google-site-verification: google8cc9d88fb7df7b42.html KESEMPURNAAN: HIBAH MENURUT PARA IMAM MAZHAB

Wednesday, 22 October 2014

HIBAH MENURUT PARA IMAM MAZHAB

I.       PENDAHULUAN
 A.    Latar Belakang
Dalam Islam, ada beberapa bentuk perikatan untuk memindahkan hak milik dari seseorang kepada orang lain, baik pemindahan hak milik yang bersifat sementara maupun selamanya, seperti jual-beli, waris, wasiat, shadaqah, hadiah, hibah dan lain-lain.Hibah merupakan ajaran Islam yang mengatur tentang bagaimana kita sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi dengan yang lain. Banyak dijelaskan tentang hibah dengan landasan dari al-Qur’an dan Hadits-hadits ahkam. Hal itu dikarenakan masalah mu’amalah merupakan bidang yang amat lebar, yakni sama luasnya dengan aktivitas kehidupan keduniaan kita sehari-hari. Dalam hubungan ini, maka Islam telah memberikan dasar-dasar yang kuat sebagai pegangan yang tidak akan menghambat manusia itu berkreativitas sepanjang tidak menyalahi dasar-dasar syari’at, termasuk hibah yang merupakan aktivitas yang bernilai positif sebagai pemererat tali silaturrahim.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hibah menurut para imam mazhab?
2.      Apa-apa saja syarat dan rukun hibah menurut para imam mazhab?
3.      Bagaimana hukum menarik kembali harta yang telah dihibahkan menurut para imam mazhab?
 C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian hibah menurut para imam mazhab.
2.      Mengetahui tentang syarat dan rukun hibah menurut para imam mazhab.
3.      Memperoleh pengetahuan tentang hukum menarik kembali harta yang telah dihibahkan menurut para imam mazhab.
 II.    PEMBAHASAN
 A.    Pengertin HibahSecara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.[1]Di dalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebut ijarah (pinjaman).Adapum definisi hibah dari empat mazhab yaitu:[2]Menurut mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan suatu benda tanpa menjanjikan imbalan seketika. Mazhab Hanafi memberikan definisi yang lebih rinci, yaitu pemilikan harta dari seorang terhadap orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta itu ketika masih hidup dan tanpa mengharap imbalan.Menurut mazhab Maliki, hibah adalah memberikan suatu barang milik sendiri tanpa mengharap suatu imbalan kepada orang yang diberi.Mazhab Syafi’i memberikan definisi hibah secara singkat, yaitu memberikan barang milik sendiri secara sadar sewaktu hidup.Menurut mazhab Hambali, hibah adalah pemberian milik yang dilakukan oleh orang dewasa yang pandai yang berhak menggunakan sejumlah harta yang diketahui atau tidak diketahui namun sulit mengetahuinya, harta tersebut memang ada, dapat diserahkan dalam kondisi tidak wajib dalam keadaan masih hidup dan tanpa imbalan.
B.     Macam-macam Hibah1)      Hibah mu’abbadMu’abbad disini dimaksudkan pada kepemilikan penerima hibah terhadap barang hibah yang diterimanya. Kata mu’abbad sendiri dapat diartikan dengan selamanya atau sepanjang masa. Hibah dalam kategori ini tidak bersyarat, barang sepenuhnya menjadi milik mauhublah. Sehingga dia mampu melakukan tindakan hukum pada barang tersebut tanpa ada batasan waktu.
2)      Hibah mu’aqqatHibah jenis mu’aqqat merupakan hibah yang dibatasi karena ada syarat-syarat tertentu dari pemberi hibah berkaitan dengan tempo atau waktu. Harta yang dihibahkan biasanya hanya berupa manfaat, sehingga penerima hibah tidak mempunyai hak milik sepenuhnya untuk melakukan tindakan hukum. Terdapat dua bentuk hibah yang bersyarat, yaitu al-‘umra’ dan al-ruqba. Al-‘umra’ adalah hibah yang hanya diberikan pada seseorang (penerima hibah) sepanjang hidupnya. Jika penerima hibah itu meninggal maka harta yang dihibahkan kembali pada penghibah atau ahli warisnya.[3]Apabila seseorang menyuruh orang lain mendiami rumahnya dengan mengatakan: “rumah ini aku berikan kepadamu agar engkau diami sepanjang umurmu”, maka hal itu berarti ia telah memberikan manfaat kepadanya untuk mendiami rumah tersebut sepanjang hidupnya. Jika ia telah meninggal, rumah tersebut kembali kepada pemiliknya, yaitu orang yang memberikannya.Hibah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat:
Pertama, bahwa hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali. Yakni bahwa hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya (ar-raqabah), pendapat ini dikemukakan oleh Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad, dan sekelompok fuqaha lainnya.
