google-site-verification: google8cc9d88fb7df7b42.html KESEMPURNAAN: TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM

Saturday 16 November 2013

TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM




Latar belakang
Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran tipe pertama adalah pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun memiliki efek pada pahala diakhirat). Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran yang dikeluarkan semata – mata bermotif mencari akhirat.
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi, konsumsi, distribusi, seringkali muncul pertanyaan manakah yang paling penting dan paling dahulu antara mereka. Jawaban atas pertanyaan itu jelas tidak mudah, sebab memang ketiganya merupakan mata rantai yang terkait satu dengan yang lainnya, lebih jelasnya akan dibahas dalam isi makalah.
Etika Konsumsi dalam Islam
Konsumsi berlebih – lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur – hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti menggunakan barang dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju tujuan – tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal – hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih – lebihan untuk hal – hal yang melanggar hukumdalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, atau bahkan sedekah. Ajaran – ajaran Islam menganjurkan pada konsumsidan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi diatas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap lisraf dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai – nilai dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan – tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatif terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzil. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan – pembatasan dan, bila dianggap perlu,dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syari’ah dia seharusnya diperlukan sebagai orang yang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.
Model Keseimbangan Konsumsi Islam
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islamdidasarkan pada prinsip keadilan distribusi. Jika tuan A mengalokasikan pendapatannya setahun hanya untuk kebutuhan materi, dia tidak berlaku adil karena ada pos yang nbelum dibelanjakan, yaitu konsumsi sosial. Jika demikian, sesungguhnya dia hanya bertindak untuk jalannya diakhirat nanti.
Secara sederhana Metwally (1995: 26-23) telah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam perumusan keseimbangan konsumsi Islami.
Dimana :
S : Sedekah
H :  Harga barang dan jasa
BR : Barang
JS : Jasa
Z : Zakat (25%)
P : Jumlah pendapatan
Batasan Konsumsi Dalam Syari’ah
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap – sikap terhadap sesama manusia, sumberdaya, dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan materil maupun spiritual. Dalam konteks inilah kita dapat berbicara tentang bentuk – bentuk halal dan haram, pelarangan terhadap israf, pelarangan terhadap bermewah – mewahan dan bermegah – megahan, konsumsi sosial, dan aspek – aspek normatif lainnya. Kita melihat batasan konsumsi dalam Islam sebagaimana diurai dalam Alqur’an surah Al-Baqarah [2]: 168 -169 :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah – langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. Sesungguhnya setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Sedangkan untuk batasan terhadap minuman merujuk pada firman Allah dalam al qur’an surah Al-Maidah[5] : 90 :
Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya (minuman khamer, berjudi,(berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu beruntung.
Ketentuan Islam Dalam Konsumsi
Konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan. Kebutuhan konsumen yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumnya merupakan insentif pokok bagi kegiatan – kegiatan ekoniminya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya. Hal ini berarti pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan prinsip produksi dan konsumsi. Perbedaan antara ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatan dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata – mata dan pola konsumsi modern. Islam berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini.
PERILAKU KONSUMEN MUSLIM
Dalam bidang konsumsi, Islam tidak menganjurkan pemenuhan keinginan yang tak terbatas. Secara hirarkisnya, kebutuhan manusia dapat meliputi ; keperluan, kesenangan dan kemewahan. Dalam pemenuhan kebutuhan manusia, Islam menyarankan agar manusia dapat bertindak ditengah – tengah (moderity) dan sederhana (simpelicity). Pembelanjaan yang dianjurkan dalam Islam adalah yang digunakan untuk memenuhi “kebutuhan” dan melakukan dengan cara rasional. isharf dilarang dalam al – Qur’an. Tabzir berarti membelanjakan uang ntuk sesuatu yang dilarang menurut hukum Islam. Perilaku ini sangat dilarang oleh Allah swt.
Dasar Hukum prilaku konsumen
Hasan sirry menyatakan bahwa sumber hukum konsumsi yang tercactum dalam Al-Qur’an adalah,
Artinya:
Makanlah dan minumlah,namun janganlah berlebih – lebihan, Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang – orang berlebih – lebihan.
Sumber yang berasal dari Hadits Rasul adalah,
Artinya:
Abu Said Al – Chodry r.a. berkata: ketika kami dalam bepergian bersama Nabi saw. Mendadak datang seseorang berkendara, sambil menoleh kekanan kekiri seolah – olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi: “siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantu kepada yang tidak berbekal.” Kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya..
       Hubungan Konsumsi, Investasi, dan Tabungan
  1. Konsumsi dan Pendapatan
Perbedaan yang terjadi dalam fungsi konsumsi seorang muslim dengan non muslim akan berpengaruh pada fungsi lain seperti fungsi Tabunngan dan Investasi. Hal ini disebabkan karena dalam fungsi konsumsi perilaku konsumen muslim dipengaruhi adanya keharusan pembayaran zakat dalam konsep pendapatan optimum serta adanya larangan pengambilan riba dalam transaksi apapun termasuk konsumsi, investasi dan tabungan.
Pendapatan yang siap dibelanjakan seorang muslim akan berbeda dengan bukan muslim, sebab terdapat zakat. Pendapatan seseorang yang telah memenuhi syarat akan dikenakan zakat sebesar 2,5%. Seseorang biasanya akan menabung sebagian dari pendapatannya dengan beragam motif, antara lain:
1.    Untuk berjaga-jaga terhadap ketidakpastian masa depan
2.    Untuk persiapan pembelian suatu barang konsumsi dimasa depan
3.    Untuk mengakumulasikan kekayaan
Demikian pula, seseorang akan mengalokasikan dari anggarannya untuk investasi, yaitu menanamkannya pada sector produktif. Secara sederhana, alokasi pendapatan seorang muslim akan dapat diformulasikan sebagai berikut:
Y−z=C+S+I
Dimana:
Y    : pendapatan
Ct   : konsumsi
S     : tabungan
I      : investasi
Z     : zakat
Ajaran agama Islam sangat mendorong kegiatan menabung dan investasi. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih baik meninggalkan anak keturunanmu kaya daripada miskin dan bergantung kepada belas kasih orang lain” (HR. Bukhari-Muslim)
  1. Konsumsi dan Tabungan
Alokasi anggaran (pendapatan) untuk konsumsi total berbanding terbalik (negatif) dengan tabungan. Semakin tinggi konsumsi berarti semakin kecil tabungan dan sebaliknya semakin besar tabungan akan menguragi tingkat konsumsi. Untuk mencapai tingkat kepuasan yang optimal sesuai dengan tujuan maslahah, maka seorang muslim akan mencari kombinasi yang tepat antara tingkat konsumsi dan tingkat tabungan.
Dampak yang dapat dianalisa dari penerapan zakat dan larangan riba pada konsumsi dan tabungan antara lain:
  1. Zakat dikenakan atas total pendapatan atau harta yang menganggur (idle capacity) yang kurang atau tidak produktif bagi seorang muzakky. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai konsumsi dan penurunan nilai tabungan.
  2. Pelarangan praktek riba dalam setiap transaksi ekonomi juga akan berdampak pada berkurangnya jumlah konsumsi yang dibiayai oleh bunga tapi hanya bersifat sementara karena dialihkan kebentuk konsumsi lain.
  3. Penerapan zakat bagi mustahiq akan berdampak pada peningkatan pendapatan dari perolehan zakat, sehingga peningkatan ini akan mempengruhi pula pada peningkatan konsumsi mereka, dan bahkan dapat dikatakan meningkatkan tabungan mereka.
Dari gambaran diatas, diasumsikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk menghindar dari zakat. Sehingga ada beberapa pilihan bagi seseorang yang mempunyai tingkat pendapatan tertentu untuk mengambil tindakan.
  1. Konsumsi dan Investasi
Berpijak pada asumsi bahwa harta yang digunakan untuk transaksi tabungan dianggap sebagai harta yang menganggur. Keadaan yang mungkin terjadi dengan penerapan zakat dan larangan riba terhadap fungsi konsumsi dan investai adalah sebagai berikut:
  1. Penerapan zakat atas aset yang kurang atau bahkan tidak produktif berpengaruh pada peningkatan konsumsi dan investasi.
  2. Pelarangan atas riba akan berdampak bagi seorang pelaku ekonomiuntuk mengalokasikan anggarannya lebih kepada bentuk investasi dan bukan tabungan yang mengandung bunga.
  3. Dengan peningkatan konsumsi masing-masing individu akan menimbulkan kenaikan konsumsi secara nasional.
Melihat paparan di atas sungguh merupakan suatu kondisi yang diharapkan oleh setiap masyarakat dimana pertumbuhan ekonomi meningkat dengan adanya kesempatan kerja yang ada serta menurunnya angka kemiskinan.
 Ema Nurul Afifah  

