google-site-verification: google8cc9d88fb7df7b42.html KESEMPURNAAN: KEDUDUKAN DAN FUNGSI HARTA

Wednesday 22 October 2014

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HARTA

I.            PENDAHULUAN
Al-Qur’an memandang harta sebagai sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Khaliq-Nya, bukan tujuan utama yang dicari dalam kehidupan. Dengan keberadaan harta, manusia diharapkan memiliki sikap derma yang memperkokoh sifat kemanusiannya. Jika sikap derma ini berkembang, maka akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia, baik di sisi Tuhan maupun terhadap sesama manusia.
Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86 kali. Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perhatian khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam.
Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan harta sebagai sesuatu yang lazim, dan urgen. Harta diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan manusia untuk memenuhi hajat hidupnya, baik bersifat materi maupun non materi. Manusia berusaha sesuai dengan naluri dan kecenderungan untuk mendapatkan harta.
Oleh kerena itu, dalam makalah ini kami akan mencoba membahas tentang kedudukan dan fungsi harta.


II.            PEMBAHASAN
A.           Surah Al-Maidah ayat: 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ  
Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat di atas menjelaskan bahwa pencuri laki-laki maupun perempuan hendaklah dihukum dengan memotong tangannya, sebagai balasan kejahatan yangdibuatnya, yaitu dipotong telapak tangannya, bila ia mencuri seharga ¼ dinar (1 gram emas) atau lebih, dengan adasaksi 2 orang laki-laki yang adil atau dengan mengakuinya sendiri[1]
Orang yang mencuri itu dapat dibebaskan dari hukuman dengan mendapat maaf sebelum diadukan kepada hakim kata setengah ulama, meskipun sesudah diadukan. tetapi hanya bebas dari hukuman potong tangan dan tiada bebas dari hak (barang) yang dicurinya. sebab itu wajib digantinya dengan membayarnya kepada yang mempunyainya.
Uman bin Khatab melarang memotong tangan pencuri waktu zaman kelaparan (paceklik) kerana mengingat kemaslahatan.