Kedua, bahwa orang yang diberi hibah itu hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan para pengikutnya, apabila dalam akad tersebut disebutkan keturunan sedangkan keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya.
Ketiga, bahwa apabila pemberi hibah berkata: “barang ini, selama umurku masih ada, untukmu dan keturunanmu”, maka barang tersebut menjadi milik orang yang diberi hibah. Jika dalam akad tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan, maka sesudah meninggalnya orang yang diberi hibah, barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud dan Abu Tsaur.
Selanjutnya yaitu al-ruqba yang artinya mengawasi satu sama lain. Di sini antara pemberi dan penerima hibah saling mengawasi siapakah di antara mereka yang memiliki umur lebih panjang maka dialah yang akan memiliki harta tersebut sampai ke anak cucu atau ahli waris mereka, oleh karena itu barang yang dihibahkan secara otomatis langsung berpindah kepemilikannya pada pihak yang masih hidup ketika salah satu dari mereka meninggal dunia.[4]Memberi hibah secara ruqba, yaitu seorang mengatakan: “rumahku untukmu jika aku meninggal sebelummu, kamu gabungkan pada rumahmu, dan rumahmu untukku jika engkau meninggal sebelumku, maka gabunglah pada rumahku”, maka hukumnya adalah sah. Demikian menurut pendapat Syafi’i, Hambali dan Abu Yusuf. Sedangkan menurut pendapat Maliki, Hanafi dan Muhammad bin al-Hasan hibah ruqba adalah tidak sah.C.    Kadar Harta yang Boleh Dihibahkan
Islam tidak menetapkan kadar atau had tertentu bagi harta yang hendak dihibahkan. Ini kerana harta yang hendak dihibahkan itu merupakan milik pemberi hibah, maka terpulanglah kepada pemberi hibah membuat pertimbangan terhadap kadar harta yang ingin dihibahkan. Walaupun begitu, Islam menggalakkan hibah diberikan secara adil, lebih-lebih lagi jika diberikan kepada anak-anak.Jumhur ulama (Hanafi, Maliki dan Syafi’i) berpendapat bahwa sunat menyamakan pemberian di antara anak-anak dan pemberian yang lebih kepada salah seorang daripada mereka adalah makruh hukumnya, walaupun pemberian itu sah. Bagi Abu Yusuf, melebihkan pemberian kepada sebahagian daripada anak-anak adalah diharuskan jika ibu bapak tidak berniat menimbulkan bahaya kepada anak-anak yang lain. Sekiranya ibu bapak berniat sedemikian, maka menjadi kewajiban mereka menyamakan pemberian tersebut.
Menurut mazhab Hambali, keadilan dalam pemberian hibah kepada anak-anak merupakan perkara yang wajib. Manakala menurut Imam Malik, tidak boleh memberi hibah semua harta kepada sesetengah anaknya dan tidak kepada yang lain.Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Abu Yusuf, cara pemberian harta yang adil kepada anak-anak semasa hayat ialah dengan cara menyamakan pemberian tersebut tanpa membedakan di antara anak laki-laki dan anak perempuan. Sebaliknya, golongan Hambali dan Muhammad bin Hasan al-Shaybani berpendapat bahwa keadilan yang dikehendaki dalam pemberian adalah mengikuti kadar mereka dalam pembahagian harta pusaka, yaitu bahagian anak laki-laki menyamai dua bahagian anak perempuan.D.    Rukun Dan Syarat HibahPara ulama sepakat mengatakan bahwa hibah mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga hibah itu dianggap sah dan berlaku hukumnya. Menurut Ibnu Rusyd, rukun hibah ada tiga: (1) orang yang menghibahkan (al-wahib), (2) orang yang menerima hibah (al-mauhublah), pemberiannya (al-hibah). Hal senada dikemukan Abdurrahman al-Jaziri, bahwa rukun hibah ada tiga macam: (1) ‘aiqid (orang yang memberikan dan orang yang diberi) atau wahib dan mauhublah, (2) mauhub (barang yang diberikan) yaitu harta, (3) shighat atau ijab dan qabul.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rukun hibah itu adalah adanya ijab (ungkapan penyerahan/pemberian harta), qabul (ungkapan penerimaan) dan qabd (harta itu dapat dikuasai langsung). Jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun hibah itu ada empat, yaitu: (a) orang yang menghibahkan, (b) harta yang dihibahkan, (c) lafaz hibah, dan (d) orang yang menerima hibah.[5]Adapun persyaratan bagi orang yang boleh memberi atau menerima hibah dapat diuraikan secara terperinci dan akan menguraikan tentang syarat-syarat hibah yang mana syarat-syarat ini lahir dari bahagian-bahagian atau komponen rukun hibah yang telah disebutkan di atas.a.       Syarat orang yang memberikan hibah (wahib)
Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj, sebagai berikut: “Maka disyaratkan terhadap orang yang menghibahkan adalah memiliki, mempunyai hak untuk mentasarrufkan hartanya”.[6]Dari pernyataan ini dipahami ada dua pernyataan bagi orang yang akan menghibahkan hartanya:1.      Orang yang memiliki, yaitu orang yang mempunyai hak milik penuh terhadap harta yang dihibahkan, baik secara hakikat maupun secara hukum, jadi tidak sah menghibahkan sesuatu yang belum jelas kepemilikannya seperti menghibahkan ikan di laut atau hutan belantara, dan sebagainya.