Teori Konsumsi Islam

BAB I
PENDAHULUAN
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yamg penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi-konsumsi-distribusi, seringkali muncul pertanyaan manakah yang paling penting dan paling dahulu diantara mereka. Jawaban atas pertanyaan ini jelas tidak mudah, sebab memang ketiganya merupakan mata rantai yang terkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi ada karena ada yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang memproduksi, dan kegiatan disribusi muncul karena ada gap atau jarak antara konsumsi dan produksi.
Dalam ekonomi konvesional perilaku konsumsi dituntun oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini kemudian membentuk suatu perilaku konsumsi yang hedonistic materialistik serta boros (wastefull). Karena rasionalisme ekonomi konvensional adalah self-interst, perilaku konsumsinya juga cenderung individualistik sehingga seringkali mengabaikan keseimbangan dan keharmonisan social. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip dasar bagi konsumsi adalah “saya akan mengkonsumsi apa saja dan dalam jumlah berapapun sepanjang: (1) anggaran saya memadai, (2) saya memperoleh kepuasan yang maksimum”. Apakah perilaku konsumsi yang seperti ini dapat dibenarkan oleh ajaran Islam?

Bab ini akan membahas perilaku konsumsi yang lebih Islami, yaitu perilaku konsumsi yang dibimbing oleh nilai-nilai agama Islam. Di makalah ini kita akan membahas tentang:
1.      Konsep kebutuhan dan keinginan
2.      Kualitas dan kemurnian
3.      Motif dan tujuan konsumsi
4.      Perilaku konsumen muslim
5.      Hubungan konsumsi, investasi, tabungan

