google-site-verification: google8cc9d88fb7df7b42.html KESEMPURNAAN: RUANG LINGKUP PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Saturday, 16 November 2013

RUANG LINGKUP PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM


A.    PENDAHULUAN
       Kebanyakan negara-negara di dunia pada umumnya saat ini dikuasai oleh perekonomian Barat, tidak terkecuali negara-negara Islam sendiri. Negara-negara Barat dengan kemajuan ekonominya disebut sebagai negara maju (developed) sedangkan negara-negara Islam dianggap sebagai negara terbelakang (underdeveloped).
       Dalam kondisi seperti itu negara-negara Barat yang unggul secara ekonomi telah berhasil meyakinkan negara-negara Islam untuk menganut sistem ekonomi Barat sebagai sistem ekonomi modern untuk diterapkan dan diikuti dengan alasan penyelamatan dari keterbelakangan ekonomi. Sistem ekonomi Barat yang banyak dipakai di dunia Islam kebanyakan adalah Sistem Liberalis yang didasarkan pada kapitalisme dan Sistem Komunis yang didasarkan pada sosialisme.
       Prinsip-prinsip dan aturan dalam suatu sistem ekonomi akan menyangkut masalah hubungan sosial, legal, dan kerangka perilaku para pihak yang terlibat sistem ekonomi tersebut. Pertama, hal ini minimal menyangkut kepemilikan faktor-faktor produksi yaitu siapakah yang memiliki atau menguasai faktor-faktor produksi tersebut. Kedua menyangkut distribusi yaitu bagaimana akses terhadap transaksi atau pasar diatur. Ketiganya adalah menyangkut konsumsi yaitu bagaimana konsumsi terhadap barang atau jasa diatur/dibatasi.
            Dalam sistem ekonomi kapitalis, faktor produksi dikuasai secara mutlak oleh individu-individu sedang kepemilikan pemerintah terbatas. Akses terhadap pasar berlangsung secara bebas, artinya siapa yang kuat di pasar dapat menguasai pasar. Konsumsi juga tidak ada aturan atau batasan, dimana kepemilikan mutlak juga mendorong konsumsi yang tiada batas. [1]
       Dalam sistem ekonomi sosialis, kepemilikan faktor produksi dimiliki secara bersama oleh kaum proletarian yang terwakili oleh kepemimpinan yang umumnya diktator. Kepemimpinan tersebut yang menentukan apa yang harus diproduksi, kapan, dan berapa banyak. Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam, pelaku ekonomi hanyalah seorang wakil yaitu wakil atau khalifah Allah di muka bumi. Hak terhadap faktor produksi terbatas pada hak untuk menggunakannya dan bukan hak kepemilikan mutlak. Hal ini terkait langsung dengan pertanggungjawaban atas penggunaan faktor produksi tersebut terhadap pemilik sesungguhnya yaitu Allah. Selain itu, hak ini pun dibatasi waktunya yaitu sebatas umur kita. Itulah sebabnya dalam Islam juga diatur hukum waris yang sangat adil. Akses terhadap pasar terbuka bebas tetapi diatur dengan sistem yang adil. Tidak ada satu pihak pun yang boleh mengambil hak akses pasar ini dengan kekuatan atau kekuasaannya. Konsumsi juga dibatasi pada kebutuhan yang wajar, tidak berlebihan atau boros, dan tidak pula kikir.   
       Dengan demikian, dalam makalah ini kami akan mencoba membahas tentang ruang lingkup pemikiran ekonomi islam mengenai teori, institusi dan relitas ekonomi.

B.     PEMBAHASAN
1.      Teori Produksi
Sadr mengklasifikasi dua aspek yang mendasari terjadinya aktivitas produksi. Pertama adalah aspek obyektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan sisi teknis dan ekonomis yang terdiri atas sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang diolah dan kerja yang dilakukan dalam aktivitas produksi. Aspek ini berusaha untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai what, how, dan whom (The three fundamental economic problem).  Yang kedua yaitu aspek subyektif. Terdiri atas motif psikologis, tujuan yang hendak dicapai lewat aktifitas produksi, dan evaluasi aktivitas produksi menurut konsepsi keadilan yang dianut.[2]
Selain itu menurut Sadr sumber asli produksi terdiri dari tiga kelompok yakni, alam, modal, dan kerja. Adapun sumber alam yang digunakan untuk produksi dibagi menjadi tanah, substansi-substansi primer, dan air.
