google-site-verification: google8cc9d88fb7df7b42.html KESEMPURNAAN: KONSEPSI ISLAM DALAM ILMU

Monday, 3 November 2014

KONSEPSI ISLAM DALAM ILMU

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dikalangan muslim telah memiliki landasan teologis, bahwa surah Al-‘alaq: 1-5 diterima sebagai informasi bahwa Allah SWT itulah sumber  segala ilmu yang kemudian di ajarkan kepada manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu adalah Allah sendiri, Pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Sedangkan ilmuan adalah peramu butiran-butiran ilmu dalam tataran sistematik yang disebut manusia dalam nama-nama yang disepakati bersama demi kemudahan menggaulinya.[1]
Jika disebut hukum Newton, pada dasarnya adalah hukum Allah yang diberlakukan di dalam alam semesta yang biasa disebut Sunnatullah atau law of nature yang kebetulan di populerkan oleh Newton. Sebab apapun yang ditemukan oleh Newton sebagai gejala alam sejak semula telah terjadi, sebagaimana hasil temuannya itu. Hanya Newton memang berjasa memberikan penjelasan-penjelasan secara konseptual dan rasional terhadap fenomena-fenomena alam tersebut.
 Pada hakekatnya, Allahlah yang memiliki hukum itu, Sedangkan Newton hanya memperkenalkan hukum Allah itu melalui penjelasan-penjelasan yang bisa diterima oleh akal manusia. Hakekat yang sama terjadi pada teori “relavitas” dari Albert Einstein, hukum kelembanan dari Galileo Galilei, james Watt dengan mesin uapnya, thomas Alva Edison dengan penerangan listriknya, dan sebagainya. Semua temuan itu adalah hukum Allah yang dijelaskan prosesnya oleh para ilmuan tersebut. [2]
Oleh karena itu, terdapat sebutan scientist dan seniman yang memetik butiran ilmu dan seni, bukan sebagai “investor” atau “creator” (istilah-istilah barat yang dapat menyebabkan kerancuan sekaligus memungkinkan penyelewenangan akidah). Sedangkan persoalan mengotak- atiknya itu diserahkan kepada manusia demi kemudahan. Maka, manusia sangat dimotivasi untuk melakukan tindakan-tindakan kreatif dan produktif. Seperti; perenungan, pengamatan, penelitian dan penggalian terhadap hukum-hukum Allah yang diberlakukan pada alam semesta itu. Tuhan sengaja tidak mengungkapkan teori-teori pengetahuan melalui kitab suci. Mengingat kitab suci itu berfungsi sebagai buku petunjuk dari kerusakan menuju perbaikan perilaku, buku-buku sains. Disamping itu, jika tuhan telah mengungkapkan teori-teori untuk masing-masing pengetahuan , mungkin justru menjadikan manusia bodoh dan tidak memiliki daya kritis sama sekali. Motivasi untuk berkreatif yang diarahkan kepada manusia itu bertujuan untuk memberi ruang gerak kreatifitas manusia yang manfaatnya akan kembali kepadanya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana konsepsi Islam dalam ilmu.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengertian ilmu dalam Islam?
2.      Apa-apa saja jenis dan sumber ilmu dalam Islam?
3.      Apa-apa saja objek kajian dan metode memperoleh ilmu dalam Islam?
4.      Bagaimana klasifikasi ilmu menurut al-Ghazali?
C.    Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian ilmu dalam Islam.
2.      Mengetahui jenis-jenis dan sumber ilmu dalam Islam.
3.      Dapat mendeskripsikan objek kajian dan metode memperoleh ilmu dalam Islam.
4.      Memperoleh pengetahuan tentang klasifikasi ilmu menurut al-Ghazali.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu; mengerti, memahami benar-benar, seperti ungkapan: p"¥?"9#¨ŠãqJ»#N?ã “asmu’i telah memahami pelajaran filsafat”.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-quran. Kata ini dalam arti proses pencapaian pengetahuan dalam dan objek pengetahuan.[3]
‘Ilm dari segi bahsa berarti kejelasaan. Karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata kata alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamah (alamat), dan sebagainya. Jadi, dapat disimpulkan ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Dalam pandangan Alquran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk–makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Alquran pada surah Al-baqarah ayat 32-33:[4]
(#qä9$s% y7oY»ysö6ß Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ   tA$s% ãPyŠ$t«¯»tƒ Nßg÷¥Î;/Rr& öNÎhͬ!$oÿôœr'Î/ ( !$£Jn=sù Nèdr't6/Rr& öNÎhͬ!$oÿôœr'Î/ tA$s% öNs9r& @è%r& öNä3©9 þÎoTÎ) ãNn=ôãr& |=øxî ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ãNn=÷ær&ur $tB tbrßö7è? $tBur öNçFYä. tbqãKçFõ3s? ÇÌÌÈ  