           
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Kebutuhan dan Keinginan
Seperti yang kita pelajari sebelumnya, bahwa teori konsumsi lahir karena adanya teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan permintaan akan barang dan jasa timbul karena adanya keinginan (want) dan kebutuhan (need) oleh konsumen riil maupun konsumen potensial. Dalam ekonomi konvensial motor penggerak kegiatan konsumsi adalah adanya keinginan.
Islam berbeda pandangan tentang teori permintaan yang didasar atas keinginan tersebut. Keinginan identik dengan sesuatu yang bersumber dari nafsu. Sedangkan kita ketahui bahwa nafsu manusia mempunyai kecenderungan yang bersifat ambivalen, yaitu dua kecenderungan yang saling bertentangan, kecenderungan yang baik dan kecenderungan yang tidak baik. Oleh karena itu teori permintaan dalam ekonomi Islam didasar atas adanya kebutuhan (need).[1]
Kita harus membedakan secara tegas antara keinginan dan kebutuhan ini. Kebtuhan lahir dari suatu pemikiran atau identifikasi secara objektif atas berbagai sarana yang diperlukan untuk mendapatkan suatu manfaat bagi kehidupan. Kebutuhan dituntun oleh rasionalitas normative dan positif, yaitu rasionalitas ajaran Islam, sehingga bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya. Jadi, seorang muslim berkonsumsi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sehingga memperoleh kemanfaatan yang setinggi-tingginya bagi kehidupannya. Hal ini merupakan dasar dan tujuan dari syariah Islam sendiri, yaitu maslahat al ibad(kesejahteraan hakiki bagi manusia), dan sekaligus sebagai cara untuk mendapatfalah yang maksimum.
Al Shatibi, yang mengutip pendapat Al Ghazali, menyebutkan 5 kebutuhan asar yang sangat bermanfaat bai keidupan manusia, yaitu:
1.      Kebenaran (faith, ad dien)
2.      Kehidupan (life, an nas)
3.      Harta material (property, al mal)
4.      Ilmu pengetahuan (science, al aql, al ‘ilmu)
5.      Kelangsungan keturunan (postery, an nasl)
Kelima kebutuhan ini semuanya penting untuk mendukung suatu perilaku kehidupan yang Islami, karenya harus diupayakan untuk dipenuhi. Menurut Al Ghazali tujuan utama syariat Islam adalah mendorong kesejahteraan manusia yang terletak kepada perlindungan yang menjamin terlindungnya kelima kebutuhan ini akan memenuhi kepentingan umum dan kehendaki.
Untuk menjaga kontinuitas kehidupan, maka manusia harus memelihara keturunannya (an nasl / posterity). Meskipun seorang muslim meyakini bahwa horizon waktu kehidupan tidak hanya menyangkup kehidupan dunia-melainkan hingga akherat, tetapi kelangsungan kehidupan dunia amatlah penting. Kita harus berorienasi jangka panjang dalam merencanakan kehidupan dunia, tentu saja dengan tetap berfokus kepada kehidupan akherat. Oleh karenanya, kelangsungan keturunan dan keberlanjutan dari generasi ke generasi harus diperhatikan. Ini merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi eksistensi manusia.[2]
Ø  Kewajaran
Dalam hidup ini Islam mengambil jalan tengah antara materialism dan kesuhudan, terlalu bersifat menjahui benda-benda yang dihalalkan juga dilarang oleh Allah, seperti ditetapkan dalam surat Al-Maidah ayat 87 berikut:[3]
Artinya:
 Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah engkau melampaui batas.
Dalam ayat ini sangatlah jelas disebutkan, manusia dilarang untuk menjahui hal-hal yang dihalalkan, seperti pada agama Kristen dan budha. Tetapi juga dilarang melakukan tindakan yang berlebihan dalam berkonsumsi, karena kebaikan itu berada diantara kedua halt u (kewajaran).[4]
Ø  Pemborosan Harta Benda
Mengenai pandangan pentingnya kekayaan, Islam sangat memberikan penekanan tentang cara membelanjakan harta, dalam Islam sangat dianjurkan untuk menjaga harta dengan hati-hati termasuk menjaga nafsu supaya tidak terlalu berlebihan dalam menggunakan seperti dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 5:[5]
Artinya:             
 Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanMu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Sangat dilarangnya pemborosan, bahkan untuk memberikan harta (yang berlebihan) bagi anak-anak yan belum sempurna akalnya pun itu dilarang dalam Islam.
Ø  Makanan Terlarang
Dalam perilaku konsumsiIslam sangat dilarang untuk memakan barang-barang yang telah diharamkan oleh Allah. Pada hakekatnya makanan-makanan yang dilarang ole Allah akan menimbulkan efek yang tidak baik untuk tubbuh diantaranya adalah:
1.      Bangkai
2.      Darah
3.      Daging babi
4.      Khamar

Ø  Ciri-Ciri Penggunaan
Dalam Islam penggunaan kekayaan mempunyai cirri-ciri tertentu:
1.      Tidak ada perbedaan antara keperluan duniawi dan spiritual
Semua keperluan dalam Islam hanyalah bertujuan untuk terus meningkatkan ketaqwaan kepada Allah sehingga harta-harta kaum muslimin yang dibelanjakan tepat sasaran dan tidak dipergunakan untuk hal-hal yang dapat mengurangi ketaqwaan kepada Allah.
2.      Kepemilikan harta tidak terbatas kepaada efisiensi dan untuk kecukupan hidup semata, tapi juga diperbolehkan memiliki harta yang melimpah asalkan dengan cara yang telah diperbolehkan dalam Islam.

B.     Kualitas dan Kemurnian (Keaslian)
Al-Qur’an karim memberikan kepada kita peunjuk-petunjuk yang sangat jelas dalam, hal konsumsi, ia mendorong pengguna barang-barang yang baik, dan bermanfaat serta melarang adanya pemborosan dan pengeluaran terhadap hal-hal yang tidak penting, juga melarang orang muslim untuk makan dan berpakaian kecuali hanya yang baik, berdasarkan ayat yang berbunyi:[6]
Artinya:
 mereka menanyakan kepadamu”apakah yang dihalalkan bagi mereka?”katakanlah: dihalalkan bagimu yang baik-baik (Al-Maidah: 4)
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa barang-barang yang kita konsumsi haruslah barang-barang yang bersih, baik, halal.
Pada dasarnya Al-Qur’an tidak menyebutkan satu-persatu barang yang boleh dikonsumsi, tetapi hanya diberi batasan bahwa yang dikonsumsi hauslah barang-barang yang halal, hal tersebut bertujuan untuk memberikan keleluasaan dalam melakukan konsumsi.
C.    Motif Ekonomi dan Tujuan Konsumsi[7]
Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi. Motif ekonomi terbagi dalam dua aspek:
·                     Motif Intrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tidakan ekonomi atas kemauan sendiri.
·                     Motif ekstrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tidakan ekonomi atas dorongan orang lain.
Ø  Pada prakteknya terdapat beberapa macam motif ekonomi:
·                     Motif memenuhi kebutuhan
·                     Motif memperoleh keuntungan
·                     Motif memperoleh penghargaan
·                     Motif memperoleh kekuasaan
·                     Motif sosial / menolong sesama
Ø  tujuan manusia mengkonsumsi sesuatu yaitu :[8]