B.                 Tafsiran ayat
- pencuri laki-laki dan pencuri perempuan (äèps%Í$¡¡9$#ur-Í$¡¡9$#ur) yang diterangkan Allah dalam ayat ini adalah berbeda dengan pernyataan pada hukum-hukum yang lalu. kalau biasanya dalam menyebutkan sesuatu hukum Allah SWT mengemukakan tujuan perkataan (khithab) kepada laki-laki saja karena dalam khithab kepada laki-laki itu telah termasuk juga  perempuan.[2] dengan memperhatikan kedua ayat ini ternyata, pencurian itu terbagi dua yaitu, pencurian besar dan pencurian kecil. jika pencurian besar telah diterangkan hukumannya yaitu hukuman mati, di salib, dipotong kaki-tangan atau di asingkan, maka hukuman pencurian kecil itu terbagi dua yaitu, hukuman hadd dan hukuman ta’zir.
-          Potonglah tangan keduanya ($yJßgtƒÏ÷ƒr& #þqãèsÜø%$$sù)
Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan sampai dimana bagian tangan yang dipotong, tetapi dengan memperhatikan ayat wudhu’ yang artinya “tangan mu sampai kesiku” maka dapatlah dipahamkan bahawa siku itu tidak termasuk tangan. Dalam masalah ini Jumhur Ulama telah sepakat bahwa tangan pencuri yang dipotong adalah hanya bagian pergelangannya saja dan bukan seluruh tangannya. Mereka dalam banyak kitab menuliskan bahwa batas yang dipotong adalah sebatas : (كوع / رِسغ / مفصل الزند). Kesemuanya berarti adalah pergelangan tangan.
C.     Penjelasan Topik
            Dalam memberikan definisi tentang pencurian kecil berbeda pula pendapat para ulama, yaitu:[3]
a.       Mengambil harta orang lain dengan sembunyi, yaitu harta yang cukup terpelihara menurut kebiasaannya, dengan beberapa syarat.
b.      Mengambil harta orang lain dengan sembunyi dengan jalan menganiaya, dengan beberapa syarat.
c.       Mengambil harta orang lain dengan sembunyi, bukan harta yang diamanatkan kepadanya.
d.      dan adapula keterangan-keterangan fuqaha yang hampir sama maksudnya dengan ini, tetapi disesuaikan dengan tujuan kaidah dari masing-masing mazhab.
Dengan memperhatikan defenisi pencurian kecil ini adalah, mengambil barang orang lain dengan jalan sembunyi dan pengambilan itu tidak dengan jalan syubhat, sedang harta yang dicurinya itu cukup terpelihara dengan baik menurut kebiasaan, maka hukuman terhadap si pencuri itu terbagi dua yaitu, hukuman hadd, yakni potong tangan dan hukuman takzir, yaitu hukuman penjara, dera dan sebagainya menurut keputusan hakim.
Adapun harta yang dicuri ada pula syarat-syaratnya yaitu,:
a.       Mencapai nishab
Nishab adalah nilai harga minimal yang bila terpenuhi, maka pencurian itu mewajibkan dilaksanakannya potong tangan. Seandainya barang yang dicuri itu nilainya kecil dan masih di bawah harga nisahb itu, maka tidak termasuk hal itu.
Namun para ulama tidak secara tepat menyepakati besarnya nishab itu: Jumhur ulama diantaranya Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa nishab pencurian itu adalah ¼ dinar emas atau 3 dirham perak. Nilai ini setara dengan harga 4,45 gram emas murni. Jadi bila harga emas murni 24 per gramnya Rp. 100.000,-, maka satu nisab itu adalah Rp. 100.000,- x 4,45 gram = Rp. 445.000,-.
Bila benda yang dicuri oleh seseorang harganya setara atau lebih dari Rp. 445.000,-, dia sudah bisa dipotong tangannya.
Sedangkan Al-Hanafiyah menetapkan bahwa nishab pencurian itu adalah 1 dinar atau 10 dirham atau yang senilai dengan keduanya.
Bila kita cermati latar belakang perbedaan itu sebenarnya hanyalah berkisar pada penetapan harga mijan. Dimana jumhur ulama sepakat bahwa harganya saat itu ¼ dinar. Sedangkan Al-Hanafiyah menganggap harganya saat itu 1 dinar.
b.      Barang yang Dicuri Berada Dalam Penjagaan
Yang dimaksud penjagaan adalah bahwa harta yang dicuri itu diletakkan di tempat penyimpanannya oleh pemiliknya. Dalam hal ini bisa dibagi menjadi dua kategori, yaitu yang tempat yang sengaja dibuat untuk menempatkan suatu barang dan juga yang secara hukum bisa dianggap sebagai penjagaan.
Yang pertama, tempat penyimpanan itu bisa di dalam rumah, pagar, kotak, laci, atau lemari. Sebagai contoh bila seseorang meletakkan barangnya di dalam rumahnya, maka rumah itu menjadi media penyimpanan meski pintunya terbuka. Karena seseorang tidak boleh memasuki rumah orang lain tanpa izin meski pintunya terbuka.
Yang kedua, memang bukan media penyimpanan khusus namun termasuk area umum dimana seseorang berada disitu dan orang lain tidak boleh menguasainya kecuali atas izinnya. Contohnya adalah seseorang yang duduk di masjid dan meletakkan tasnya di sampingnya saat tidur. Ini termasuk dalam penjagaan.
Pencopet termasuk yang wajib dipotong tangannya karena mengambil dari saku orang lain. Sedangkan saku seseorang termasuk kategori penjagaan.
Sedangkan hukum Nabbasy (pencuri kian kafan mayat dalam kubur) menurut Imam Abu Hanifah tidak termasuk yang wajib dipotong tangannya karena kuburan tidak termasuk meida penjagaan harta. Sedangkan menurut Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyah, Al-Hanabilah dan Abu Yusuf tetap harus dipotong karena kuburan termasuk media penjagaan.
c.       Barang yang awet dan bisa disimpan (tidak lekas rusak)