Artinya:
Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (Q.S. Al-baqarah: 32-33)
Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan)–scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme. Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tenang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Mulyadhi kartanegara mengatakan bahwa ilmu itu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurut nya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke 19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.
Tidak ada agama, ideologi, kebudayaan dan peradaban lain selain Islam yang menempatkan ilmu dalam tempat yang begitu penting. Sebagai gambaran, Rosenthal menuliskan bahwa sekurangnya terdapat 750 kali kemunculan istilah yang berkaitan dengan kata ‘i-l-m, jika kita hitung secara kasar bahwa dalam al-Qur’an terdapat 78.000 kata, maka kata yang berkaitan dengan ‘i-l-m mengambil satu persennya. Jumlah ini belum termasuk istilah lain yang berkaitan seperti f-q-h, d-b-r, f-h-m, dan ‘-q-l, sebuah frekuensi kemunculan yang tidak biasa di dalam al-Qur’an.[5]  Frekuensi kemunculan yang tinggi dan dengan didukung berbagai bukti lain menunjukkan tingginya posisi ilmu di dalam Islam, bahkan Allah SWT sendiri mensifati diri-Nya dengan Al-‘alim. Terdapat banyak penjelasan tentang hakikat ilmu di dalam Islam melebihi apa yang ada dalam agama, kebudayaan dan peradaban lainnya, tidak diragukan lagi hal ini disebabkan oleh kedudukan yang sangat tinggi dan peranannya yang besar.
B.     Jenis-jenis ilmu
Ilmu menurut Islam dibagi kepada 2 macam, yaitu:[6]
1.      Ilmu Ladunni
Ilmu Ladunni adalah ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, tatapi oleh proses pencerahann oleh hadirnya cahaya Ilahi dalam qalb, dengan hadirnya cahaya Ilahi itu semua pintu ilmu tarbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap dalam keadaan intelek, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Disini Tuhan bertindak sebagai pengajarnya atau pendidik, dan hanya orang-orang tertentu yang memperoleh ilmu tersebut. seperti diinformasikan oleh Alquran surah Al-baqarah ayat 31:
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ  
Artinya:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (Q.S. Al-baqarah: 31)
Surah Al-kahfi ayat 65:
#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏŠ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ  
Artinya:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang talah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S. Al-kahfi: 65)
2.      Ilmu kasybi
Ilmu kasybi adalah ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, maksudnya ilmu yang diperoleh dengan cara berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penilitian, percobaan dan penemuan. Ilmu ini biasa diperoleh oleh manusia pada umumnya, sehingga seseorang yang menempuh proses itu dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut.
C.    Sumber-sumber ilmu
Menurut M. Iqbal sumber ilmu adalah afaq (world), anfus (diri atau ego) dan sejarah.[7]
a)      Afaq (alam semesta)
Alam semesta merupakan sekumpulan benda-benda bukanlah merupakan sesuatu yang padat menempati sebuah rongga, alam semesta bukanlah benda melainkan suatu gerakan[8]
Iqbal tidak memberikan perbedaan yang tegas antara dunia (world) dan alam semesta (nature). Ia mengidentifikasikan world sebagai sesuatu yang lahir. World dibedah dari diri manusia (anfus) artinya world sebagai sesuatu yang berada di luar dan berhadapan dengan diri. Ia memberikan contoh nature pada benda-benda angkasa seperti bumi, bulan dan matahari. Karena itu, tidak salah kiranya kalau world dipahami dengan nature.
Iqbal menganggap begitu penting terhadap alam semesta. Alam semesta bukan hanya sebagai sumber ilmu, melainkan ia juga menghimbau supaya alam semesta itu diselidiki. Menurut Muhammad Iqbal alam semesta itu mengandung aspek kebenaran dan dapat menghantarkan manusia untuk memperoleh kebenaran yang hakiki (the ultimate reality), tidak lain dan tidak bukan realitas ultimate adalah Tuhan. Dengan demikian kesimpulan iqbal yang sedemikian itu tepat benar dengan ayat Al-quran yang ia jadikan dalil. Ayat-ayat tersebut adalah: surat Al-baqarah: 164, Al-an”am: 91-99, Al-furqan: 45-46, dan Ar-rum: 22.
b)      Anfus (diri/ego)
       Menurut Iqbal adalah manusia yang merupakan kesatuan jiwa-badan. Konsepsi “manusia” yang semacam itulah yang menurut Iqbal menjadi sumber ilmu, sumber informasi bagi manusia yang mencari tahu. Jadi “manusia” adalah sesuatu yang embivalen. Ia objek kajian tetapi sekaligus pengkajinya hanya saja objek kajian manusia bukan terhadap dirinya melainkan juga alam semesta dan Tuhan.
Manusia sebagai kesatuan jiwa-badan mampu mengkaji seluruh realitas, materi, dan non materi karena di dalam diri manusia terdapat tiga potensi epistimologi, yaitu: [9]
1)      Serapan panca indera
Mengenai indera kemampuannya terletak pada daya pengkajian benda-benda material, benda-benda material itu pulalah objek pengkajiannya
2)      Akal (rasio)
Iqbal tidak mendefinisikan tentang akal, ia membicarakan akal dari segi kedudukan, petensi, dan kemampuan. Kedudukan akal yang begitu tinggi, konseptual dan juga mampu mengubah benda-benda alam menjadi benda budaya bahkan peradaban adalah hasil perkiraan kuat.
Menskipun begitu tinggi penghargaan iqbal terhadap akal, namun iqbal sadar bahwa akal bukan segala-galanya karena akal itu berlawanan dengan agama. Jadi propersi akal dalam teori epistimologi adalah mengarah salah satu potensi dalam diri manusia. Menurut iqbal pikiran itu bisa meragukan tentang keberadaan sesuatu, akal kadang-kadang menipu. Dalam sorotan pengamatan intelek alam semesta hanya tampil sebagai ilusi dan fatamorgana.