a.         Untuk memenuhi kebutuhan hidup
b.        Mempertahankan status sosial
c.          Mempertahankan status keturunan
d.         Mendapatkan kesimbangan hidup
e.          memberikan bantuan kepada orang lain (tujuan sosial)
f.          Menjaga keamanan dan kesehatan
g.         Keindahan dan seni
h.         Memuaskan batin
i.           Demonstration effect (keinginan untuk meniru)
Dalam menuju tujuan konsumsi tersebut manusia haruslah mencapai dengan kerja keras. Pengeluaran konsumsi seseorang yang satu dengan yang lain berbeda ada yang lebih besar, ada yang sama dan ada yang lebih kecil dari pendapatannya yang menggunakan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dialah konsumen.
D.    perilaku konsumen muslim[9]
Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.
Teori perilaku konsumen muslim yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ø  Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
1.            Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
2.            Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3.            Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)
Perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Focus dari perilaku konsumen adalah bagaimana individu membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang telah tersedia untuk mengkonsumsi suatu barang.
E.     Hubungan Konsumsi, Investasi, dan Tabungan[10]
1.      Konsumsi dan Pendapatan
Perbedaan yang terjadi dalam fungsi konsumsi seorang muslim dengan non muslim akan berpengaruh pada fungsi lain seperti fungsi Tabunngan dan Investasi. Hal ini disebabkan karena dalam fungsi konsumsi perilaku konsumen muslim dipengaruhi adanya keharusan pembayaran zakat dalam konsep pendapatan optimum serta adanya larangan pengambilan riba dalam transaksi apapun termasuk konsumsi, investasi dan tabungan.
Pendapatan yang siap dibelanjakan seorang muslim akan berbeda dengan bukan muslim, sebab terdapat zakat. Pendapatan seseorang yang telah memenuhi syarat akan dikenakan zakat sebesar 2,5%. Seseorang biasanya akan menabung sebagian dari pendapatannya dengan beragam motif, antara lain:
1.    Untuk berjaga-jaga terhadap ketidakpastian masa depan
2.    Untuk persiapan pembelian suatu barang konsumsi dimasa depan
3.    Untuk mengakumulasikan kekayaan
Demikian pula, seseorang akan mengalokasikan dari anggarannya untuk investasi, yaitu menanamkannya pada sector produktif. Secara sederhana, alokasi pendapatan seorang muslim akan dapat diformulasikan sebagai berikut:
Y−z=C+S+I
Dimana:
Y    : pendapatan
Ct   : konsumsi
S     : tabungan
I      : investasi
Z     : zakat
Ajaran agama Islam sangat mendorong kegiatan menabung dan investasi. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih baik meninggalkan anak keturunanmu kaya daripada miskin dan bergantung kepada belas kasih orang lain” (HR. Bukhari-Muslim)
2.      Konsumsi dan Tabungan
Alokasi anggaran (pendapatan) untuk konsumsi total berbanding terbalik (negatif) dengan tabungan. Semakin tinggi konsumsi berarti semakin kecil tabungan dan sebaliknya semakin besar tabungan akan menguragi tingkat konsumsi. Untuk mencapai tingkat kepuasan yang optimal sesuai dengan tujuan maslahah, maka seorang muslim akan mencari kombinasi yang tepat antara tingkat konsumsi dan tingkat tabungan.
Dampak yang dapat dianalisa dari penerapan zakat dan larangan riba pada konsumsi dan tabungan antara lain:
*        Zakat dikenakan atas total pendapatan atau harta yang menganggur (idle capacity) yang kurang atau tidak produktif bagi seorang muzakky. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai konsumsi dan penurunan nilai tabungan.
*        Pelarangan praktek riba dalam setiap transaksi ekonomi juga akan berdampak pada berkurangnya jumlah konsumsi yang dibiayai oleh bunga tapi hanya bersifat sementara karena dialihkan kebentuk konsumsi lain.
*        Penerapan zakat bagi mustahiq akan berdampak pada peningkatan pendapatan dari perolehan zakat, sehingga peningkatan ini akan mempengruhi pula pada peningkatan konsumsi mereka, dan bahkan dapat dikatakan meningkatkan tabungan mereka.
Dari gambaran diatas, diasumsikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk menghindar dari zakat. Sehingga ada beberapa pilihan bagi seseorang yang mempunyai tingkat pendapatan tertentu untuk mengambil tindakan.
3.      Konsumsi dan Investasi
Berpijak pada asumsi bahwa harta yang digunakan untuk transaksi tabungan dianggap sebagai harta yang menganggur. Keadaan yang mungkin terjadi dengan penerapan zakat dan larangan riba terhadap fungsi konsumsi dan investai adalah sebagai berikut:
1.        Penerapan zakat atas aset yang kurang atau bahkan tidak produktif berpengaruh pada peningkatan konsumsi dan investasi.
2.        Pelarangan atas riba akan berdampak bagi seorang pelaku ekonomiuntuk mengalokasikan anggarannya lebih kepada bentuk investasi dan bukan tabungan yang mengandung bunga.
3.        Dengan peningkatan konsumsi masing-masing individu akan menimbulkan kenaikan konsumsi secara nasional.
Melihat paparan di atas sungguh merupakan suatu kondisi yang diharapkan oleh setiap masyarakat dimana pertumbuhan ekonomi meningkat dengan adanya kesempatan kerja yang ada serta menurunnya angka kemiskinan.




BAB III
KESIMPULAN
Seperti yang kita pelajari sebelumnya, bahwa teori konsumsi lahir karena adanya teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan permintaan akan barang dan jasa timbul karena adanya keinginan (want) dan kebutuhan (need) oleh konsumen riil maupun konsumen potensial. Dalam ekonomi konvensial motor penggerak kegiatan konsumsi adalah adanya keinginan.
Al Shatibi, yang mengutip pendapat Al Ghazali, menyebutkan 5 kebutuhan asar yang sangat bermanfaat bai keidupan manusia, yaitu:
1.      Kebenaran (faith, ad dien)
2.      Kehidupan (life, an nas)
3.      Harta material (property, al mal)
4.      Ilmu pengetahuan (science, al aql, al ‘ilmu)
5.      Kelangsungan keturunan (postery, an nasl)
Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi.
Ø  tujuan manusia mengkonsumsi sesuatu yaitu :
a.       Untuk memenuhi kebutuhan hidup
b.      Mempertahankan status sosial
c.        Mempertahankan status keturunan
d.      Mendapatkan kesimbangan hidup
e.       memberikan bantuan kepada orang lain (tujuan sosial)
f.       Menjaga keamanan dan kesehatan
g.      Keindahan dan seni
h.      Memuaskan batin
i.        Demonstration effect (keinginan untuk meniru)


Ø  Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
a.       Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
b.      Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
c.       Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)
Dampak yang dapat dianalisa dari penerapan zakat dan larangan riba pada konsumsi dan tabungan antara lain:
*      Zakat dikenakan atas total pendapatan atau harta yang menganggur (idle capacity) yang kurang atau tidak produktif bagi seorang muzakky. Hal ini berdampak pada peningkatan nilai konsumsi dan penurunan nilai tabungan.
*      Pelarangan praktek riba dalam setiap transaksi ekonomi juga akan berdampak pada berkurangnya jumlah konsumsi yang dibiayai oleh bunga tapi hanya bersifat sementara karena dialihkan kebentuk konsumsi lain.
*      Penerapan zakat bagi mustahiq akan berdampak pada peningkatan pendapatan dari perolehan zakat, sehingga peningkatan ini akan mempengruhi pula pada peningkatan konsumsi mereka, dan bahkan dapat dikatakan meningkatkan tabungan mereka.