2.      Orang yang mempunyai hak mentasarrufkan hartanya. Jadi orang gila, anak-anak, orang yang masih dalam perwalian tidak sah atau tidak boleh menghibahkan hartanya.
 b.      Syarat orang yang menerima hibah (mauhublah)
Dalam hal ini juga tidak jauh berbeda dengan syarat orang yang memberi hibah, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya, sebagai berikut: “Dan disyaratkan bagi orang yang menerima hibah itu adalah orang yang ahli memiliki apa yang dihibahkan baginya”.Dari pernyataan ini dipahami bahwa orang yang boleh menerima hibah itu adalah ahli milik, yaitu orang-orang yang benar-benar mampu dalam memelihara atau mengurus harta yang dihibahkan kepadanya. Dengan demikian tidak sah hibah ditujukan atau diberikan kepada anak-anak, dan seumpamanya.  Karena anak-anak dan orang gila dianggap bukanlah orang yang mampu memelihara atau mengurus hartanya.Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa seseorang dibolehkan memberi hibah apabila memenuhi empat syarat. Adapun empat syarat tersebut adalah:1)      Merdeka
Seorang hamba tidak sah memberi hibah, sebab menurut hukum ia tidak mempunyai harta dan dia sendiri adalah milik tuannya.2)      Berakal dan tidak dibawah  pengampuan
Seorang gila tidak sah memberi hibah, begitu pula anak-anak, orang bodoh dan pemboros yang ditaruh dalam pengampuan. Pendapat ini disepakati oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah. Sebutan “berakal” disini menurut ulama Hanafiyah berakal secara umum. Karenanya, seorang yang mabuk disebabkan karena minum khamar misalnya, tetap sah memberi hibah. Ini berbeda dengan pendapat Malikiyah yang menyatakan orang mabuk tidak sah memberi hibah, sebab bagaimanapun pemberian itu adalah di luar kesadarannya sehingga kerelaannya tidak dapat dipercaya sepenuhnya.3)      Baligh, anak-anak tidak sah memberi hibah.
4)      Ia pemilik barang yang dihibahkan
Seseorang tidak sah menghibahkan sesuatu yang bukan miliknya. Sekalipun sedang berada di dalam tangannya. Karenanya, seorang pencuri tidak sah menghibahkan barang curiannya.Bagi orang yang berhak menerima hibah ulama Hanafiyah memberikan persyaratan bagi seseorang yang boleh menerima hibah, menurut pendapat mereka siapa saja boleh menerima hibah. Baik orang baligh, berakal, maupun gila, anak-anak ataupun orang ditaruh di bawah pengampuan. Syarat-syarat yang diberlakukan terhadap pemberi hibah tidak berlaku bagi penerima hibah.[7]Pendapat ini tidak disepakati oleh ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah. Mereka berpendapat bahwa seseorang baru sah menerima hibah apabila telah dipenuhi syarat taklif. Dengan demikian pendapat mereka, orang gila dan anak-anak ataupun orang yang ditaruh di bawah pengampuan, tidak sah menerima hibah. Karena orang-orang yang demikian tidak ahliah al-milk (diakui kemampuannya untuk mengurusi harta benda miliknya), ataupun ahlu al-tasarruf (diakui kemampuannya untuk mentransaksikan harta benda miliknyaSedangkan syarat barang yang dihibahkan adalah:[8]a.       Harta yang akan dihibahkan ada ketika akad hibah berlangsung. Apabila harta yang dihibahkan itu adalah harta yang akan ada, seperti anak sapi yang masih dalam perut ibunya atau buah-buahan yang masih belum muncul di pohonnya, maka hibahnya batal. Para ulama mengemukakan  kaidah tentang bentuk harta yang dihibahkan itu, yaitu: (segala yang sah diperjualbelikan sah dihibahkan).