3)      Intuisi
Intuisi adalah heart, fuad, qalb atau insight. Kesamaan maksud kelima term tersebut lebih jelas jika diperhatikan fungsinya satu dan sama. Yaitu memberikan informasi mengenai hal-hal yang tidak dapat ditangkap indera. Dengan kata lain intuisi adalah sarana untuk menangkap hal-hal yang metafisis seperti roh dan fakta pengalaman tasawuf.[10]
c)      Sejarah
Sejarah adalah kejadian-kejadian yang terjadi dimasa lampau, doktrin sejarah didasarkan pada dua hal yaitu azaz manusia dari nyawa yang katanya ia simpulkan dalam Al-quran. Dan yang kedua kesadaran terhadapm waktu dan hidup sebagai suatu gerakan yang berlangsung terus dalam waktu.[11]
       Dengan sejarah, seseorang lebih cermat meneliti terhadap sesuatu, lebih terampil dalam memberikan arah bagi perjalanan bangsa di masa sekarang dan di masa yang akan datang.
D.    Objek ilmu
       Dalam menjelaskan objek ilmu pengetahuan ini para filosof muslim memberikan penjelasan mengenai objek-objek ilmu pengetahuan sesuai dengan status antologisnya, selama ini para filosof barat hanya mengakui keberadaan objek yang memiliki status antologis yang jelas dan material, yakni objek-objek fisik. Berbeda dengan para filosof muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia fisik saja tetapi juga pada entitas non fisik, seperti konsep-konmental dan metafisika.
       Darinya tersusun hirarki wujud yang dimulai entitas metafisik, matematik dan entitas fisik. Dalam hal ini, Al-farabi mengemukakan hirarki wujud menurut persepsinya:[12]
1.      Tuhan yang merupakan sebab utama keberadaan wujud lainnya, Tuhan yang berada pada puncak hirarki  wujud lainnya di alam semesta ini
2.      Malaikat yang merupakan wujud imateril. Malaikat sering disebut sebagai akal aktif (al ‘aql al-fa’i) sebagaimana yang sering dikatakan oleh Ibnu Sina. Namun bagi Suhrawardi ia disebut sebagai cahaya (nur al-aqrab)
3.      Benda-benda angkasa yang diyakini memiliki akal dan jiwanya masing-masing
4.      Benda-benda bumi, lebih jelas lagi Al-farabi mengemukakan lima macam benda bumi dari tingkatan yang paling rendah; unsur-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan irrasional dan hewan rasional (manusia)

