BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Dikalangan muslim telah
memiliki landasan teologis, bahwa surah Al-‘alaq:
1-5 diterima sebagai informasi bahwa Allah SWT itulah sumber segala ilmu yang kemudian di ajarkan kepada
manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu adalah Allah sendiri, Pencipta
alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Sedangkan ilmuan adalah peramu
butiran-butiran ilmu dalam tataran sistematik yang disebut manusia dalam
nama-nama yang disepakati bersama demi kemudahan menggaulinya.[1]
Jika disebut hukum
Newton, pada dasarnya adalah hukum Allah yang diberlakukan di dalam alam
semesta yang biasa disebut Sunnatullah atau law
of nature yang kebetulan di populerkan oleh Newton. Sebab apapun yang
ditemukan oleh Newton sebagai gejala alam sejak semula telah terjadi,
sebagaimana hasil temuannya itu. Hanya Newton memang berjasa memberikan
penjelasan-penjelasan secara konseptual dan rasional terhadap fenomena-fenomena
alam tersebut.
Pada hakekatnya, Allahlah yang memiliki hukum
itu, Sedangkan Newton hanya memperkenalkan hukum Allah itu melalui
penjelasan-penjelasan yang bisa diterima oleh akal manusia. Hakekat yang sama
terjadi pada teori “relavitas” dari Albert Einstein, hukum kelembanan dari
Galileo Galilei, james Watt dengan mesin uapnya, thomas Alva Edison dengan
penerangan listriknya, dan sebagainya. Semua temuan itu adalah hukum Allah yang
dijelaskan prosesnya oleh para ilmuan tersebut. [2]
Oleh karena itu,
terdapat sebutan scientist dan
seniman yang memetik butiran ilmu dan seni, bukan sebagai “investor” atau
“creator” (istilah-istilah barat yang dapat menyebabkan kerancuan sekaligus
memungkinkan penyelewenangan akidah). Sedangkan persoalan mengotak- atiknya itu
diserahkan kepada manusia demi kemudahan. Maka, manusia sangat dimotivasi untuk
melakukan tindakan-tindakan kreatif dan produktif. Seperti; perenungan,
pengamatan, penelitian dan penggalian terhadap hukum-hukum Allah yang
diberlakukan pada alam semesta itu. Tuhan sengaja tidak mengungkapkan
teori-teori pengetahuan melalui kitab suci. Mengingat kitab suci itu berfungsi
sebagai buku petunjuk dari kerusakan menuju perbaikan perilaku, buku-buku
sains. Disamping itu, jika tuhan telah mengungkapkan teori-teori untuk
masing-masing pengetahuan , mungkin justru menjadikan manusia bodoh dan tidak
memiliki daya kritis sama sekali. Motivasi untuk berkreatif yang diarahkan
kepada manusia itu bertujuan untuk memberi ruang gerak kreatifitas manusia yang
manfaatnya akan kembali kepadanya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan
dijelaskan bagaimana konsepsi Islam
dalam ilmu.
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana pengertian ilmu dalam Islam?
2.
Apa-apa saja jenis dan sumber ilmu dalam
Islam?
3.
Apa-apa saja objek kajian dan metode
memperoleh ilmu dalam Islam?
4.
Bagaimana klasifikasi ilmu menurut
al-Ghazali?
C.
Tujuan
penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian ilmu dalam
Islam.
2.
Mengetahui jenis-jenis dan sumber ilmu
dalam Islam.
3.
Dapat mendeskripsikan objek kajian dan
metode memperoleh ilmu dalam Islam.
4.
Memperoleh pengetahuan tentang
klasifikasi ilmu menurut al-Ghazali.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima,
ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu; mengerti, memahami benar-benar, seperti
ungkapan: p"¥?"9#¨ãqJ»#N?ã
“asmu’i telah memahami pelajaran filsafat”.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya
terulang 854 kali dalam Al-quran. Kata ini dalam arti proses pencapaian
pengetahuan dalam dan objek pengetahuan.[3]
‘Ilm
dari segi bahsa berarti kejelasaan. Karena itu segala yang terbentuk dari akar
katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata kata alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam
(gunung-gunung), ‘alamah (alamat),
dan sebagainya. Jadi, dapat disimpulkan ilmu adalah pengetahuan yang jelas
tentang sesuatu.
