan wahyu yang menjamin kehidupan setiap makhluk di bumi ini.[4] Pada sisi lain mazhab Baqir As-Sadr juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas. Sebab dalam kebutuhan tertentu misalnya makan dan minum manakala perut sudah merasa kenyang maka dia sudah merasa puas karena kebutuhannya telah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak tak terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep law of diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi maka pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang.[5]
Jadi ada kesenjangan pemikiran yang menimbulkan kekacauan persepsi antara pengertian kebutuhan (need) dan keinginan (want). Jika perilaku manusia disandarkan pada keinginan (want), maka persoalan ekonomi tidak akan pernah selesai karena nafsu manusia selalu merasa tidak akan pernah puas. Dan disinilah persoalan ekonomi yang dihadapi sekarang karena bertitik tolak pada keinginan (want) masyarakat sehingga tekanan ekonomi menjadi semakin kuat yang berdampak pada ketidakseimbangan baik secara makroekonomi maupun mikroekonomi. Salah satu efek yang ditimbulkan dari perilaku ekonomi yang bertitik tolak pada keinginan (want) yaitu semakin rusaknya sistem keseimbangan lingkungan hidup karena sumber-sumber daya ekonomi terkuras habis sekedar untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak akan pernah puas. Penebangan dan pencurian hutan (illegal logging), semakin menipisnya cadangan minyak bumi, menipisnya lapisan ozon, semakin sulitnya mencari sumber air, lunturnya nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dan di masyarakat, dsb. merupakan beberapa gambaran dari adanya ketidakseimbangan ekologi dan sosial yang diakibatkan ulah tangan manusia yang sekedar ingin memuaskan keinginan (want) yang tidak pernah berhenti.
Dalam perspektif ekonomi Islam bahwa perilaku ekonomi harus didasarkan pada kebutuhan (need) yang disandarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan untuk selalu mengikuti setiap keinginan hawa nafsu, karena bisa jadi keinginan itu justru akan menimbulkan bencana bagi kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya. Demikian juga dalam aktivitas ekonomi bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim harus disandarkan pada syariah Islam baik dalam aktivitas konsumsi, produksi maupun distribusi. [6]
Moral ekonomi Islam yang didasarkan pada pengendalian hawa nafsu akan menjamin keberlangsungan (sustainability) kehidupan dan sumber daya ekonomi di dunia ini. Alokasi sumber daya ekonomi akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara bijaksana dan bertanggung jawab yaitu untuk menghasilkan barang dan jasa yang penting bagi masyarakat. Akan dihindari alokasi sumber daya ekonomi untuk hal-hal yang merusak dan merugikan kehidupan masyarakat seperti produksi minuman keras, narkoba, prostitusi, perjudian, bisnis pornografi dan pornoaksi, dsb. Sehingga tidak timbul kekhawatiran akan nasib generasi manusia yang akan datang, karena tiap individu melakukan aktivitas ekonomi dan pengelolaan sumber daya ekonomi yang didasarkan pada kebutuhan (need) yang berlandaskan syariah Islam bukan hanya sekedar mengikuti keinginan (want) yang tidak akan pernah puas.
Selanjutnya bahwa menurut mazhab Baqir As-Sadr persoalan pokok yang dihadapi oleh seluruh umat manusia di dunia ini adalah masalah distribusi kekayaan yang tidak merata. Bagaimana anugerah yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk termasuk manusia ini bisa didistribusikan secara merata dan proporsional. Potensi sumber daya ekonomi yang diciptakan Allah SWT di alam semesta ini begitu melimpah baik yang ada di darat maupun di laut. Jika dikelola dengan baik dan bijaksana niscaya semua individu di dunia dapat hidup secara layak dan manusiawi. Namun fakta membuktikan bahwa tidak semua manusia dapat menikmati anugerah Allah tersebut, sehingga masih banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sementara sebagian kecil lainnya bergelimang dalam kemewahan. Menurut mazhab Baqir As-Sadr untuk mewujudkan hal tersebut maka ada beberapa langkah yang dilakukan yaitu :
1. Mengganti istilah ilmu ekonomi dengan istilah iqtishad yang mengandung arti bahwa selaras, setara dan seimbang (in between).
2. Menyusun dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam hal itulah mazhab Baqir As-Sadr mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam wacana perkembangan ilmu ekonomi Islam
2. Aliran Mainstream
     Corak utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam memandang masalah ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang dikarenakan kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi segala kebutuhannya.[7] Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut tidak dapat dilakukan semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.
a. Muhammad Abdul Mannan.
Abdul Mannan merupakan salah satu sosok pemikir ekonomi Islam yang datang di masa kontemporer ini, yaitu salah seorang yang mendapat gelar Master dan Doktornya di Universitas Michigan, Amerika Serikat. Ia juga salah satu pengajar dan peneliti di universitas-universitas dunia termasuk di Universitas Kiing Abdul Aziz, Jeddah
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya Islamic Economics Theory and Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah ”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat. Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah distribusi yang lebih adil.[8]
b. Muhammad Nejatullah Siddiqi.
       Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; The Economic Enterprise in Islam (1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi pada zaman mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik sebagai dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen. Siddiqi menolak determinisme ekonomi Marx. Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di samping pada sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut. Ciri utama yang membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya, adalah bahwa di dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk mewujudkan perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan yang dicapai.
c. Syed Nawab Haidar Naqvi.  
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (1981). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku muslim sebagai perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema besar yang mendominasi pemikiran Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān). Menurutnya, hal itu berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor etika inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya. Kedua, melalui prinsip Al-’Adl wa Al- Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam kebijakan-kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis.[9] Bias tersebut mencerminkan penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan sebagai egalitarianisme. Ini adalah suatu butir penting yang sering kali ia tekankan dalam tulisannya. ketiga adalah diperlukannya suatu peran utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan dasar, tetapi juga sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik di pasar barang maupun faktor produksi, demikian pula negara berperan sebagai pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara Islam sebagai perwujudan atau penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai penyedia, penopang dan pendorong kegiatan ekonomi.[10]
d. Monzer Kahf.
Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya The Islamic Economy: Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu definisi ”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan dengan perilaku manusia dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi.[11] Maka ekonomi Islam, menurutnya, dapat dilihat sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni aksioma, sistem nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan ekonomi Sosialisme. Dengan pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok ekonom Islam tertentu. Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan terlalu keras perbedaan antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak memahami bahwa perbedaan antara keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan prinsipnya, bukan pada metode yang digunakan.[12]
 Di pihak lain, terdapat juga kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-asumsi ekonomi Barat yang sarat nilai. Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba menyamakan antara ekonomi Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah menyempitkan ekonomi Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan larangan saja, padalah seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori konsumsi atau teori produksi. Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi ekonomi Islam dalam kerangka atau kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta tidak pula bisa memisah-misahkan berbagai seginya seperti filosofinya, prinsip atau aksiomanya, serta fungsi aktualnya.
3. Aliran Alternatif
 Aliran ini dikenal sebagai aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik sebagai ilmu maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran sebelumnya. Aliran Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik sebagai jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba serta memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari aliran ini. Namun aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi konvensional pun juga telah dikritik.
 Tokoh-tokoh aliran ini adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur Kuran.
Ia adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.
b. Sohrab Behdad.
  Pemikirannya dapat ditemukan dalam tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in Contemporary Islamic Economic Thought A Critical Perspective” dalam jurnal Review of Social Economy Volume 47 tahun 1989.
c. Abdullah Saeed.                                                                            
      Ia adalah seorang Profesor Studi Arab-Islam di University of Melbourne, Australia. Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in Practice A Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of Arabic, Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral Context of The Prohibition of Riba in Islam Revisited” dalam American Journal of Islamic Social Science tahun 1995.