E.     Metode memperoleh ilmu
Metode memperoleh ilmu adalah bagaimana mengambil dan mengolah bahan ilmu dalam sumbernya yang demikian itu, seseorang akhirnya menjadi berilmu.
Sebagaimana Ghulsyani mengemukakan bahwa metode untuk memahami alam atau ilmu pengetahuan itu mencakup: indera eksternal, intetek (yang tidak terkategori oleh sifat-sifat buruk) dan wahyu atau inspirasi/ ilham. [13]
Islam tidak berkubang hanya pada rasionalisme dan empirisme sebagaimana sain barat, tetapi juga mengakui intuisi dan wahyu. Intuisi sebagai fakultas kebenaran langsung dari Tuhan dalam bentuk ilham, kasyaf yang tanpa deduksi spikulasi dan observasi.
Menurut Islam, Ilmu datang dari Allah Tuhan Semesta Alam, dan diperoleh melalui sejumlah saluran yaitu: [14]
Ø  Berita yang benar dan bersumber dari otoritas (al-khabar ash-shadiq), di dalamnya adalah Al-quran dan Sunnah.
Ø  Panca Indera (al-hiss al-mushtarak) yang sehat
Ø  Akal yang sehat
Ø  Intuisi
Dibawah ini beberapa bukti ayat Al-quran yang menyuruh manusia untuk menggunakan inderanya dalam melihat fenomena alam dan mencari kebenaran, misalnya firman allah surah Al-maidah ayat 31:
y]yèt7sù ª!$# $\/#{äî ß]ysö7tƒ Îû ÇÚöF{$# ¼çmtƒÎŽãÏ9 y#øx. ͺuqムnouäöqy ÏmÅzr& 4 tA$s% #ÓtLn=÷ƒuq»tƒ ßN÷yftãr& ÷br& tbqä.r& Ÿ@÷WÏB #x»yd É>#{äóø9$# yͺuré'sù nouäöqy ÓŁr& ( yxt7ô¹r'sù z`ÏB tûüÏBÏ»¨Y9$#  
Artinya:
Kemudian allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata qabil: "aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (Q.S Al-maidah: 31)
Surah Yunus ayat 101:
È@è% (#rãÝàR$# #sŒ$tB Îû ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 $tBur ÓÍ_øóè? àM»tƒFy$# âäY9$#ur `tã 7Qöqs% žw tbqãZÏB÷sムÇÊÉÊÈ  
Artinya:
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". (Q.S. Yunus: 101).
Surah Asy-syu’aara ayat 7
öNs9urr& (#÷rttƒ n<Î) ÇÚöF{$# ö/x. $oY÷Gu;/Rr& $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. 8l÷ry AOƒÍx. ÇÐÈ  
Artinya:
Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? (Q.S. Asy-syu’aara: 7)
Dari beberapa ayat-ayat di atas jelaslah kiranya bahwa untuk mmperoleh pengetahuan itu bisa menggunakan alat inderawi (indera eksternal) tetapi yang demikian ini bukanlah satu-satunya, sebab pada bagian lain ayat Al-quran juga menyebutkan perlunya akal dalam memperoleh pengetahuan. Perhatikan misalnya ayat-ayat dbawh ini:[15]
Surah An-nahl ayat 10-12
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ( /ä3©9 çm÷ZÏiB Ò>#tx© çm÷ZÏBur ֍yfx© ÏmŠÏù šcqßJŠÅ¡è@ ÇÊÉÈ   àMÎ6/Zム/ä3s9 ÏmÎ/ tíö¨9$# šcqçG÷ƒ¨9$#ur Ÿ@ϨZ9$#ur |=»uZôãF{$#ur `ÏBur Èe@à2 ÏNºtyJ¨V9$# 3 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ ZptƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcr㍤6xÿtGtƒ ÇÊÊÈ   t¤yur ãNà6s9 Ÿ@ø©9$# u$yg¨Y9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( ãPqàfZ9$#ur 7Nºt¤|¡ãB ÿ¾Ín̍øBr'Î/ 3 žcÎ) Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqè=É)÷ètƒ ÇÊËÈ  
Artinya:
Dia-lah, yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya). (Q.S. An-nahl: 10-12)
Surah Al-an-’am ayat 97
uqèdur Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 tPqàfZ9$# (#rßtGöktJÏ9 $pkÍ5 Îû ÏM»yJè=àß ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur 3 ôs% $uZù=¢Ásù ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 šcqßJn=ôètƒ ÇÒÐÈ     

