BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kehidupan dalam
bermasyarakat memang penting, apalagi manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh
sebab itu manusia saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, atau
disebut juga dengan bermuamalah. Memang telah kita ketahui, manusia adalah
makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan muamalah. Namun tidak semua
masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-peraturan dalam bermuamalah,
misalnya dalam kasus jual beli.
Islam melihat konsep
jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa
dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas
ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus dijadikan sebagai
tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka
sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi
khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi.
Tidak sedikit kaum
muslimin yang mengabaikan dalam mempelajari muamalat, melalaikan aspek ini
sehingga tidak mempedulikan lagi, apakah barang itu halal atau haram menurut
syariat Islam.
B. Rumusan
masalah
1. Apa
pengertian dan hukum jual beli?
2. Apa
saja rukun dan syarat jul beli?
3. Apa
saja macam jual beli?
C. Tujuan
penulisan
1. Mengetahui
pengertian dan hukum jual beli.
2. Mengetahui
rukun dan syarat jual beli.
3. Mengetahui
macam-macam jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian jual beli
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti
al-ba’i, al-tijarah dan al-mubadalah’ sebagaimana Allah SWT berfirman:
¨cqã_öt Zot»pgÏB `©9 uqç7s?
. . . mereka
itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (Fathir:
29).
Menurut istilah (terminologi), para ulama’ berbeda
pendapat dalam mendefinisikannya, antara Lain:
1.
Menurut ulama’ Hanafiyah:
“Jual beli
adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan)”.
2.
Menurut Imam Nawawi:
“Jual beli
adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”.
3.
Menurut Ibnu Qudamah:
“Jual beli ialah
pertukaran harta dengan harta untuk menjadikannya milik”.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa
inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara
sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak
lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan
syara’ dan disepakati.[1]
Peraturan atau hukum jual beli dalam Islam ditetapkan
sebagai berikut:[2]
1)
Dibenarkan jual beli yang tidak
berbentuk riba
2)
Dalam jual beli perlu ada ijab-qabul
(tanda-terima) yang diucapkan dengan lisan/perkataan, dan dibolehkan dalam hati
masing-masing.
3)
Dilarang memperjual belikan
darah,bangkai, hasil curian, waqaf, milik umum, minuman keras, babi, barang
yang tidak ada harganya, dan barang yang tidak ada pemiliknya.
4)
Akad jual beli harus dilaksanakan dalam
suatu majelis, dapat diterima (taslim) dan dapat dipegang (qabath).
5)
Dalam jual beli tersebut harus
dilaksanakan oleh orang yang berakal sedangkan pada anak kecil dibenarkan untuk benda-benda yang tidak bernilai tinggi
6)
Jika barang tersebut ditimbang atau
diukur maka timbangan atau ukurannya harus tertentu dan diketahui.
7)
Larangan menawar tawaran orang lain atau
menjual suatu yang telah dibeli orang lain.
8)
Larangan menimbun barang pada saat
masyarakat bayak memerlukan barang tersebut.
9)
Larangan jual beli ke arah yang
bermaksiat kepada Tuhan misalnya menjual patung untuk disembah.
10) Larangan
jual beli yang berunsur kepada peniuan, atau paksaan.
11) Dalam
jual beli harus terlihat jelas bendanya tetapi dibolehkan dengan melihat contoh
barangnya seperti pesanan buku-buku.
B.
Rukun dan syarat jual beli
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan
dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum
Islam). Diantaranya:[3]
1)
Orang yang melaksanakan akad jual beli
(penjual dan pembeli)
Syarat-syarat yang harus dimiliki
penjual dan pembeli adalah:
a)
Berakal
b)
Baligh
c)
Kehendak sendiri
d)
Tidak mubadzir (pemboros)
2)
Uang dan benda yang dibeli
a)
Suci
b)
Ada manfaatnya
c)
Barang itu dapat diserahkan
d)
Barang tersebut merupakan kepunyaan si
penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.
e)
Barang tersebut diketahui oleh si
penjual dan si pembeli
3)
Sighat atau ucapan ijab Kabul
Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama
dalam jual beli adalahkerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu
beradadalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan Ijab (dari pihakpenjual)
dan kabul (dari pihak pembeli). Adapun syarat-syarat Ijab kabul adalah :
a)
Orang yang mengucap ijab kabul telah
akil baliqh.
b)
Kabul harus sesuai dengan ijab.
c)
Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu
majlis.
C.
Macam-Macam Jual Beli
Selagi manusia masih hidup dan bermasyarakat serta
masih berhubungan dengan orang lain akan selalu mengadakan transaksi jual beli
dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya. Seiring dengan kebutuhan manusia
yang bermacam-macam, baik kecil maupun besar, bersifat rutin maupun insidental,
maka jual beli juga bermacam-macam:
1.