Dalam
pandangan Alquran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap
makhluk–makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari
kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Alquran pada surah Al-baqarah ayat 32-33:[4]
(#qä9$s% y7oY»ysö6ß w zNù=Ïæ !$uZs9 wÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇÌËÈ tA$s% ãPy$t«¯»t Nßg÷¥Î;/Rr& öNÎhͬ!$oÿôr'Î/ ( !$£Jn=sù Nèdr't6/Rr& öNÎhͬ!$oÿôr'Î/ tA$s% öNs9r& @è%r& öNä3©9 þÎoTÎ) ãNn=ôãr& |=øxî ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ãNn=÷ær&ur $tB tbrßö7è? $tBur öNçFYä. tbqãKçFõ3s? ÇÌÌÈ
Artinya:
Mereka menjawab:
"Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana. "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu,
Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu,
bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia
langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?" (Q.S. Al-baqarah:
32-33)
Dalam
bahasa inggris disebut science; dari bahasa latin scientia (pengetahuan)–scire
(mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme.
Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah
pengetahuan tenang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Mulyadhi kartanegara mengatakan bahwa
ilmu itu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurut nya tidak
berbeda, terutama sebelum abad ke 19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada
bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada
bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.
Tidak ada agama, ideologi, kebudayaan
dan peradaban lain selain Islam yang menempatkan ilmu dalam tempat yang begitu
penting. Sebagai gambaran, Rosenthal menuliskan bahwa sekurangnya terdapat 750
kali kemunculan istilah yang berkaitan dengan kata ‘i-l-m, jika kita hitung
secara kasar bahwa dalam al-Qur’an terdapat 78.000 kata, maka kata yang
berkaitan dengan ‘i-l-m mengambil satu persennya. Jumlah ini belum termasuk
istilah lain yang berkaitan seperti f-q-h, d-b-r, f-h-m, dan ‘-q-l, sebuah
frekuensi kemunculan yang tidak biasa di dalam al-Qur’an.[5] Frekuensi kemunculan yang tinggi dan dengan
didukung berbagai bukti lain menunjukkan tingginya posisi ilmu di dalam Islam,
bahkan Allah SWT sendiri mensifati diri-Nya dengan Al-‘alim. Terdapat banyak penjelasan tentang hakikat ilmu di dalam
Islam melebihi apa yang ada dalam agama, kebudayaan dan peradaban lainnya,
tidak diragukan lagi hal ini disebabkan oleh kedudukan yang sangat tinggi dan
peranannya yang besar.
B.
Jenis-jenis
ilmu
Ilmu
menurut Islam dibagi kepada 2 macam, yaitu:[6]
1. Ilmu
Ladunni
Ilmu
Ladunni adalah ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, tatapi oleh proses
pencerahann oleh hadirnya cahaya Ilahi dalam qalb, dengan hadirnya cahaya Ilahi
itu semua pintu ilmu tarbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas dan
terserap dalam keadaan intelek, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari
Tuhan secara langsung. Disini Tuhan bertindak sebagai pengajarnya atau
pendidik, dan hanya orang-orang tertentu yang memperoleh ilmu tersebut. seperti
diinformasikan oleh Alquran surah Al-baqarah
ayat 31:
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ
Artinya:
Dan
Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!" (Q.S. Al-baqarah: 31)
Surah
Al-kahfi ayat 65:
#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ
Artinya:
Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang talah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami. (Q.S. Al-kahfi: 65)
2. Ilmu
kasybi
Ilmu kasybi adalah ilmu yang diperoleh
karena usaha manusia, maksudnya ilmu yang diperoleh dengan cara berpikir
sistematik dan metodik yang dilakukan konsisten dan bertahap melalui proses
pengamatan, penilitian, percobaan dan penemuan. Ilmu ini biasa diperoleh oleh
manusia pada umumnya, sehingga seseorang yang menempuh proses itu dengan
sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut.
C.