Artinya:
Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Al-an’am: 97).
Waqar Ahmad Husain menuturkan, bahwa banyak ayat Al-quran memperingatkan kepada manusia untuk memperoleh pengetahuan lewat pemikiran kritis (rasio, akal) tentang tanda tanda tuhan dalam hukum dan fenomena alam, serta pelajaran–pelajaran sejarah yang demikian itu merupakan bidang rasio dan perhatian khusus Islam.
F.     Klasifikasi ilmu menurut Al-ghazali
Menurut Al-Gazali sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Amsal Bakhtiar berpendapat bahwa ilmu dibagi menjadi dua macam yaitu ilmu syar’iyah dan ilmu aqliyyah. Ilmu syar’iyyah adalah ilmu religius karena ilmu itu berkembang dalam suatu peradaban yang memiliki syar’iyyah (hukum wahyu) sedangkan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang diluar dari ilmu syar’iyyah. Seperti ilmu alam, matematika, metafisika, ilmu politik dan lain-lain. Adapun klasifikasi Al-ghazali tentang ilmu antara lain: syar’iyah dan ilmu akliah.
I.            Ilmu Syar’iyyah
1.      Ilmu tentang prinsip-rinsip dasar (al-ushul)
a)      Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
b)      Ilmu tentang kenabian
c)      Ilmu tentang akhirat atau eskatologis
d)     Ilmu tentang sumber pengetahuan religius. Yaitu Alquran dan al-Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori:
Ø  Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
Ø  Ilmu-ilmu pelengkap, terdiri dari: ilmu Quran, ilmu riwayat al-hadits, ilmu ushul fiqh, dan biografi para tokoh.
2.      Ilmu tentang cabang-cabang (furu’)
a)      Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah)
b)      lmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat:
Ø  Ilmu tentang transaksi, termasuk qiahas
Ø  Ilmu tentang kewajiban kontraktual (berhubungan dengan hukum keluarga)
3.      Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (akhlak)
II.            Ilmu Aqliyyah
1.      Matematika: aritmatika, geometri, astronomi, astrologi dll
2.      Logika
3.      Fisika/ ilmu alam: kedokteran, meteorology, kimia dll
4.      Ilmu tentang wujud diluar alam, atau metafisika:
Ø  Pengetahuan tentang esensi, sifat dan aktivitas Ilahi
Ø  Pengetahuan tentang subtansi-subtansi sederhana
Ø  Pengetahuan tentang dunia halus
Ø  Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian, ilmu tentang mimpi.
Ø  Teurgi. Ilmu ini menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek.