Dalam ekonomi Islam, produksi mempunyai motif kemahslatan, kebutuhan dan kewajiban. Demikian pula, konsumsi. Perilaku produksi merupakan usaha seseorang atau kelompok untuk melepaskan dirinya dari kefakiran. Menurut Yusuf Qardhawi (1995), secara eksternal perilaku produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan setiap individu sehingga dapat membangun kemandirian ummat. Sedangkan motif perilakunya adalah keutamaan mencari nafkah, menjaga semua sumber daya (flora-fauna dan alam sekitar), dilakukan secara profesional (amanah & itqan) dan berusaha pada sesuatu yang halal. Karena itu dalam sebuah perusahaan misalnya, menurut M.M. Metwally asumsi-asumsi produksi, harus dilakukan untuk barang halal dengan proses produksi dan pasca produksi yang tidak menimbulkan ke-madharatan. Semua orang diberikan kebebasan untuk melakukan usaha produksi.
Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan, pertimbangan perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas produksi.Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusalas arikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada outputyang menjadi permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil masyarakat terabaikan.[3]
Dari sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat mencapai nilai tambah (value added). Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa yang memproduksi?
1.1.       Pengertian Teori Produksi
Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).
Produksi menurut Kahf mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif Islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat[4].
Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda.
1.2.       Tujuan Produksi
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi produsen sendiri dan manusia secara keseluruhan.
Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai Islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan.
Berkah merupakan komponen penting dalam mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output.
2.      Teori Konsumsi
Teori konsumsi lahir karena adanya teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan permintaan akan barang dan jasa timbul karena adanya keinginan (want) dan kebutuhan (need) oleh konsumen riil maupun konsumen potensial. Dalam ekonomi konvensial motor penggerak kegiatan konsumsi adalah adanya keinginan. [5]
Islam berbeda pandangan tentang teori permintaan yang didasar atas keinginan tersebut. Keinginan identik dengan sesuatu yang bersumber dari nafsu. Sedangkan kita ketahui bahwa nafsu manusia mempunyai kecenderungan yang bersifat ambivalen, yaitu dua kecenderungan yang saling bertentangan, kecenderungan yang baik dan kecenderungan yang tidak baik. Oleh karena itu teori permintaan dalam ekonomi Islam didasar atas adanya kebutuhan (need).
Kita harus membedakan secara tegas antara keinginan dan kebutuhan ini. Kebtuhan lahir dari suatu pemikiran atau identifikasi secara objektif atas berbagai sarana yang diperlukan untuk mendapatkan suatu manfaat bagi kehidupan. Kebutuhan dituntun oleh rasionalitas normative dan positif, yaitu rasionalitas ajaran Islam, sehingga bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya. Jadi, seorang muslim berkonsumsi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sehingga memperoleh kemanfaatan yang setinggi-tingginya bagi kehidupannya. Hal ini merupakan dasar dan tujuan dari syariah Islam sendiri, yaitu mashlahat al ibad (kesejahteraan hakiki bagi manusia), dan sekaligus sebagai cara untuk mendapat falah yang maksimum.
Al Shatibi, yang mengutip pendapat Al Ghazali, menyebutkan 5 kebutuhan asar yang sangat bermanfaat bai keidupan manusia, yaitu:
1)      Kebenaran (faith, ad-dien)
2)      Kehidupan (life, an-nas)
3)      Harta material (property, al-mal)
4)      Ilmu pengetahuan (science, al aql, al-‘ilmu)
5)      Kelangsungan keturunan (postery, an-nasl)
Kelima kebutuhan ini semuanya penting untuk mendukung suatu perilaku kehidupan yang Islami, karenya harus diupayakan untuk dipenuhi. Menurut Al Ghazali tujuan utama syariat Islam adalah mendorong kesejahteraan manusia yang terletak kepada perlindungan yang menjamin terlindungnya kelima kebutuhan ini akan memenuhi kepentingan umum dan kehendaki.
Untuk menjaga kontinuitas kehidupan, maka manusia harus memelihara keturunannya (an-nasl/posterity). Meskipun seorang muslim meyakini bahwa horizon waktu kehidupan tidak hanya menyangkup kehidupan dunia melainkan hingga akherat, tetapi kelangsungan kehidupan dunia amatlah penting. Kita harus berorienasi jangka panjang dalam merencanakan kehidupan dunia, tentu saja dengan tetap berfokus kepada kehidupan akhirat. Oleh karenanya, kelangsungan keturunan dan keberlanjutan dari generasi ke generasi harus diperhatikan. Ini merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi eksistensi manusia.