Jual beli dilihat dari segi sifatnya:
a)
Jual beli yang sah
Yaitu jual beli yang dibenarkan oleh
syara’ dan telah memenuhi segala rukun dan syaratnya, baik dengan orang yang
mengadakan transaksi, objek transaksi serta ijab dan qabul.
b)
Jual beli yang batal
Yaitu jual beli yang seluruh atau salah
satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli yang menurut asalnya
tidak dibenarkan oleh syara’, seperti transaksi jual beli yang dilakukan oleh
orang gila, anak kecil atau jual beli barang haram. Termasuk jual beli yang
batal ini, antara lain:
1)
Jual beli yang tidak ada pada penjual
2)
Memperjual belikan suatu barang yang
tidak dapat diserah terimakan dari penjual kepada pembeli
3)
Menjual benda-benda yang hilang, seperti
lepas dari peliharaan
4)
Jual beli yang mengandung unsur penipuan
5)
Jual beli benda najis, seperti jual beli
babi, khamr, bangkai, anjing, dan sebagainya.
6)
Jual beli yang menjadi milik umum,
seperti air sungai, danau, dan laut.
c)
Jual beli yang fasid
Ulama Hanafiyah membedakan arti jual beli
yang fasid dan jual beli yang batal. Apabila dalam jual beli tersebut terkait
dengan barang yang diperjualbelikan, maka hukumnya batal, seperti jual beli
barang-barang yang haram diperjualbelikan. Tetapi jika kerusakan tersebut
terkait dengan harga barang dan bisa diperbaiki maka hukumnya jual beli fasid.[4]
Di samping beberapa bentuk jual beli yang telah disebut
di atas terdapat juga pembagian jual beli yang lain, yaitu:
a)
Jual beli yang tidak sah tetapi
dilarang, yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh syariat Islam karena ada
alasan-alasan tertentu seperti:
1) Menyakiti
kepada salah satu atau orang lain yang terlibat dalam jual beli tertentu.
2) Menyempitkan
gerakan pasaran.
3) Merusak
ketentraman umum.
b)
Jual beli yang sah tapi dilarang, antara
lain:
1) Membeli
barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar, padahal si pembeli tidak
menginginkan barang tersebut, tetapi semata-mata bertujuan supaya orang lain
tidak membeli barang tersebut.
2) Membeli
barang yang sudah dibeli oleh orang lain atau sudah ditawar oleh orang lain
yang masih dalam masa khiyar.
3) Membeli
barang dari orang yang datang dari luar kota sebelum sampai di pasar dan belum
mengetahui harga yang ada di pasar.
4) Membeli
barang untuk ditahan dan dijual kembali pada saat-saat tertentu dengan harga
yang lebih mahal, padahal masyarakat umum berhajat terhadap barang tersebut.
5) Jual
beli dengan mengicuh atau menipu baik dari pihak penjual maupun si pembeli.
2.
Jual beli dilihat dari segi harganya:
1) Jual
beli musawamah, yaitu menjual sesuatu
dengan jalan tawar menawar.
2) Jual
beli tauliyah, yaitu menjual dengan
harga modal artinya harga jual dan harga beli sama.
3) Jual
beli murabahah, yaitu jual beli yang
dilakukan dengan mencari laba yang diketahui.
4) Jual
beli wadi’ah, yaitu jual beli barang
yang harga jualnya lebih rendah dibandingkan dengan harga
pembelian barang
tersebut.
D.
Khiar dalam Jual Beli
Dalam jual beli, menurut agama Islam diperbolehkan
memilih dalam jual beli, apakah memilih untuk meneruskan membeli atau akan
membetalkannya. Hal itu dapat terjadi jika disebabkan oleh sesuatu hal. Khiar
dibagi dalam 3 macam berikut:[5]
1)
Khiar Majelis, artinya antara penjual
dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya selama
keduanya masih berada dalam satu tempat (majelis), khiar ini boleh dilakukan
dalam berbagai jual beli. Rasulullah Saw bersabda:
“Penjual
dan pembeli boleh khiar selama belum berpisah”
(HR. Bukhari dan
Muslim)
2)
Khiar Syarat, yaitu penjualan yang di
dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual ataupun oleh pembeli, seperti
seseorang berkata, “saya jual rumah ini dengan haraga 100.000.000,00 dengan
syarat khiar (selama 3 hari)”. Rasulullah Saw bersabda :
“Kamu
boleh khiar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam”
(HR. Baihaqi)
3)
Khiar ‘Aib, yaitu jual beli yang
disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli, seperti seseorang berkata;
“saya beli mobil itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya
kembalikan”.
E.
Berselisih dalam Jual Beli
Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya
berlaku jujur, terus terang dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan
berdusta dan jangan bersumpah dusta, sebab sumpah dan dusta menghilangkan
berkah jual beli. Rasulullah Saw bersabda:[6]
“Bersumpah
dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah”
(H.R. Bukhari Muslim)
Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat
dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata
ang punya barang, bila diantara keduanya tak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah
Saw bersabda:
“Apabila
penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang
dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalakan.”
(HR. Abu Dawud).
F.