DAFTAR PUSTAKA
Anto, Hendri. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islam, Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII
Masykuroh, Ely. 2008. Pengantar Teori Ekonomi, Ponorogo: TAIN Ponorogo press
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2 Alih bahasa Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta: PT Dana Bhakti wakaf





[1]  Ely Masykuroh, Pengantar Teori Ekonomi, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), 141.
[2]  M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, (Yogyakarta: Ekonisia, Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2003), 124-126.
[3]  Ibid 22
[4]  Ibid 23
[5]  Ibid 24
[6]  Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, alih bahasa Soeroyo dan nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 18.

[10]  Ely Masykuroh, Pengantar Teori Ekonomi, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), 160-165


Teori Ekonomi Islam




TEORI EKONOMI ISLAM


Untitled-1 copy

Oleh : Sayyid Muhaddar
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAWEAN
(STAIHABA)
TAHUN AKADEMIK 2011-2012



DAFTAR ISI
Halaman judul
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I     Pendahuluan
BAB II    Pembahasan
1.     Pengertian produksi
2.     Tujuan teori produksi
3.     Fungsi produksi
4.     Isoquant
5.     Ciri-ciri umum isoquant
6.     Macam-macam produksi
BAB III  PENUTUP
1.     Kesimpulan
2.     Saran
Daftar Pustaka



KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya – shalawat dan salam selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir jaman
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ibu  Dosen kami Eklis Dinika,S.Pd.I yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada waktunya dengan judul “ TEORI EKONOMI ISLAM ”. Serta dalam penyempurnaan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dan membangun demi kesempurnaan makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.






BAB I
PENDAHULUAN
Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna. Beliau mengutip firman Allah SWT yang mengatakan: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah SWT telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)
Semua sumberdaya yang terdapat di langit dan di bumi disediakan Allah SWT untuk kebutuhan manusia, agar manusia dapat menikmatinya secara sempurna, lahir dan batin, material dan spiritual. Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Al-qur’an telah memberika tuntunan visi bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan sesaat, melainkan mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan berakibat  baik pula bagi kesudahannya [ pengaruhnya]. Salah satu aktifitas dalam hidup ini adalah adanya aktifitas produksi.

BAB II
PEMBAHASAN
1.     A.   Pengertian Produksi
Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).
Produksi menurut Kahf mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dari dua pengertian diatas produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi.
1.     B.   Tujuan Teori Produksi
Dalam teori produksi di tujukan untuk memberikan pemahaman tentang perilaku perusahaan dalam membeli dan menggunakan masukan [ input] untuk produksi dan menjual keluaran atau produk. Dalam teori produksi juga memberikan penjelasan tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungan atau efiseinsi produksinya. Untuk memaksimalkan keuntungan atau efisiensi produksi tidak akan terlepas dari dua hal; yakni biaya dan revenue { pendapatan } yang didapat.
Sering kali seorang produsen beroprasi dari berbagai macam sumber modal, ada yang berasal dari qard [ pinjaman tanpa kompensasi ], syirkah [ sebagian menggunaka modal  dari pihak lain ] dan ada yang berasal dari pinjaman bank yang berbasis bunga dan lain-lain.
Kita dapat membagi biaya atau segi produksi dalam jangka beberapa waktu yng berbeda –beda. Jangka waktu yang pertama dapat dinamakan jangka waktu yang sangat pendek [  very short run ] yang berhubungan dengan situasi produksi di mana perusahaa tidak mengubah outputnya.  dan jangka waktu yang kedua jangka pendek [ short run ] yaitu suatu situasi produksi dimana outputnya dapat berubah, jangka panjang [ long run ] adalah situasi produksi di mana tidak hanya output dapat berubah tetapi juga semua masalah variable produksi dapat berubah.
1.     Fungsi Produksi
2.     Produk Total : Pernyataan secara numerik atau matematis dari hubungan  antara masukan dan keluaran.
2. Marginal Product : (keluaran tambahan yang dihasilkan oleh satu unit tambahan tenaga kerja adalah hasil derivasi (penurunan) dari fungsi total produksi.
3.  Produk Rata-rata (average product) : kemampuan produksi dari setiap individu.
1.     D.   Isoquant  
Iso                         : sama
Quant        : kuantitas
Hubunagan fisik antara Input-input sumberdaya Perusahaan dan outputnya yang berupa barang & jasaPer unit waktu
A = f(a,b,c,…)
1.     E.   Ciri-ciri Umum-umum Isoquant
v  Tidak potong memotong
v  Peta produksi tidak terhitungjumlahnya
v  Menurun ke kanan
v  Melengkung ke belakang
1.     F.    Macam-macam Produksi
§  Multitype Ownership Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep Multitype Ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta
§  Freedom to act [ kebebasan untuk bertindak ] Nilai-nilai nubuwwah: Siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Keempat nilai-nilai nubuwwah ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai kholifah (good govermance) akan melahirkan prinsip Freedom to act pada setiap muslim,khususnya pelaku bisnis dan ekonomi
§  Social Justice  [ keadilan social ] Semua sistem ekonomi mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan sistem perekonomian yang adil.
BAB III
PENUTUP
1.     Kesimpulan
Al-qur’an telah memberika tuntunan visi bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan sesaat, melainkan mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan berakibat  baik pula bagi kesudahannya [ pengaruhnya]. Salah satu aktifitas dalam hidup ini adalah adanya aktifitas produksi.
1.     Saran
Bagi pengusaha khususnya kaum muslimin hendaklah kita  mencontoh semua apa yang ada pada diri baginda nabi kita Muhammad SAW. Baik ketika beliu berdagang maupun sesmua Akhlaq beliau yang sangat mempesona dan  bukankah beliu Uswatun Hasanah bagi kita semua. Agar kita semua kaum muslimin dapat berbahagia dunia dan akhirat.
Dengan selesainya makalah ini besar harapan penulis, semoga karya ilmiah ini akan menjadi sumbangan kami dan dengan perasa’an bangga apabila diantara pembaca ada yang sempat memberi keritikan dan saran tetantang penyusunan makalah ini, hal itu penulis jadikan pelajaran selangkah lebih maju pada kesempatan selanjutnya dan ucapan terima kasih yang tak terhinggapun kami sampaikan.




DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim , ekonomi Mikroe Islam, Erlangga, Jakarta 2008
Richard A-Bilas, Teori Mikroe Ekonomi, PT. Raja Grafido Persada, Jakarta 2010


Teori Produksi Islam

 Teori Produksi Islam
Oleh Early Ridho Kismawadi
Kismawadi.Blogspot.com

Pengertian Produksi

Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas)1.
Produksi menurut Kahf mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat2.
Dari dua pengertian diatas produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi.
Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif).
Memindahkannya dari tempat yang tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkannya, atau menjaganya dengan cara menyimpan agar bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang atau mengolahnya dengan memasukkan bahan-bahan tertentu, menutupi kebutuhan tertentu, atau mengubahnya dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya dengan melakukan sterilisasi, pemintalan, pengukiran, atau penggilingan, dan sebagainya. Atau mencampurnya dengan cara tertentu agar menjadi sesuatu yang baru3.
Tujuan Produksi
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi rodusen sendiri dan manusia secara keseluruhan.
Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan.
Berkah merupakan komponen penting dalam mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output4.
3 Husnul Khatimah, Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net
4 http://muhamadzainudin-dzay.blogspot.com/2009/05/konsep-produksi-dalam-ekonomi-islam.html

Berkah yang dimasukkan dalam input produksi meliputi bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi harus memiliki kebaikan dan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Penggunaan bahan baku yang ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal logging, maupun penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya dalam jangka waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang baik(pendistribusian baik), tetapi dalam
jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah. Sebagai contoh penggunaan bahan baku dari ilegal logging dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai bencana, dan akan memberikan nilai mudharat kepada para penerus/generasi selanjutnya.


Faktor Produksi
Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang dapat digunakan.
Dengan kata lain, factor produksi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional tidak
berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam :
a. Faktor produksi tenaga kerja
b. Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong
c. Faktor produksi modal
Di antara ketiga factor produksi, factor produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu da antara dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan anttara faktor-faktor yang terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam memadukan larangan bunga(riba) dalam islam dengan peran besar yang dimainkan oleh modal dalam produksi.
Kegagalan ini disebabkan oleh adannya prakonseps kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal yang ada dibalik pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi.
Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering6.
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
Produksi Dengan Tekhnologi Konstan
Konsep produksi yang sesuai dengan nilai islam adalah konsep yang menganggap bahwa tekhnologi berproduksi adalah konstan, tekhnologi yang memanfaatkan sumberdaya manusia sedemikian rupa sehingga manusia mampu meningkatkan harkat kemanusiaannya. Permasalahan produksi bukanlah mencari tekhnologi berproduksi sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan maksimum, melainkan mencari jenis output apa, dari berbagai kebutuhan manusia, yang bisa di produksi dengan tekhnologi yang sudah ada sehinga memperoleh mashlahah maksimum.

Pola Produksi
Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan, pertimbangan perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas produksi. Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusalas arikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada output yang menjadi permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil masyarakat terabaikan.
Dari sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat mencapai nilai tambah (value added). Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa yang memproduksi?
Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas produksi.
1. Apa yang diproduksi
Terdapat dua pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat (primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi)

2. Berapa kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko
Jumlah produksi di pengaruhi dua faktor; intern dan ekstern; faktor intern meliputi sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal, faktor SDM, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market share yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.
3. Kapan produksi dilakukan Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan eksternal atau menunggu tingkat kesiapan perusahaan.
4. Mengapa suatu produk diproduksi
a. Alasan ekonomi
b. Alasan kemanusiaan
c. Alasan politik
5. Dimana produksi itu dilakukan
a. Kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
b. Murahnya sumber-sumber ekonomi
c. Akses pasar yang efektif dan efisien
d. Biaya-biaya lainnya yang efisien

6. Bagaimana proses produksi dilakukan: input- proses – out put - out come
7. Siapa yang memproduksi; negara, kelompok masyarakat, indovidu

Dengan demikian masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa jumlahnya (how much), bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi tersebut (for whom), yang merupakan pertanyaan umum dalam teori produksi tentu saja merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam produksi.

Etika Produksi
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia. Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan,
dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia. Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan. Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oragnisasi ke arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan.
Jika kita berbicara tentang nilai dan akhlak dalam ekonomi dan mu’amalah Islam, maka tampak secara jelas di hadapan kita empat nilai utama,yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan dan Pertengahan. Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi10. Raafik Isaa Beekun dalam bukunya yang berjudul Islamic Bussines Ethics menyebutkan paling tidak ada sejumlah parameter kunci system etika Islam yang dapat dirangkum sbb:
• Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang
melakukannya. Allah Maha Kuasa an mengetahui apapun niat kita sepenuhnya secara sempurna.
• Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak
dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal.
• Islammemberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindakberdasarkan
apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab keadilan.
• PercayakepadaAllah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau
siapapun kecuali Allah.
• Keputusan yang menguntungkan kelompok mamyoritas ataupun minoritas secara langsung
bersifat etis dalam dirinya.etis bukanlahpermainan mengenai jumlah.
• Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai system yang
tertutup, dan berorientasi diri sendiri.Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam.
• Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an
danalam semesta.

• Tidak seperti system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat manusia
untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berprilaku
secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum Muslim harus mampu membuktikan ketaatannya
kepada Allah SWT.


Daftar Pustaka
Agustianto.Etika Produksi Dalam Islam, http://agustianto.niriah.com/2008/10/04/etika-produksidalam-
islam/
Aziz Budi Setiawan. Instrumen Ekonomi Syariah Untuk Transformasi Masyarakat
Ali Hasan. Meneguh Kembali Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2008/04/02/meneguhkan-kembali-konsep-produksidalam-
ekonomi-islam/
Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
di Indonesia
Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill
Khaerul. Produksi dan Konsumsi Dala Al Qur’an,http://khaerul21.wordpress.com/2009/05/17/produksidan- konsumsi-dalam alqur%E2%80%99anaplikasi-tafsir-ekonomi-al-qur%E2%80%99an/
Khatimah Husnul , Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net
M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”,
Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992),
Merza Gamal. http://www.opensubscriber.com/messages/ekonomi
syariah@yahoogroups.com/90.html
UII, dan BI. Ekonomi Islam, (P3EI).
Zainudin Muhammad. Konsep Produksi dalam ekonomi islam, http://muhamadzainudindzay.
blogspot.com/2009/05/konsep-produksi-dalam-ekonomi-islam.html