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia, sumberdaya, dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan materil maupun spiritual. Dalam konteks inilah kita dapat berbicara tentang bentuk-bentuk halal dan haram, pelarangan terhadap israf, pelarangan terhadap bermewah-mewahan dan bermegah-megahan, konsumsi sosial, dan aspek – aspek normatif lainnya.[6]
2.1.       Etika Konsumsi Dalam Islam
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti menggunakan barang dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pada konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak di antara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap lisraf dan tidak disenangi Islam.
2.2.       Perilaku Konsumen Muslim
Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.
Teori perilaku konsumen muslim yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.[7]
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim:
1)      Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
2)      Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3)      Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)
Perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Focus dari perilaku konsumen adalah bagaimana individu membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang telah tersedia untuk mengkonsumsi suatu barang.
3.      Institusi Dan Regulator
3.1         Badan Perwakafan Nasional
Wakaf adalah merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang cukup dikenal di Indonesia, namun satu hal yang sangat disayangkan lembaga ini belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberlangsungan bangsa dan negara. Hal ini disebabkan karena wakaf sebagai aset berharga ummat Islam dan sangat potensial, belum dimanfaatkan secara maksimal dan belum menghasilkan secara optimal. Potensi wakaf yang sangat besar tersebut kalaupun telah dikelola sebahagiannya, namun pengelolaan tersebut belum bersifat produktif, sehingga dengan demikian maka jadilah harta-harta wakaf itu dalam bentuk lahan tidur yang tidak dapat menghasilkan secara ekonomis.
Mengingat bahwa wakaf adalah merupakan aset ummat Islam yang sangat potensial sebagaimana halnya zakat dalam pembahasan sebelumnya, maka pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersepakat menetapkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sehingga dengan demikian maka pengelolaan wakaf secara berdayaguna dan berhasil guna telah mendapat pengakuan secara yuridis formal dari Pemerintah Republik Indonesia dan tidak ada lagi alasan untuk tidak melaksanakannya sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam dalam konteks kekinian dan kedisinian kita. [8]
       Undang-Undang Wakaf ini adalah merupakan sebuah penuntun bagi jalannya syariat Islam di Indonesia secara legal dan konstitusional. Oleh karena itu pulalah maka UU ini mengatur berbagai hal penting dalam rangka pengembangan wakaf produktif. Misalnya, benda wakaf yang diatur dalam UU ini bukan hanya dibatasi pada benda tidak bergerak semata, akan tetapi termasuk di dalamnya benda bergerak seperti logam, uang, surat berharga, kenderaan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan.
       Khusus masalah wakaf uang ditegaskan secara rinci dalam UU ini yang menyatakan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ditunjuk menteri. Wakaf uang dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis serta harus dinyatakan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sertifikat wakaf tersebut disampaikan LKS kepada wakif dan nazir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
       Ditetapkannya UU ini adalah merupakan sebuah langkah maju bagi Negara Republik Indonesia yang nota bene penduduknya adalah mayoritas beragama Islam. Sehingga dengan demikian maka hukum Islam di bidang wakaf ini telah menjadi hukum nasional yang wajib dilaksanakan dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat umat Islam.
3.2         Baitul Maal Wat Tamwil
Baitul Maal wat Tamwil adalah merupakan sebuah lembaga negara yang bergerak dalam bidang penampungan harta umat Islam dan negara. Semua dana yang terkumpul apakah itu dari pajak maupun dari yang lainnya, kesemuanya dikumpul pada lembaga yang disebut dengan baitul maal wat tamwil. Baitul maal wat tamwil ini adalah semacam kas negara ataupun Departemen Keuangan pada zaman modern yang bertugas menyimpan dan mengelola keuangan Negara sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada publik secara transfaran dan akuntable.