Sumber-sumber
ilmu
Menurut M. Iqbal sumber
ilmu adalah afaq (world), anfus (diri atau ego) dan sejarah.[7]
a) Afaq
(alam semesta)
Alam
semesta merupakan sekumpulan benda-benda bukanlah merupakan sesuatu yang padat
menempati sebuah rongga, alam semesta bukanlah benda melainkan suatu gerakan[8]
Iqbal
tidak memberikan perbedaan yang tegas antara dunia (world) dan alam semesta (nature).
Ia mengidentifikasikan world sebagai sesuatu yang lahir. World dibedah dari diri manusia (anfus) artinya world sebagai sesuatu yang berada di luar dan
berhadapan dengan diri. Ia memberikan contoh nature pada benda-benda angkasa seperti bumi, bulan dan matahari.
Karena itu, tidak salah kiranya kalau world
dipahami dengan nature.
Iqbal
menganggap begitu penting terhadap alam semesta. Alam semesta bukan hanya
sebagai sumber ilmu, melainkan ia juga menghimbau supaya alam semesta itu
diselidiki. Menurut Muhammad Iqbal alam semesta itu mengandung aspek kebenaran
dan dapat menghantarkan manusia untuk memperoleh kebenaran yang hakiki (the
ultimate reality), tidak lain dan tidak bukan realitas ultimate adalah Tuhan.
Dengan demikian kesimpulan iqbal yang sedemikian itu tepat benar dengan ayat
Al-quran yang ia jadikan dalil. Ayat-ayat tersebut adalah: surat Al-baqarah:
164, Al-an”am: 91-99, Al-furqan: 45-46, dan Ar-rum: 22.
b) Anfus
(diri/ego)
Menurut
Iqbal adalah manusia yang merupakan kesatuan jiwa-badan. Konsepsi “manusia”
yang semacam itulah yang menurut Iqbal menjadi sumber ilmu, sumber informasi
bagi manusia yang mencari tahu. Jadi “manusia” adalah sesuatu yang embivalen.
Ia objek kajian tetapi sekaligus pengkajinya hanya saja objek kajian manusia
bukan terhadap dirinya melainkan juga alam semesta dan Tuhan.
Manusia
sebagai kesatuan jiwa-badan mampu mengkaji seluruh realitas, materi, dan non
materi karena di dalam diri manusia terdapat tiga potensi epistimologi, yaitu: [9]
1) Serapan
panca indera
Mengenai indera kemampuannya terletak pada daya
pengkajian benda-benda material, benda-benda material itu pulalah objek
pengkajiannya
2) Akal
(rasio)
Iqbal tidak mendefinisikan tentang akal, ia
membicarakan akal dari segi kedudukan, petensi, dan kemampuan. Kedudukan akal
yang begitu tinggi, konseptual dan juga mampu mengubah benda-benda alam menjadi
benda budaya bahkan peradaban adalah hasil perkiraan kuat.
Menskipun begitu tinggi penghargaan iqbal terhadap
akal, namun iqbal sadar bahwa akal bukan segala-galanya karena akal itu
berlawanan dengan agama. Jadi propersi akal dalam teori epistimologi adalah
mengarah salah satu potensi dalam diri manusia. Menurut iqbal pikiran itu bisa
meragukan tentang keberadaan sesuatu, akal kadang-kadang menipu. Dalam sorotan
pengamatan intelek alam semesta hanya tampil sebagai ilusi dan fatamorgana.
3)
Intuisi
Intuisi
adalah heart, fuad, qalb atau insight. Kesamaan maksud kelima term
tersebut lebih jelas jika diperhatikan fungsinya satu dan sama. Yaitu
memberikan informasi mengenai hal-hal yang tidak dapat ditangkap indera. Dengan
kata lain intuisi adalah sarana untuk
menangkap hal-hal yang metafisis seperti roh dan fakta pengalaman tasawuf.[10]
c) Sejarah
Sejarah adalah kejadian-kejadian yang terjadi dimasa
lampau, doktrin sejarah didasarkan pada dua hal yaitu azaz manusia dari nyawa yang
katanya ia simpulkan dalam Al-quran. Dan yang kedua kesadaran terhadapm waktu
dan hidup sebagai suatu gerakan yang berlangsung terus dalam waktu.[11]
Dengan sejarah, seseorang lebih cermat meneliti terhadap
sesuatu, lebih terampil dalam memberikan arah bagi perjalanan bangsa di masa
sekarang dan di masa yang akan datang.