b.      Harta yang dihibahkan itu bernilai harta menurut syara'.
c.       Harta itu merupakan milik orang yang menghibahkannya.
d.      Menurut ulama Hanafiyah apabila harta yang dihibahkan itu berbentuk rumah harus bersifat utuh, sekalipun rumah itu boleh dibagi. Akan tetapi, ulama Malikiyah, Syafi'iyah dan Hambaliyah mengatakan bahwa menghibahkan sebagian rumah boleh saja dan hukumnya sah. Apabila seseorang menghibahkan sebagian rumahnya kepada orang lain, sedangkan rumah itu merupakan miliknya berdua dengan orang lain lagi, maka rumah itu diserahkan kepada orang yang diberi hibah, sehingga orang yang menerima hibah berserikat dengan pemilik sebagian rumah yang merupakan mitra orang yang menghibahkan rumah itu. Akibat dari pendapat ini muncul pula perbedaan lain di kalangan ulama Hanafiyah, Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya yang boleh dibagi kepada dua orang, seperti uang Rp. 1.000.000,- atau rumah bertingkat, menurut Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M), hibahnya tidak sah, karena ia berpendapat bahwa harta yang dihibahkan itu harus sejenis, menyeluruh dan utuh. Imam Abu Yusuf (731-798 M) dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani (748-804 M), keduanya pakar fiqh Hanafi, mengatakan hibah itu hukumnya sah, karena harta yang dihibahkan bisa diukur dan dibagi.
e.       Harta yang dihibahkan itu terpisah dari yang lainnya dan tidak terkait dengan harta atau hak lainnya, karena prinsip barang yang dihibahkan itu dapat dipergunakan oleh penerima hibah setelah akad dinyatakan sah. Apabila seseorang menghibahkan sebidang tanah, tetapi di tanah itu ada tanaman orang yang menghibahkan, maka hibah tidak sah. Begitu juga apabila seseorang menghibahkan sebuah rumah, sedangkan di rumah itu ada barang orang yang menghibahkan, maka hibahnya juga tidak sah. Dari permasalahan ini muncul pula persoalan menghibahkan sapi yang masih hamil. Orang yang menghibahkan sapi itu menyatakan bahwa yang dihibahkan hanya induknya saja, sedangkan anak yang dalam perut induknya tidak. Hibah seperti ini pun hukumnya tidak sah.
f.       Harta yang dihibahkan itu dapat langsung dikuasai (al-qabdh) penerima hibah. Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Hambaliyah, syarat ini malah dijadikan rukun hibah, karena keberadaannya sangat penting. Ulama Hanafiyah, Syafi'iyah dan ulama Hambaliyah lainnya mengatakan al-qabdh (penguasaan terhadap harta itu) merupakan syarat terpenting sehingga hibah tidak dikatakan sah dan mengikat apabila syarat ini tidak dipenuhi. Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa al-qabdh hanyalah syarat penyempurnaan saja, karena dengan adanya akad hibah, hibah itu telah sah. Berdasarkan perbedaan pendapat tentang al-qabdh ini, maka ulama Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hambaliyah mengatakan bahwa hibah belum berlaku sah hanya dengan adanya ijab dan qabul saja, tetapi harus bersamaan dengan al-qabdh (bolehnya harta itu dikuasai), sekalipun secara hukum. Umpamanya, apabila yang dihibahkan itu sebidang tanah, maka syarat al-qabdhnya adalah dengan menyerahkan surat menyurat tanah itu kepada orang yang menerima hibah. Apabila yang dihibahkan itu sebuah kendaraan, maka surat menyurat kendaraan dan kendaraannya diserahkan langsung kepada penerima hibah.