Baitul maal wat tamwil adalah pertama sekali diprakarsai oleh Rasulullah saw sebagai sebuah lembaga keuangan Negara pada abad ketujuh masehi yang mempunyai tugas yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Status harta pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Meskipun demikian dalam batasan-batasan tertentu, pemimpin negara dan pejabat lainnya menggunakan harta tersebut untuk mencukupi kebutuhan peribadinya. Hal ini tentu berada di luar jalur dan ketentuan yang berlaku.[9]
Pada masa pemerintahan Rasulullah saw, baitul maal bertempat di masjid Nabawi yang ketika itu dipergunakan sebagai kantor pusat negara yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan perbendaharaan negara tidak disimpan di baitul maal sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di lapangan terbuka. Namun harta negara seperti uang dan lain sebagainya yang dapat disimpan, ditempatkan di baitul maal yang adalah merupakan perbendaharaan dan Kas Negara.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw ini adalah merupakan langkah maju sebagai sebuah kelengkapan alat Negara dalam rangka mengelola dan memberdayakan segenap potensi keuangan negara untuk selanjutnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk keperluan rakyat. Ternyata ide cemerlang Rasulullah saw ini adalah merupakan ide pertama yang dilakukan oleh ummat manusia dalam mengelola sebuah institusi kenegaraan. Sekalipun pada saat itu belum disebut sebagai sebuah negara dan pemerintahan, namun ciri-ciri yang ada padanya telah menunjukkan bahwa sesungguhnya negara Madinah itu sudah ada dan sudah maju serta mandiri.
3.3         Bank Syariah
Perbankan syariah adalah merupakan sebuah lembaga keuangan yang berdasarkan hukum Islam yang adalah merupakan sebuah lembaga baru yang amat penting dan strategis peranannya dalam mengatur perekonomian dan mensejahterakan umat Islam. Kehadiran lembaga perbankan bukan hanya dapat mengatur perekonomian masyarakat, akan tetapi kehadirannya dapat juga menghancurkan perekonomian sebuah negara sebagaimana yang dialami bangsa Indonesia decade delapan puluhan dan sembilan puluhan. [10]
Oleh karena itulah maka diperlukan perbankan yang berorientasi syariah sehingga dapat melindungi uang si penanam modal dan juga memberikan keuntungan bagi si peminjam modal. Pada keduanya terjalin hubungan yang sinergis dan saling menguntungkan, serta kesepakatan bersama apabila terjadi kerugian yang tidak diinginkan bersama. Apabila terjadi keuntungan, maka sesungguhnya hal itu mudah diatur, akan tetapi apabila terjadi kerugian ataupun jatuh pailit, maka timbullah percekcokan. Dalam kaitan dengan ini, hukum Islam telah memberikan aturan main yang saling menguntungkan dan tidak saling merugikan.
Bank Islam ataupun Bank Syariah sebagaimana disebutkan oleh Fuad Mohammad Fakhruddin adalah bank dimana kebanyakan pendirinya adalah orang yang beragama Islam dan seluruhnya atau sebahagian besar sahamnya kepunyaan orang Islam sehingga dengan demikian maka kekuasaan dan wewenang baik mengenai administrasi maupun mengenai yang lainnya terletak di tangan orang Islam.
Sedangkan menurut Karnaen A. Parwaatmadja, Bank Islam atau Bank Syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba.
Dari definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bank Islam ataupun Bank Syariah adalah bank yang mana seluruh atau sebahagian besar sahamnya milik orang Islam dan beroferasi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan syariah Islam (al-Quran dan al-Sunnah) yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
3.4         Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah ataupun disebut juga bank perkreditan rakyat yang pola operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah Islam. BPRS ini dapat dibentuk dengan badan hukum berupa Perseroan terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan Daerah.
BPRS didirikan sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket kebijaksanaan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum, dan secara khusus mengisi peluang terhadap kebijaksanaan bank dalam penetapan tingkat suku bunga (rate of interest) yang selanjutnya secara luas dikenal sebagai system perbankan bagi hasil atau system perbankan Islam.
 BPRS sebagaimana tersebut di atas adalah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama masyarakat golongan ekonomi menengah, meningkatkan pendapatan perkapita, menambah lapangan kerja, mengurangi urbanisasi serta membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
BPRS ini adalah merupakan asset berharga ummat Islam yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan perekonomian umat Islam, namun sangat disayangkan dari 50 unit BPRS yang telah berdiri di Indonesia, yang sudah operasional barulah 17 unit. Hal inipun belum menunjukkan kinerja yang maksimal dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat Islam.
3.1         Asuransi Syariah
Asuransi dalam Islam lebih dikenal dengan istilah takaful yang berarti saling memikul resiko di antara sesama orang Islam, sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma (tabarru’) yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. Asuransi seperti ini disebut dengan Asuransi Syariah.[11]
Asuransi Syariah sebagaimana tersebut di atas mempunyai prinsip-prinsip pokok sebagai berikut :
1)      Saling bekerjasama dan saling membantu.