D. Objek ilmu
Dalam menjelaskan objek ilmu pengetahuan
ini para filosof muslim memberikan penjelasan mengenai objek-objek ilmu
pengetahuan sesuai dengan status antologisnya, selama ini para filosof barat
hanya mengakui keberadaan objek yang memiliki status antologis yang jelas dan
material, yakni objek-objek fisik. Berbeda dengan para filosof muslim yang
mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia
fisik saja tetapi juga pada entitas non fisik, seperti konsep-konmental dan
metafisika.
Darinya tersusun hirarki wujud yang
dimulai entitas metafisik, matematik dan entitas fisik. Dalam hal ini,
Al-farabi mengemukakan hirarki wujud menurut persepsinya:[12]
1.
Tuhan yang merupakan sebab utama
keberadaan wujud lainnya, Tuhan yang berada pada puncak hirarki wujud lainnya di alam semesta ini
2.
Malaikat yang merupakan wujud imateril.
Malaikat sering disebut sebagai akal aktif (al ‘aql al-fa’i) sebagaimana yang
sering dikatakan oleh Ibnu Sina. Namun bagi Suhrawardi ia disebut sebagai
cahaya (nur al-aqrab)
3.
Benda-benda angkasa yang diyakini
memiliki akal dan jiwanya masing-masing
4.
Benda-benda bumi, lebih jelas lagi
Al-farabi mengemukakan lima macam benda bumi dari tingkatan yang paling rendah;
unsur-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan irrasional dan hewan rasional
(manusia)
E. Metode memperoleh ilmu
Metode memperoleh ilmu
adalah bagaimana mengambil dan mengolah bahan ilmu dalam sumbernya yang
demikian itu, seseorang akhirnya menjadi berilmu.
Sebagaimana
Ghulsyani mengemukakan bahwa metode untuk memahami alam atau ilmu pengetahuan
itu mencakup: indera eksternal, intetek (yang tidak terkategori oleh
sifat-sifat buruk) dan wahyu atau inspirasi/ ilham. [13]
Islam
tidak berkubang hanya pada rasionalisme dan empirisme sebagaimana sain barat,
tetapi juga mengakui intuisi dan wahyu. Intuisi sebagai fakultas kebenaran
langsung dari Tuhan dalam bentuk ilham, kasyaf
yang tanpa deduksi spikulasi dan observasi.
Menurut
Islam, Ilmu datang dari Allah Tuhan Semesta Alam, dan diperoleh melalui
sejumlah saluran yaitu: [14]
Ø Berita
yang benar dan bersumber dari otoritas (al-khabar
ash-shadiq), di dalamnya adalah Al-quran dan Sunnah.
Ø Panca
Indera (al-hiss al-mushtarak) yang sehat
Ø Akal
yang sehat
Ø Intuisi
Dibawah
ini beberapa bukti ayat Al-quran yang menyuruh manusia untuk menggunakan
inderanya dalam melihat fenomena alam dan mencari kebenaran, misalnya firman
allah surah Al-maidah ayat 31:
y]yèt7sù ª!$# $\/#{äî ß]ysö7t Îû ÇÚöF{$# ¼çmtÎãÏ9 y#øx. ͺuqã nouäöqy ÏmÅzr& 4 tA$s% #ÓtLn=÷uq»t ßN÷yftãr& ÷br& tbqä.r& @÷WÏB #x»yd É>#{äóø9$# yͺuré'sù nouäöqy ÓÅr& ( yxt7ô¹r'sù z`ÏB tûüÏBÏ»¨Y9$#
Artinya:
Kemudian allah menyuruh seekor
burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (qabil)
bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata qabil: "aduhai
celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku
dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah dia seorang
diantara orang-orang yang menyesal. (Q.S Al-maidah: 31)
Surah
Yunus ayat 101:
È@è% (#rãÝàR$# #s$tB Îû ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 $tBur ÓÍ_øóè? àM»tFy$# âäY9$#ur `tã 7Qöqs% w tbqãZÏB÷sã ÇÊÉÊÈ
Artinya:
Katakanlah:
"Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat
tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang
yang tidak beriman". (Q.S. Yunus: 101).