Imam Abu Hanifah dan Muhammad mengatakan bila barang yang dicuri mudah rusak seperti buah-buahan, susu murni atau makanan basah. Karena bisa saja seseorang mengambilnya dengan niat menyelamat-kannya dan siap untuk menggantinya.
d.      Barang yang dicuri yang bisa diambil oleh siapapun
Menurut Al-Hanafiyah, bila suatu benda ada dimana-mana dan tidak dimiliki secara khusus oleh orang, maka tidak bisa dikatakan pencurian bila diambil oleh seseorang. Seperti burung liar, kayu, kayu bakar, bambu, rumput, ikan, tanah dan lain-lain. Mengingat benda-benda seperti itu terhampar dimana-mana dan tidak merupakan hak perorangan. Bila ada seseorang mengambil kayu yang jatuh dari ranting pohon yang sudah tua di dalam sebuah hutan, tentu tidak dianggap pencurian.
Namun akan berbeda halnya bila kayu yang diambilnya adalah gelondongan kayu jati sebanyak 1 juta meter kubik. Karena ini bernilai tinggi dan tentu dilindungi oleh negara. Namun hukum dasarnya memang halal karena benda itu tidak dimiliki oleh perorangan. Tetapi ketika terjadi ekploitasi besar-besaran dan mengganggu ekosistem serta keseimbangannya, maka tentu dibuat aturan yang bijak.
Dimasa sekarang ini hampir sulit menemukan benda seperti yang dimaksud oleh Al-Hanafiyah. Karena semuanya sekarang punya nilai jual tersendiri. Karena itu nampak pendapat jumhur dalam hal ini lebih kuat karena memang tidak membedakan apakah harta itu tersedia dimana-mana tanpa pemilik atau tidak. Karena semua memiliki nilai jual dan pada dasarnya harus digunakan demi kepentingan rakyat secara umum yang dikoordinir oleh negara. Ini menurut ukuran idealnya, karena negaralah yang seharusnya memanfaatkan semua kekayaan alam dan demi kentingan merata rakyat banyak.
Adapun yang dilakukan oknum pemerintahan bekerjasa sama dengan perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam, tidak lebih dari penjahat yang memakan harta rakyat secara zalim.
e.       Dalam harta yang dicuri tidak ada bagian hak pencuri
Bila seorang mencuri harta dari seorang yang berhutang kepadanya dan tidak dibayar-bayar, maka ini tidak termasuk pencurian yang mewajibkan potong tangan. Begitu juga bila seseorang mencuri harta atasannya yang pelit dan tidak membayar gaji bawahannya sesuai dengan haknya. Atau seorang yang mencuri harta orang kaya yang zalim dan memakan uang rakyat yang lemah. Termasuk juga bila seseorang mengambil harta dari seorang maling atau perampok.
Bahkan para ulama juga menuliskan bahwa mencuri alat-alat yang haram hukumnya seperti alat musik gendang, gitar, seruling atau kayu salib, catur, dadu dan sejenisnya termasuk di luar kategori pencurian yang dimaksud. Karena secara umum, barang-barang itu tidak boleh dimiliki oleh seorang muslim. Sehingga itu mencurinya pun bukan termasuk mencuri harta seseorang.
Seorang yang mencuri harta dari baitul mal pun tidak termasuk kategori pencurian yang dimaksud. Karena baitul mal adalah harta bersama dimana di dalamnya ada juga hak si pencuri sebagai rakyat meski kecil bagiannya. Namun bila si pencuri itu termasuk orang kaya atau non muslim, maka termasuk pencurian dan wajib dipotong tangannya. Karena orang kaya dan non muslim, keduanya buka ntermasuk orang yang berhak mendapatkan harta dari baitul mal.
Semua kasus di atas tidak mewajibkan potong tangan karena pada dasarnya potong tangan itu merupakan ibadah mahdhah dan merupakan hukuman yang berisifat lengkap. Sedangkan kasus-kasus di atas tidak sepenuhnya bermakna pencurian, tapi ada syubhat karena di dalam harta itu sebagian ada yang menjadi haknya.
f.       Tidak ada izin untuk menggunakannya
Seseorang yang mengambil harta yang bukan miliknya namun dia sendiri memiliki wewenang untuk masuk ke tempat penyimpanannya, maka ketika dia mengambilnya tidak termasuk pencurian yang dimaksud. Karena unsur mengambil dari penjagaannya tidak berlaku. Hal itu disebabkan si pencuri adalah orang yang punya izin dan hak untuk ke luar masuk ke dalam tempat penjagaan.
Contoh kasusnya bila seorang suami mengambil uang istrinya yang disimpan di dalam rumah. Suami adalah penghuni rumah dan punya akses masuk ke dalam rumah itu. Bila dia mengambil harta yang ada dalam rumah itu, maka bukan termasuk pencurian yang mewajibkan potong tangan.
Hal yang sama berlaku bagi sesama penghuni rumah seperti pembantu dan siapapun yang memang menjadi penghuni rumah itu secara bersama. Termasuk tamu yang memang diizinkan tinggal di dalam rumah.
g.      Barang itu sengaja dicuri
Bila seseorang mencuri suatu benda namun setelah itu di dapatinya pada benda itu barang lainnya yang berharga, maka dia tidak bisa dihuum karena adanya barang lain itu.
Contoh : bila seseorang berniat mencuri kucing tapi ternyata kucing itu berkalungkan emas atau berlian yang harganya mahal, maka dia tidak bisa dikatakan mencuri emas atau berlian itu atau mencuri anak kecil lalu ternyata anak kecil itu memakai giwang emas.
Namun yang jadi masalah, bagaimana hakim bisa membedakan motivasi pencuri dalam mengambil barang.







[1] Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim 30 Juzu, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1957), hal. 154
[2] Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, cet.1 (Kencana: Prenada Media Group, 2006), hal. 374.
[3] Ibid. . . 375