Al-qabdh itu sendiri ada dua, yaitu:
1)      Al-qabdh secara langsung, yaitu penerima hibah langsung menerima harta yang dihibahkan itu dari pemberi hibah. Oleh sebab itu, penerima hibah disyaratkan orang yang telah cakap bertindak hukum.
2)      Al-qabdh melalui kuasa pengganti. Kuasa hukum dalam menerima harta hibah ini ada dua, yaitu:[9]a.       Apabila yang menerima hibah adalah seseorang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka yang menerima hibahnya adalah walinya.
b.      Apabila harta yang dihibahkan itu berada di tangan penerima hibah, seperti harta itu merupakan titipan di tangannya, atau barang itu ia ambil tanpa izin (al-gasb), maka tidak perlu lagi penyerahan dengan al-qabdh, karena harta yang dihibahkan telah berada di bawah penguasaan penerima hibah.
 D.    Penarikan Kembali Harta HibahUlama Hanafiyah mengatakan bahwa akad hibah tidak mengikat, oleh sebab itu pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hibahnya. Alasan yang mereka kemukakan adalah sabda rasulullah SAW:“Orang yang menghibahkan hartanya lebih berhak terhadap hartanya, selama hibah itu tidak diiringi ganti rugi”. (HR. Ibnu Majah, ad-Daruquthni, at-Thabrani, dan al-Hakim)
Akan tetapi mereka juga mengatakan ada hal-hal yang menghalangi pencabutan hibah itu kembali, yaitu:[10]a)      Apabila penerima hibah memberi imbalan harta/uang kepada pemberi hibah dan penerima hibah menerimanya, karena dengan diterimanya imbalan harta/uang oleh pemberi hibah maka tujuannya jelas untuk mendapatkan ganti rugi. Dalam keadaan begini, hibah itu tidak boleh dicabut kembali.
b)      Apabila imbalannya bersifat maknawi, bukan bersifat harta, seperti mengharapkan pahala dari Allah, untuk mempererat hubungan silaturrahmi, dan hibah dalam rangka memperbaiki hubungan suami istri, maka dalam kasus seperti ini menurut ulama Hanafiyah hibah tidak boleh dicabut.
c)      Menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak boleh dicabut apabila penerima hibah telah menambah harta yang dihibahkan itu dengan harta yang tidak dapat dipisahkan lagi, baik tambahan itu hasil dari harta yang dihibahkan maupun bukan.
d)     Harta yang dihibahkan itu telah dipindahtangankan penerima hibah melalui cara apapun.
e)      Wafatnya salah satu pihak yang berakad hibah. Apabila penerima hibah atau pemberi hibah wafat, maka hibah tidak boleh dicabut.
f)       Hilangnya harta yang dihibahkan atau hilang disebabkan pemanfaatannya, maka hibahpun tidak boleh dicabut.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil. Jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak tersebut tidak memiliki hutang.[11]Ulama Hambaliyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa penerima hibah tidak dapat menarik kembali/mencabut hibahnya dalam keadaan apapun, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya”. (HR. Abu Daud dan an-Nasa’i)
Dalam Hadis lain Rasulullah bersabda:Tidak seorangpun yang boleh menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian ayah terhadap anaknya”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, at-Tirmizi dan an-Nasa’i)Kebolehan orang tua untuk menarik kembali harta yang telah dihibahkan kepada anak atau cucunya juga harus memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu sebagai berikut:a)      Orang tua harus berstatus merdeka, jika tidak maka dia tidak boleh menarik hibahnya kembali, hal ini dikaitkan dengan penghibah yang menerima kepada budak yang seharusnya untuk tuannya, sedangkan ia adalah orang lain maka tidak boleh menarik kembali pemberian daripadanya.
b)      Yang diberikan itu adalah benda, bukan hutang, jika penghibah memberikan hutang, maka orang tua tidak boleh menariknya kembali.
c)      Benda tersebut berada jelas pada si anak, seandainya benda tersebut telah ditasarrufkan, maka orang tua tidak diperkenankan untuk menarik kembali benda yang telah dihibahkan, karena kekuasaan anak telah terputus sejak harta tersebut ditasarrufkan.
d)     Orang tua tidak berada dalam pengampuan si anak, jika orang tua berada pada pengampuan si anak maka orang tua tidak diperbolehkan menarik harta yang telah dihibahkan.
e)      Benda yang diberikan itu mudah rusak, sepeti telur ayam.