Teori Produksi Dalam Ekonomi Islam


BAB I
PENDAHULUAN
Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna. Beliau mengutip firman Allah SWT yang mengatakan: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah SWT telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)
Semua sumberdaya yang terdapat di langit dan di bumi disediakan Allah SWT untuk kebutuhan manusia, agar manusia dapat menikmatinya secara sempurna, lahir dan batin, material dan spiritual. Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Al-Qur’an juga telah memberikan tuntunan visi bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan sesaat tetapi “merugikan”, melainkan mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan berakibat baik pula bagi kesudahannya (pengaruhnya). Salah satu aktifitas bisnis dalam hidup ini adalah adanya aktifitas produksi.[1]


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Produksi
Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).
Produksi menurut Kahf mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dari dua pengertian diatas produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi.
Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif).
Memindahkannya dari tempat yang tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkannya, atau menjaganya dengan cara menyimpan agar bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang atau mengolahnya dengan memasukkan bahan-bahan tertentu, menutupi kebutuhan tertentu, atau mengubahnya dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya dengan melakukan sterilisasi, pemintalan, pengukiran, atau penggilingan, dan sebagainya. Atau mencampurnya dengan cara tertentu agar menjadi sesuatu yang baru3.
Tujuan Produksi
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi rodusen sendiri dan manusia secara keseluruhan.
Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan.[2]
Berkah merupakan komponen penting dalam mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output.
Berkah yang dimasukkan dalam input produksi meliputi bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi harus memiliki kebaikan dan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Penggunaan bahan baku yang ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal logging, maupun penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya dalam jangka waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang baik(pendistribusian baik), tetapi dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah. Sebagai contoh penggunaan bahan baku dari ilegal logging dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai bencana, dan akan memberikan nilai mudharat kepada para penerus/generasi selanjutnya.
B.     Faktor Produksi
Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang dapat digunakan.
Dengan kata lain, factor produksi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional tidak
berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam :
a.       Faktor produksi tenaga kerja
b.      Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong
c.       Faktor produksi modal
Di antara ketiga factor produksi, factor produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu da antara dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan anttara faktor-faktor yang terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam memadukan larangan bunga(riba) dalam islam dengan peran besar yang dimainkan oleh modal dalam produksi.[3]
Kegagalan ini disebabkan oleh adannya prakonseps kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal yang ada dibalik pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi.
Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering.
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
Produksi Dengan Tekhnologi Konstan
Konsep produksi yang sesuai dengan nilai islam adalah konsep yang menganggap bahwa tekhnologi berproduksi adalah konstan, tekhnologi yang memanfaatkan sumberdaya manusia sedemikian rupa sehingga manusia mampu meningkatkan harkat kemanusiaannya. Permasalahan produksi bukanlah mencari tekhnologi berproduksi sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan maksimum, melainkan mencari jenis output apa, dari berbagai kebutuhan manusia, yang bisa di produksi dengan tekhnologi yang sudah ada sehinga memperoleh mashlahah maksimum.
C.    Pola Produksi
Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan, pertimbangan perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas produksi. Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusalas arikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada output yang menjadi permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil masyarakat terabaikan.
Dari sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat mencapai nilai tambah (value added). Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa yang memproduksi?
Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas produksi.
1.      Apa yang diproduksi
Terdapat dua pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat (primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi)

2.       Berapa kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko
Jumlah produksi di pengaruhi dua faktor; intern dan ekstern; faktor intern meliputi sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal, faktor SDM, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market share yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.
3.      Kapan produksi dilakukan Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan eksternal atau menunggu tingkat kesiapan perusahaan.
4.      Mengapa suatu produk diproduksi
a.       Alasan ekonomi
b.      Alasan kemanusiaan
c.        Alasan politik
5.       Dimana produksi itu dilakukan
a.       Kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
b.       Murahnya sumber-sumber ekonomi
c.       Akses pasar yang efektif dan efisien
d.      Biaya-biaya lainnya yang efisien
6.      Bagaimana proses produksi dilakukan: input- proses – out put - out come
7.      Siapa yang memproduksi; negara, kelompok masyarakat, indovidu
Dengan demikian masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa jumlahnya (how much), bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi tersebut (for whom), yang merupakan pertanyaan umum dalam teori produksi tentu saja merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam produksi.
D.    Etika Produksi
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia. Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia. Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan.
Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oragnisasi ke arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan.
Jika kita berbicara tentang nilai dan akhlak dalam ekonomi dan mu’amalah Islam, maka tampak secara jelas di hadapan kita empat nilai utama,yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan dan Pertengahan. Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi10. Raafik Isaa Beekun dalam bukunya yang berjudul Islamic Bussines Ethics menyebutkan paling tidak ada sejumlah parameter kunci system etika Islam yang dapat dirangkum sbb:
a.       Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa an mengetahui apapun niat kita sepenuhnya secara sempurna.
b.      Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal.
c.       Islammemberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindakberdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab keadilan.
d.       PercayakepadaAllah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah.
e.       Keputusan yang menguntungkan kelompok mamyoritas ataupun minoritas secara langsung bersifat etis dalam dirinya.etis bukanlahpermainan mengenai jumlah.
f.       Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai system yang tertutup, dan berorientasi diri sendiri.Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam.
g.      Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an danalam semesta.
h.       Tidak seperti system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berprilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum Muslim harus mampu membuktikan ketaatannya kepada Allah SWT.


BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif).
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.

B.     Daftar Pustaka
1.      Agustianto.Etika Produksi Dalam Islam,
3.      Setiawan. Instrumen Ekonomi Syariah Untuk Transformasi Masyarakat
4.      Ali Hasan. Meneguh Kembali Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam
6.      Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia
7.      Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill Khaerul. Produksi dan Konsumsi Dala Al Qur’an,
8.      Khatimah Husnul , Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net
9.      M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”,
10.  Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992),



[1] http://renunganislam.wordpress.com/2009/05/01/etika-produksi-dalam-islam/
[2] Husnul Khatimah, Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net
[3] Abdul-Mannan



Teori Produksi (Prinsip Ekonomi Islam)


Prinsip Ekonomi Islam

TEORI PRODUKSI

Produksi, distribusi, dan konsumsi sesungguhnya merupakan satu rangkaian kegiatan ekonomi yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya memang saling mempengaruhi, namun produksi merupakan titik pangkal dari kegiatan itu. Dari sudut pandang konvensional, produksi dilihat dari tiga hal, yaitu: apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan untuk siapa barang/jasa diproduksi. Ekonomi konvensional menempatkan tenaga kerja sebagai salah satu dari empat faktor produksi; tiga faktor produksi lainnya adalah sumber alam, modal, dan keahlian.

Produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa yang memproduksi? Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas produksi.

           1.      Apa yang diproduksi

Terdapat dua pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat (primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi).

           2.      Berapa kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko

Jumlah produksi di pengaruhi dua faktor; intern dan ekstern; faktor intern meliputi sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal, faktor SDM, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market share yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.

     3.  Kapan produksi dilakukan Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan eksternal atau menunggu tingkat kesiapan perusahaan.         

     4.
      Mengapa suatu produk diproduksi
a.      Alasan ekonomi
b.      Alasan kemanusiaan
c.       Alasan politik

5.      Dimana produksi itu dilakukan
a.      Kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
b.      Murahnya sumber-sumber ekonomi
c.       Akses pasar yang efektif dan efisien
d.      Biaya-biaya lainnya yang efisien

6.      Bagaimana proses produksi dilakukan: input- proses – out put - out come

7.      Siapa yang memproduksi; negara, kelompok masyarakat, individu

Dengan demikian masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa jumlahnya (how much), bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi tersebut (for whom), yang merupakan pertanyaan umum dalam teori produksi tentu saja merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam produksi.

Produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi.

Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif).

Memindahkannya dari tempat yang tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkannya, atau menjaganya dengan cara menyimpan agar bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang atau mengolahnya dengan memasukkan bahan-bahan tertentu, menutupi kebutuhan tertentu, atau mengubahnya dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya dengan melakukan sterilisasi, pemintalan, pengukiran, atau penggilingan, dan sebagainya. Atau mencampurnya dengan cara tertentu agar menjadi sesuatu yang baru.

      A.      Motif Produksi

Dalam ekonomi konvensional, motif utama dalam produksi adalah maksimalisasi keuntungan, motif ini sering membuat mereka mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dari proses produksi tersebut yang dapat merugikan masyarakat sekitar pabrik, konsumen, bagian dari faktor produksi tersebut maupun lingkungan. Ekonomi konvensional juga tidak merisaukan bahwa ternyata produknya hanya dikonsumsi sekelompok kecil masyarakat kaya sepanjang keuntungan yang mereka dapatkan sudah memadai.
Motif produksi dalam ekonomi Islam yaitu bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran, dengan menjaga keberlanjutan (sustainability) dan tidak merusak lingkungan, berdimensi kemanusiaan (humanisme).
      
      B.      Tujuan Produksi

Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan mashlahah yang maksimum bagi konsumen.

Walaupun dalam ekonomi Islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.

Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi produsen sendiri dan manusia secara keseluruhan.

Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai Islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan.

Berkah merupakan komponen penting dalam mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output.

Berkah yang dimasukkan dalam input produksi meliputi bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi harus memiliki kebaikan dan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Penggunaan bahan baku yang ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal logging, maupun penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya dalam jangka waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang baik(pendistribusian baik), tetapi dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah. Sebagai contoh penggunaan bahan baku dari ilegal logging dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai bencana, dan akan memberikan nilai mudharat kepada para penerus/generasi selanjutnya.

      C.      Faktor Produksi

Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai Islam dan batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang dapat digunakan.
Dengan kata lain, faktor produksi ekonomi Islam dengan ekonomi konvesional tidak berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam :

      a.     Faktor produksi tenaga kerja
      b.     Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong
      c.      Faktor produksi modal      

Di antara ketiga faktor produksi, faktor produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu diantara dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan antara faktor-faktor yang terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam memadukan larangan bunga (riba) dalam Islam dengan peran besar yang dimainkan oleh modal dalam produksi.

      D.     Produksi dalam Pandangan Islam

Prinsip dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada Allah SWT sebagai Rabb dari alam semesta. Ikrar akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam, dalam ayat yang artinya:

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapar tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Jaatsiyah: 13)

Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat.

Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah di muka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam QS al-An’aam (6) ayat 165 Allah berfirman yang artinya:

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya dan SesungguhnyaTuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Islam juga mengajarkan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagiorang lain atau masyarakat. Bekerja dan beribadah menempati posisi dan peranan yang sangat penting dalam Islam.
Bagi Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar. Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam QS. Al-Hadiid (57) ayat 7:

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

Kita harus melakukan hal ini karena memang dalam sebagian harta yang kita miliki terdapat hak orang miskin, baik yang meminta maupun tidak meminta. Kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk mencukupi keperluan konsumtif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi di kehidupan sosial.

Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua garis optimalisasi. Tingkat optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumber daya insani ke arah pencapaian kondisi full employment dan optimalisasi dalan hal memproduksi kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier secara proporsional.



Pada prinsipnya, Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik.



Sebagai modal dasar berproduksi, Allah telah menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia.

      

      E.      Prinsip-Prinsp Produksi dalam Islam



Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut:
    
    1.      Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya.
    2.      Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi.
    3.      Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia.
    4.      Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat.

Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:

    1.      Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi. 
    2.      Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian, dan ketersediaan       sumber daya alam.
    3.      Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran.
    4.      Produksi dalam Islam tidak dapar dipisahkan dari tujuan mandiri umat.
    5.      Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik.

Dalam Islam menurut Muhammad Abdul Mannan, perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondisi permintaan pasar, melainkan juga berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Pendapat ini didukung oleh M. M. Metwally yang menyatakan bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh variabel tingkat keuntungan tetapi juga oleh variabel pengelauaran yang bersifat charity atau good deeds. Sehingga fungsi utilitas dari pengusaha muslim adalah sebagai berikut:

Umax = U (F,G)

Di mana: F = tingkat keuntungan
              G = tingkat pengeluaran untuk good deeds/charity

Islam mewajibkan sedekah dari mereka yang mampu untuk membantu golongan miskin dan negara diberi wewenang untuk mengelola sedekah tersebut. Berdasarkan wewenang tersebut, negara diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok dari seluruh masyarakat. Dengan demikian tingkat minimal konsumsi masyarakat ada pada tingkat konsumsi kebutuhan primernya.

Meskipun kedewasaan sosial dari perusahaan semakin disadari pentingnya oleh sistem ekonomi konvensional, akan tetapi jika ada yang melandasinya bukan keimanan dan paradigma Al-Qur’an dan Sunnah, akan didapatkan hasil yang berbeda.



_________________


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Husnul Khatimah, Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net
Abdul-Mannan