Badan Perantara
Badan perantara (simsar) yaitu seseorang yang
menjualkan barang orang lain atas dasar bahawa seseorang itu akan diberi upah
oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya. Dalam satu keterangan
dijelaskan:
“Dari Ibnu Abbas r.a., dalam
perkara simsar ia berkata tidak apa-apa, kalau seorang berkata juallah kain ini
dengan harga sekian, lebih dari penjualan harga itu adalah untuk engkau” (Riwayat
Bukhari).
Berdagang secara simsar
diperbolehkan berdasarkan agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi
penipuan dari yang satu terhadap yang lain.
G.
Lelang (Muzayadah)
Penjualan dengan cara lelang (muzayadah) diperbolehkan
dalam islam, sesuai dengan yang dijelaskan dalam satu keterangan: [7]
“Dari
Anas r.a., ia berkata, Rasulullah Saw menjual sebuah pelana dan sebuah mangkuk
air, dengan berkata : ‘Siapa yang mau membeli pelana dan mangkuk air ini?’
seorang lelaki menyahut: ‘Aku bersedia membelinya seharga satu dirham’ lalu
nabi berkata lagi : ‘Siapa yang berani menambahi?’ maka dibeli dua dirham oleh
seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada
laki-laki tadi.”(Riwayat Tirmiddzi)
H.
Penjualan Tanah
Apabila seseorang menjual sebidang tanah atau lapangan,
sedangkan di dalamnya terdapat pohon, rumah, dan lainnya, menurut madzhab
Syafi’i semua bangunan dan pohon-pohonan yang berada di dalanya turut terjual,
tetapi tidak termasuk di dalamnya barang-barang yang dapat diambil sekaligus,
seperti padi, jagung, bawang, dan benih serta tanamannya, kalau menjual tanah
itu tidak dipisahkan dari penjualan benih dan tanaman itu, maka penjualan itu
batal karena tidak jelas, apakah hanya tanah atau dengan tanaman dan
biji-bijian.
Yang termasuk dalam
penjualan sebidang tanah adalah:
1) Batu
yang ada di dalamnya;
2) Barang
– barang yang terpendam di dalamnya, seperti simpanan barang-barang berharga.
Adapun menjual sebidang
kebun, yang termasuk di dalamnya adalah:
1) Pohon-pohonannya;
2) Bangunan-bangunnya
yang ada di dalamnya, kecuali barang-barang yang dikecualikan dalam akad dan
disepakati dua belah pihak;
3) Pekarangan
yang melingkari;
4) Tanahnya.
Bila menjual rumah, di
dalamnya ialah :
1) Tanah
tempat mendirikan;
2) Apa
yang ada dalam pekarangannya.
Bila menjual seekor
binatang, maka yang termasuk di dalamnya adalah:
1) Sandal/Sepatunya;
2) Pelananya.
Bila yang dijual itu pohon-pohon
yang sedang berbuah, buahnya adalah milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan
agar buahnya untuk dia.
I.
Buah-Buahan yang Rusak Setelah Dijual
Buah-buahan
yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka
kerusakan itu tanggungan penjual, bukan tanggungan pembeli, seperti yang
disebutkan dalam sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim:
“Jika
engkau telah menjaul buah-buahan kepada saudaramu, lalu buah-buahan itu rusak
(busuk), maka haram bagimu mengambil sesuatu darinya, apakah kamu mau mengambil
harta saudaramu dengan tidak hak”(Riwayat Muslim).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. jual
beli ialah suatu perjanjian tukar menukar
benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua
belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
2. Apabila
antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual
belikan, maka yang dibenarkan adalah kata-kata ang punya barang, bila diantara
keduanya tak ada saksi dan bukti lainnya.
3. Badan
perantara (simsar) yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar
bahawa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan
usahanya.
4. Penjualan
dengan cara lelang (muzayadah) diperbolehkan dalam islam.
5. Buah-buahan
yang sudah dijual kemudian rusak atau hilang dan yang lain-lainnya, maka
kerusakan itu tanggungan penjual
6. Khiar
ada tiga macam :
a.
Majelis
b.
Khiar Syarat
c.
Khiar ‘Aibi
B.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan tentang perdagangan atau jual beli, kami menyadari bahwa makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan demi
kesumpurnaan makalah ini.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, cet. ke-1 Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000.
http://pasar-islam.blogspot.com/2011/04/fiqih-muamalah-bab-3-murabahah-jual.html
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, cet. 2,
Jakarata: Rineka Cipta, 2001.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
.
[1] Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 68-69.
[2]
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, cet. 2, (Jakarata:
Rineka Cipta, 2001), hal. 392-393.
[3]
http://pasar-islam.blogspot.com/2011/04/fiqih-muamalah-bab-3-murabahah-jual.html
[4]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet. ke-1 (Jakarta: Gaya
Media Pramana, 2000), hal. 120-125.
[5]
Hendi suhendi, Fiqh Muamalah. . ., hal. 83-84.
[6] Ibid, hal. 84
No comments:
Post a Comment