google-site-verification: google8cc9d88fb7df7b42.html KESEMPURNAAN: Wali Dan Saksi Dalam Pernikahan

Friday 4 October 2013

Wali Dan Saksi Dalam Pernikahan


                                                                                                                                                         I.       PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.
Selanjutnya makalah ini dibuat juga, untuk memberikan informasi baik bagi pembaca maupun bagi pemakalah sendiri, juga menjadi sebuah tambahan pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai wali dan saksi dalam nikah serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana permasalahan wali dan saksi dalam pernikahan?
2.      Apa-apa saja syarat menjadi wali dan saksi dalam pernikahan?
3.      Bagaimana pengaruh, fungsi serta tanggung jawab saksi dalam pernikahan?
C.     Tujuan penulisan
1.      memperoleh pengetahuan tentang permasalan wali dan saksi dalam pernikahan.
2.      mengetahui syarat-syarat wali dan saksi dalam pernikahan.
3.      memperoleh pengetahuan tentang pengaruh, fungsi serta tanggung jawab saksi dalam pernikahan.
                                                                                                                                                       II.            PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wali
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.[1]
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
 Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).[2]
B.     Macam-macam wali dan urutannya
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
1.      Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yangberhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a)      Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b)      Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c)      Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d)     Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e)      Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f)       Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g)      Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h)      Anak paman seayah,
i)        Ahli waris kerabat lainya kalau ada.

2.      Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
a)      Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
b)      Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
c)      Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
d)     Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
e)      Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
f)       Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
g)      Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3.      Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[3]
C.     Syarat-syarat wali
1)      Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
2)      Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
3)      Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
 `ãأَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
4)      Orang merdeka.
5)      Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.[4]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn Hanbal).
6)      Tidak sedang melakukan ihram.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.
D.    Saksi Dalam akad nikah
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.[5]
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍِّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ

 “Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad  nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.
E.     Syarat-syarat saksi
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:[6]
1)      Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
2)      Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
3)      Berakal
       Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
4)      Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
5)      Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
6)      Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
7)      Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
8)      Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
F.      Pengaruh, fungsi dan tanggung jawab saksi
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada keraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh cinta-kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan. Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam keadaaan terpaksa atau ada sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh masyarakat. Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi perkawinan (walimatul ‘ursy)[7]











                                                                                                                                                              III.            PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a.       Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
b.      Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
c.       Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
d.      Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki, mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Adapun syarat pada dua orang saksi, antara lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki, mendengar dan memahami ucapam ijab qabul adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Saksi menjadi syarat sah akad nikah.
B.     Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyadari akan banyaknya kekurangan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Demi kesempurnaan makalah ini kedepannya
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih, jilid. 2, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993).
Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara,           1999.
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Toha Putra, 1978
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3, Jakarta:     Kencana Prenada Media Group, 2009.










                       


[1] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hal .65.
[2] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Toha Putra, 1978), hal. 456
[3] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. 2 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal. 25
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, jilid. 2 (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hal.82
[5] Djaaman Nur, Fiqh Munakahah. . . , hal. 61
[6] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.3 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 83
[7] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, ( Jakarta: Grafindo Persada, 1997 ), hal. 153

No comments:

Post a Comment