D.PENUTUP
Kesimpulan
Ekonomi Islam pada dasarnya merupakan aktualisasi nilai-nilai Islam dalam aktifitas kehidupan manusia dalam rangka mewujutkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.
Perbedaan pandangan diantara para tokoh ekonom Islam pada dasarnya berakar pada 3 permasalah utama yang diantaranya adalah :
1. Metodologi yang di pakai dalam membangun ekonomi Islam dan sistem ekonomi Islam.
2. Perbedaan tafsir konsep ekonomi yang ditemukan dalam al-Qur’an seperti istilah khilafah dan implikasi kepemilikan.
3. Penafsiran yang berbeda terhadap bangunan sistem ekonomi.
Namun  ketiga mazhab tersebut tidak saling menyalahkan satu sama lain dan memiliki tujuan yang sama.
Keberadaan ekonomi Islam tidak lain bertujuan mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Tujuan tersebut dalam pandangan para ahli dijabarkan dalam 3 permasalah pokok yang terdiri atas :
1. Mewujudkan pertumbuhan ekonomi dalam Negara.
2. Mewujudkan kesejahteraan manusia
3. Mewujudkan mekanisme distribusi kekayaan yang adil.
Saran
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai pemikiran tentang ekonomi islam.












E. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia,                  2010.
As Shadr, Baqr, Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishoduna,  Jakarta: Ziyad, 2008.
Azwar karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,  Jakarta: Rajawali                   Press, 2006.
Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Kediri: Pustaka                 Pelajar, 2010.
Ulfah, Mariyah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, Bandung: Alfabeta,                 2010.
 Hulwati, Ekonomi Islam, Jakarta: Ciputat Press Group, 2009.
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Gramata publishing,           2005.
Qardhawi, Yusuf, Norma &Etika Ekonomi Islam, GIP,
www.google.com Konsep Asas Rasionalisme Islam Menurut Mozer Kahf




[1] Arif Hoetoro, missing link dalam sejarah pemikiran ekonomi, (Unibraw: BPFE, 2007), hal. 39

[2]Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 15

[3] Baqr As Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishoduna, ( Jakarta: Ziyad, 2008), hal 286

[4] Ibid,.hal. 287
[5] Adiwarman Azwar karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ( Jakarta: Rajawali Press, 2006), hal,. 54-55
[6] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Kediri: Pustaka Pelajar, 2010), Cet.1, hal. 230
[7] Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer, ( Bandung: Alfabeta, 2010 ), hlm.21

[8] Hulwati, Ekonomi Islam, ( Jakarta: Ciputat Press Group, 2009), hlm.1-3
[9] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Gramata publishing, 2005), hal. 276.

[10]  Yusuf Qardhawi, Norma &Etika Ekonomi Islam, GIP, h.22
[11] www.google.com Konsep Asas Rasionalisme Islam Menurut Mozer Kahf

[12] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah..... hlm.389-390