2)      Saling melindungi dari berbagai kesusahan.
3)      Saling bertanggungjawab.
4)      Menghindari unsur gharar, maysir, dan riba.
Asuransi syariah adalah merupakan aset berharga dan merupakan potensi umat Islam yang apabila dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik, maka akan dapat mengangkat harkat dan martabat umat Islam, khususnya dalam mengentaskan umat dari kemiskinan dan kehinaan, serta akan dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan baik. Namun demikian secara jujur diakui bahwa terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan Asuransi Syariah ini di lapangan.
3.2         Obligasi Syariah
Obligasi Syariah adalah suatu kontrak perjanjian tertulis yang bersifat jangka panjang untuk membayar kembali pada waktu tertentu seluruh kewajiban yang timbul akibat pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan ketentuan tertentu serta membayar sejumlah manfaat secara priodik menurut akad.
Perbedaan mendasar antara Obligai Syariah dan Obligasi Konvensional adalah terletak pada penetapan bunga yang besarnya sudah ditentukan di awal transaksi jual beli, sedangkan pada obligasi syariah saat perjanjian jual beli tidak ditentukan besarnya bunga, yang ditentukan adalah berapa proporsi pembagian hasil apabila mendapatkan keuntungan di masa mendatang.
Obligai syraiah sebagaimana tersebut di atas dapat dibagi kepada jenis-jenis obligasi syariah sebagai berikut:
a)      Obligasi mudharabah, yaitu obligasi yang menggunakan akad mudharabah (akad kerjasama antara pemilik modal / sahohibul maal / investor yang menyediakan dana penuh 100 % dan tidak boleh aktif dalam pengelolaan usaha dan pengelola/mudhorib/emiten mengelola harta secara penuh dan mandiri dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
b)      Obligasi ijarah, yaitu obligasi berdasarkan akad ijarah (suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian) artinya pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan obyek dengan manfaat tertentu dan membayar imbalan kepada pemilik obyek. Dalam akad ijarah disertai adanya perpindahan manfaat tetapi tidak perpindahan kepemilikan.

3.1         Pegadaian Syariah
Pegadaian syariah dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rahn. Rahn secara bahasa berarti at-tsubut (tetap), al-dawam (kekal), dan al-habas (jaminan). Secara istilah rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang berharga sebagai jaminan hutang dengan dasar bisa diambil kembali oleh orang yang berhutang setelah dia mampu menebusnya.
4.      Realitas Ekonomi
Dalam kehidupan ekonomi masyarakat muslim, yang paling penting adalah perlu dirumuskannya kaidah, konsep dasar, serta tujuan-tujuan yang harus dicapai sistem ekonomi Islam, tentunya hal itu bersumber dari hukum-hukum Islam yang bersifat kekal dan abadi. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya dari intelektual muslim guna merekonstruksi persoalan dimaksud, dengan melakukan penelitian, kajian dan analisa teks-teks ekonomi yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Nilai-nilai yang mampu dikaji dari kedua sumber tersebut, diharapkan bisa bersenyawa dengan realitas yang ada, sehingga akan melahirkan peradaban baru dalam kehidupan manusia yang syarat dengan norma dan etika[12].
Sampai dewasa ini, terdapat dua mainstream sistem ekonomi yang diterapkan dalam kehidupan, yaitu sistem kapitalis dan sosialis, kemudian disusul oleh hadirnya sistem ekonomi Islam yang dijadikan sebagai salah satu alternatif. Dalam perjalanan sejarah, ideologi yang dibawa oleh sistem sosialis mengalami stagnansi dan tidak mampu menjawab perubahan zaman. Ideologi ekonomi yang dibawa dalam kehidupan, tidak mampu mengakomodir persoalan-persoalan mendasar dan kebutuhan manusia, dan akhirnya mengalami keruntuhan. Sistem sosialis (bisa disebut juga dengan sistem komunis) pertama kali diperkenalkan di Uni Soviet, dimana sistem ini mempunyai prinsip dasar untuk tidak mengakui adanya kepemilikan dan kebebasan individu dalam berekonomi, serta dinafikannya kehadiran pasar bebas dalam aktivitas ekonomi. Dalam sistem ini, manusia sebagai pelaku ekonomi tidak mempunyai kebebasan untuk menjalankan hak-haknya, kebebasan, kehormatan dan hak-hak manusia dikorbankan demi menegakkan nilai-nilai sosialis yang ditawarkan oleh Karl Marx. Dengan terpasungnya kebebasan dan hak-hak manusia dalam berekonomi, adalah langkah awal yang akan menggiring sistem tersebut ke ambang kehancuran, karena seperti yang telah disadari bahwa elemen itu merupakan sesuatu yang asasi dalam kehidupan manusia, dan kita tidak bisa menafikannya.
