Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat
Nabi SAW yang terkenal dengan julukan Turjumaanul qur’an ( orang yang
paling ahli dalam menerjemahkan Al Qur’an ) dan sangat telaten dalam
menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus
didoakan Rasulullah SAW, maka pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal
Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya oleh
para Tabi’in (generasi sesudah para Sahabat) mengenai apa yang dimaksud
dengan kebahagiaan dunia. Ibnu Abbas menjawab bahwa ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Memiliki jiwa syukur berarti selalu
menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang
berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat
bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur
sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang
diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.
Bila sedang menghadapi kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah
SAW yaitu : “Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih
sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan
memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan
kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus
bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih
besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Kedua. Al azwaju Ash shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.
Pasangan hidup yang sholeh akan
menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat
kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta
pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan.
Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh,
yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi
muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholehan, akan
memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani
suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah
menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholehan.
Ketiga, al auladu al abrar, yaitu anak yang baik.
Saat Rasulullah SAW lagi thawaf.
Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya
lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak
muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah,
saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya
sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya
melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat,
atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”.
Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk
kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua
?” Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah
ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku
ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah
kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua
kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh,
dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.
Keempat, albaitatush sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.
Yang dimaksud dengan lingkungan yang
kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya
sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai
tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah
menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh.
Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan
mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang sholeh adalah
orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam
yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut
akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya. Berbahagialah
orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.
Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma dalam Islam mengenai harta
bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak
menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab
sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang
berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW,
“Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat
secara haram,
bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya
halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal
juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih,
suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka
berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan
hartanya.
Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar,
maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai
sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya. Allah menjanjikan nikmat bagi
umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada
agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta
inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama
akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu
dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang
yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.
Ketujuh, yaitu Al Umru Al Mubaarok atau umur yang barokah.
Umur yang baroqah itu artinya umur yang
semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal
ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata,
maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan)
tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya
(post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana
caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan
terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa
bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan
orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk
akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk
bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan
dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan
dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan
berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup”
orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang
umurnya barokah.
Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.
Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan
Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha
keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT
dengan sesering dan se-khusyu’ mungkin membaca doa ‘sapu jagat’ , yaitu
doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama
doa tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanah” (yang artinya “Ya
Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia “), mempunyai makna bahwa kita
sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang
disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup
yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh,
harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang
baroqah.
Walaupun kita akui sulit mendapatkan
ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita
mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.
Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu
jagat tersebut yaitu “wa fil aakhirati hasanaw” (yang artinya “dan juga
kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah.
Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah.
Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga
bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.
Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa
dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga.
Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita
tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.
Kata Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian
lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat
bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah
SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali
bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”. Nabi SAW kembali
menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan
Allah semata”.
Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub
kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan
rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah
(Insya Allah, Amiin).
sumber :http://tanbihun.com