Surah
Asy-syu’aara ayat 7
öNs9urr& (#÷rtt n<Î) ÇÚöF{$# ö/x. $oY÷Gu;/Rr& $pkÏù `ÏB Èe@ä. 8l÷ry AOÍx. ÇÐÈ
Artinya:
Dan
Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di
bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? (Q.S. Asy-syu’aara: 7)
Dari
beberapa ayat-ayat di atas jelaslah kiranya bahwa untuk mmperoleh pengetahuan
itu bisa menggunakan alat inderawi (indera eksternal) tetapi yang demikian ini
bukanlah satu-satunya, sebab pada bagian lain ayat Al-quran juga menyebutkan
perlunya akal dalam memperoleh pengetahuan. Perhatikan misalnya ayat-ayat dbawh
ini:[15]
Surah
An-nahl ayat 10-12
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& ÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ( /ä3©9 çm÷ZÏiB Ò>#tx© çm÷ZÏBur Öyfx© ÏmÏù cqßJÅ¡è@ ÇÊÉÈ àMÎ6/Zã /ä3s9 ÏmÎ/ tíö¨9$# cqçG÷¨9$#ur @ϨZ9$#ur |=»uZôãF{$#ur `ÏBur Èe@à2 ÏNºtyJ¨V9$# 3 ¨bÎ) Îû Ï9ºs ZptUy 5Qöqs)Ïj9 crã¤6xÿtGt ÇÊÊÈ t¤yur ãNà6s9 @ø©9$# u$yg¨Y9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( ãPqàfZ9$#ur 7Nºt¤|¡ãB ÿ¾ÍnÌøBr'Î/ 3 cÎ) Îû Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 cqè=É)÷èt ÇÊËÈ
Artinya:
Dia-lah,
yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi
minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat
tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan
itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan
bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya). (Q.S.
An-nahl: 10-12)
Surah
Al-an-’am ayat 97
uqèdur Ï%©!$# @yèy_ ãNä3s9 tPqàfZ9$# (#rßtGöktJÏ9 $pkÍ5 Îû ÏM»yJè=àß Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur 3 ôs% $uZù=¢Ásù ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 cqßJn=ôèt ÇÒÐÈ
Artinya:
Dan Dialah yang menjadikan
bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di
darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran
(Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Al-an’am: 97).
Waqar
Ahmad Husain menuturkan, bahwa banyak ayat Al-quran memperingatkan kepada
manusia untuk memperoleh pengetahuan lewat pemikiran kritis (rasio, akal)
tentang tanda tanda tuhan dalam hukum dan fenomena alam, serta
pelajaran–pelajaran sejarah yang demikian itu merupakan bidang rasio dan
perhatian khusus Islam.
F.
Klasifikasi
ilmu menurut Al-ghazali
Menurut
Al-Gazali sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Amsal Bakhtiar berpendapat bahwa
ilmu dibagi menjadi dua macam yaitu ilmu syar’iyah
dan ilmu aqliyyah. Ilmu syar’iyyah adalah ilmu religius karena
ilmu itu berkembang dalam suatu peradaban yang memiliki syar’iyyah (hukum wahyu) sedangkan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang diluar dari ilmu syar’iyyah. Seperti ilmu alam, matematika, metafisika, ilmu politik
dan lain-lain. Adapun klasifikasi Al-ghazali tentang ilmu antara lain: syar’iyah
dan ilmu akliah.
I.
Ilmu Syar’iyyah
1. Ilmu
tentang prinsip-rinsip dasar (al-ushul)
a) Ilmu
tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
b) Ilmu
tentang kenabian
c) Ilmu
tentang akhirat atau eskatologis
d) Ilmu
tentang sumber pengetahuan religius. Yaitu Alquran dan al-Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat
(sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori:
Ø Ilmu-ilmu
pengantar (ilmu alat)
Ø Ilmu-ilmu
pelengkap, terdiri dari: ilmu Quran, ilmu riwayat al-hadits, ilmu ushul fiqh,
dan biografi para tokoh.