f)       Orang tua tidak menjual benda yang diberikan, jika dia menjualnya, maka dia tidak boleh menariknya kembali
           III. PENUTUP
 A.    Kesimpulan
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.Menurut mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan suatu benda tanpa menjanjikan imbalan seketika. Mazhab Syafi’i memberikan definisi hibah secara singkat, yaitu memberikan barang milik sendiri secara sadar sewaktu hidup. Menurut mazhab Maliki, hibah adalah memberikan suatu barang milik sendiri tanpa mengharap suatu imbalan kepada orang yang diberi. Menurut mazhab Hambali, hibah adalah pemberian milik yang dilakukan oleh orang dewasa yang pandai yang berhak menggunakan sejumlah harta yang diketahui atau tidak diketahui namun sulit mengetahuinya, harta tersebut memang ada, dapat diserahkan dalam kondisi tidak wajib dalam keadaan masih hidup dan tanpa imbalan.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rukun hibah itu adalah adanya ijab (ungkapan penyerahan/pemberian harta), qabul (ungkapan penerimaan) dan qabd (harta itu dapat dikuasai langsung).Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa seseorang dibolehkan memberi hibah apabila memenuhi empat syarat. Adapun empat syarat tersebut adalah:1.      Merdeka
2.      Berakal dan tidak dibawah  pengampuan,
Pendapat ini disepakati oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah. Sebutan “berakal” disini menurut ulama Hanafiyah berakal secara umum. Karenanya, seorang yang mabuk disebabkan karena minum khamar misalnya, tetap sah memberi hibah. Ini berbeda dengan pendapat Malikiyah yang menyatakan orang mabuk tidak sah memberi hibah, sebab bagaimanapun pemberian itu adalah di luar kesadarannya sehingga kerelaannya tidak dapat dipercaya sepenuhnya.3.      Baligh, anak-anak tidak sah memberi hibah.
4.      Ia pemilik barang yang dihibahkan
Bagi orang yang berhak menerima hibah ulama Hanafiyah memberikan persyaratan bagi seseorang yang boleh menerima hibah, menurut pendapat mereka siapa saja boleh menerima hibah. Baik orang baligh, berakal, maupun gila, anak-anak ataupun orang ditaruh di bawah pengampuan. Syarat-syarat yang diberlakukan terhadap pemberi hibah tidak berlaku bagi penerima hibah.Pendapat ini tidak disepakati oleh ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah. Mereka berpendapat bahwa seseorang baru sah menerima hibah apabila telah dipenuhi syarat taklif. Dengan demikian pendapat mereka, orang gila dan anak-anak ataupun orang yang ditaruh di bawah pengampuan, tidak sah menerima hibah. Karena orang-orang yang demikian tidak ahliah al-milk (diakui kemampuannya untuk mengurusi harta benda miliknya), ataupun ahlu al-tasarruf (diakui kemampuannya untuk mentransaksikan harta benda miliknya.Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa akad hibah tidak mengikat, oleh sebab itu pemberi hibah boleh saja mencabut kembali hibahnya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil. Ulama Hambaliyah dan Syafi’iyah berpendapt bahwa penerima hibah tidak dapat menarik kembali/mencabut hibahnya dalam keadaan apapun, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.B.     SaranDalam penulisan makalah ini  penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca  demi kesempurnaan makalah ini. Diharapkan penulis selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Al-Jaziri, Abd. Rahman, Fikih Empat Mazhab, Jakarta, Rajawali Press, 2007.Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Fiqh, jilid. III, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,         1995.Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, cet.1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.Khatib, Muhammad Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, juz. II, Beirut: Dar al-Fikr,                     1978.Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet. 6, Jakarta: Raja Grafindo Persada,             2003.Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah,  juz. V, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.Syafi’i, Rachmat, Fiqh Muamalah, cet. 3, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
 

[1] Rachmat Syafi’I, Fiqh Muamalah, cet. 3, (Bandung: Pustaka Setia, 2006),  hal. 242.
[2] Abd. Rahman al-Jaziri, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta, Rajawali Press, 2007), hal. 453.[3] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,  juz. V, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), hal. 547
[4] Ibid., hal. 565
[5] Rachmat Syafi’i, Fiqh Muamalah. . . , hal. 244
[6] Muhammad Syarbaini Khatib, Mughni al-Muhtaj, juz. II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hal. 397.
[7] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 6, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 471.[8] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 75.
[9] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Fiqh, jilid. III, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 181.
[10] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet.1, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 86
[11] Rachmat Syafi’i, Fiqh Muamalah. . . , hal. 247.