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pandangan Alquran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk–makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan
Ilmu menurut Islam dibagi kepada 2 macam, yaitu:
3.      Ilmu Ladunni
4.      Ilmu kasybi
Menurut M. Iqbal sumber ilmu adalah afaq (world), anfus (diri atau ego) dan sejarah.
Menurut Islam, Ilmu datang dari Allah Tuhan Semesta Alam, dan diperoleh melalui sejumlah saluran yaitu:
Ø  Berita yang benar dan bersumber dari otoritas (al-khabar ash-shadiq), di dalamnya adalah Al-quran dan Sunnah.
Ø  Panca Indera (al-hiss al-mushtarak) yang sehat
Ø  Akal yang sehat
Ø  Intuisi








DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Attas, Islam and The Philosophy of Science dalam Prolegomena to The                          Metaphysics of Islam
Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal, cet. 1 Yogyakarta: Pustaka Pelaja                 Offset, 1996.
Fakri,  Majid, Sejarah Filsafat Islam, Sebuah Peta Kronologis, trj, Zainul Am,        Bandung: Mizan, 2001.
Franz, Rosenthal, Knowledge Triumphant The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Brill.
Iqbal, Muhammad, Recontruction of Relegius though in Islam, New Delhi: Laras    Tahura, 1981.
Mahmud, Mustafa, Al-Einstein wa al-nisbiyyat, trj. Rusdi Malik, Einstein dan         Relativision, Jakarta: Al-hidayah, 1980.
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, cet 1, Jakarta: Katalog                  Dalam Terbitan 2006.
Qamal, Mujamir, Epistemologi Pendidikan  Islam, Jakarta: Erlangga, 2005
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-quran, cet. 1, Mizan, 1996.

.





[1] Mujamir Qamal, Epistemologi Pendidikan  Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 107

[2] Ibid, hal. 108

[3] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-quran, cet. 1, (Mizan, 1996), hal. 434-435
[4] Ibid, hal. 436
[5] Rosenthal, Franz. Knowledge Triumphant The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Brill. pp. 19.
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan. . ., hal. 435
[7] Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal, cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelaja Offset, 1996), hal. 43
[8] Mustafa Mahmud, Al-Einstein wa al-nisbiyyat, trj. Rusdi Malik, Einstein dan Relativision, (Jakarta: Al-hidayah, 1980), hal. 34
[9] Ibid, hal. 45
[10] Ibid, hal. 47
[11] Muhammad Iqbal, Recontruction of Relegius though in Islam, (New Delhi: Laras Tahura, 1981), hal. 15
[12] Majid Fakri, Sejarah Filsafat Islam, Sebuah Peta Kronologis, trj, Zainul Am, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 31
[13] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, cet 1, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan.2006), hal.
[14] Prof. Al-Attas Islam and The Philosophy of Science dalam Prolegomena to The Metaphysics of Islam pp. 111-142.
[15] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif. . ., hal.