2. Ilmu
tentang cabang-cabang (furu’)
a) Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah)
b) lmu
tentang kewajiban manusia kepada masyarakat:
Ø Ilmu
tentang transaksi, termasuk qiahas
Ø Ilmu
tentang kewajiban kontraktual (berhubungan dengan hukum keluarga)
3. Ilmu
tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (akhlak)
II.
Ilmu Aqliyyah
1. Matematika:
aritmatika, geometri, astronomi, astrologi dll
2. Logika
3. Fisika/
ilmu alam: kedokteran, meteorology, kimia dll
4. Ilmu
tentang wujud diluar alam, atau metafisika:
Ø Pengetahuan
tentang esensi, sifat dan aktivitas Ilahi
Ø Pengetahuan
tentang subtansi-subtansi sederhana
Ø Pengetahuan
tentang dunia halus
Ø Ilmu
tentang kenabian dan fenomena kewalian, ilmu tentang mimpi.
Ø Teurgi.
Ilmu ini menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pandangan Alquran,
ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk–makhluk
lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan
Ilmu menurut Islam
dibagi kepada 2 macam, yaitu:
3. Ilmu
Ladunni
4. Ilmu
kasybi
Menurut M. Iqbal sumber
ilmu adalah afaq (world), anfus (diri atau ego) dan sejarah.
Menurut
Islam, Ilmu datang dari Allah Tuhan Semesta Alam, dan diperoleh melalui
sejumlah saluran yaitu:
Ø Berita
yang benar dan bersumber dari otoritas (al-khabar
ash-shadiq), di dalamnya adalah Al-quran dan Sunnah.
Ø Panca
Indera (al-hiss al-mushtarak) yang sehat
Ø Akal
yang sehat
Ø Intuisi
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Al-Attas,
Islam and The Philosophy of Science dalam
Prolegomena to The
Metaphysics of Islam
Danusiri,
Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal,
cet. 1 Yogyakarta: Pustaka Pelaja
Offset, 1996.
Fakri, Majid, Sejarah
Filsafat Islam, Sebuah Peta
Kronologis, trj, Zainul Am, Bandung:
Mizan, 2001.
Franz,
Rosenthal, Knowledge Triumphant The
Concept of Knowledge in Medieval Islam.
Brill.
Iqbal,
Muhammad, Recontruction of Relegius
though in Islam, New Delhi: Laras Tahura,
1981.
Mahmud,
Mustafa, Al-Einstein wa al-nisbiyyat,
trj. Rusdi Malik, Einstein dan Relativision, Jakarta: Al-hidayah,
1980.
M.
Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif
Pemikiran Islam, cet 1, Jakarta: Katalog
Dalam Terbitan 2006.
Qamal,
Mujamir, Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2005
Shihab,
M. Quraish, Wawasan Al-quran, cet. 1,
Mizan, 1996.
.
[1]
Mujamir Qamal,
Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Erlangga, 2005), hal. 107
[2]
Ibid, hal. 108
[3]
M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-quran,
cet. 1, (Mizan, 1996), hal. 434-435
[5]
Rosenthal, Franz. Knowledge
Triumphant The Concept of Knowledge in Medieval Islam. Brill. pp. 19.
[6]
M. Quraish Shihab, Wawasan. . ., hal. 435
[7]
Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal, cet. 1
(Yogyakarta: Pustaka Pelaja Offset, 1996), hal. 43
[8] Mustafa Mahmud, Al-Einstein wa al-nisbiyyat, trj. Rusdi
Malik, Einstein dan Relativision,
(Jakarta: Al-hidayah, 1980), hal. 34
[11] Muhammad Iqbal, Recontruction of Relegius though in Islam, (New
Delhi: Laras Tahura, 1981), hal. 15
[12] Majid Fakri, Sejarah Filsafat Islam, Sebuah Peta
Kronologis, trj, Zainul Am, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 31
[13]
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif
Pemikiran Islam, cet 1, (Jakarta: Katalog Dalam Terbitan.2006), hal.
[14] Prof. Al-Attas Islam and The Philosophy of Science dalam Prolegomena
to The Metaphysics of Islam pp. 111-142.
[15]
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif. . ., hal.