Akhirnya, terdapat pergolakan dari masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini telah dikebiri, terjadi perlawanan terhadap sistem yang ada guna meraih nilai-nilai kebebasan dan kehormatan mereka sebagai sosok manusia. Sebagai makhluk, manusia merasa memiliki ‘nilai’ yang tidak bisa dijajah dan dieliminasi akan keberadaannya, terlebih mereka mempunyai dimensi lain dalam hidup, yakni kebutuhan spiritual.
Dengan munculnya peradaban baru dalam kehidupan manusia, hal itu akan memberikan perubahan terhadap gaya hidup dan nilai-nilai yang dipegang dalam kehidupan, terlebih dalam bidang ekonomi. Peradaban ini akan membawa perubahan yang cukup signifikan bagi kehidupan, sehingga memacu Islam untuk bisa menghadirkan pemikiran ataupun nilai-nilai untuk mengakomodir perubahan sebagai konsekwensi atas hadirnya peradaban baru. Dalam konteks ekonomi, sistem ekonomi yang telah berkembang, akan mempengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat muslim, sehingga diperlukan pencerahan nilai-nilai dari perspektif Islam.[13]
Khazanah pemikiran Islam semakin luas diperkaya dengan pengalaman empiris yang telah dilakukan oleh kedua khalifah pertama, nilai-nilai yang tercatat dalam sejarah tersebut memberikan kontribusi bagi dinamika pemikiran Islam. Tentunya, fenomena ini akan memperkaya pemikiran ekonomi yang mungkin akan diterapkan oleh negara tertentu. Apa yang telah dicatat oleh ulama, dijadikan sebagai bahan inspirasi guna mengembangkan pemikiran dan kebijakan yang mungkin akan diambil oleh komunitas tertentu seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia. Pemikiran dan kebijakan yang akan diambil oleh masing-masing negara bisa jadi berbeda antara satu dengan lainnya, perbedaan tersebut hanyalah merupakan kebijakan strategis yang disesuaikan dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang melatarbelakanginya, yang terpenting konsep dasarnya tidak dilupakan. Dengan adanya perbedaan kebijakan di negara maju, berkembang, atau bahkan terbelakang, akan memperkaya khazanah pemikiran Islam, baik dalam tataran teoritis ataupun aplikatif.
Apa yang telah dilkukn khalifah, setidaknya dapat dijadikan sebagai pendorong bagi masyarakat muslim dewasa ini guna melakukan kebangkitan untuk memperbaiki realitas yang ada. Sejarah telah menyaksikan dinamika kehidupan masyarakat muslim berikut perangkat kehidupan yang dibutuhkan, baik dari segi hukum, aturan ataupun pemikiran-pemikiran yang relevan dengan realitas yang ada. Dinamika Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, ataupun etika masyarakat, fenomena ini menunjukkan dinamisnya hukum dan aturan Islam untuk menjawab perubahan zaman. Realitas yang sekarang terjadi dalam masyarakat muslim, sudah saatnya untuk dicarikan solusi ataupun alternatif dalam perspektif Islam. Intelektual muslim harus bekerja keras untuk merekonstruksi apa yang telah dituliskan ulama terdahulu dengan melihat realitas yang ada, baik dari segi teoritis maupun praksis. Namun, satu hal yang perlu dicatat, tidak boleh keluar dari aturan dasar yang telah ditentukan oleh agama. Pembaharuan yang akan dilakukan oleh intelektual muslim harus mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan agama, agama telah menetapkan aturan-aturan maupun instrumen yang mungkin bisa digunakan untuk melakukan pembaharuan.
Al-Qur’an mungkin hanya akan menyediakan aturan global tanpa disebutkan secara terperinci, kemudian kita menggunakan hadist sebagai penjelas atau pemerinci aturan yang ada dalam al-Qur’an. Namun, jika aturan tersebut belum mendapatkan kejelasan, kita bisa menggunakan instrumen ijma’, qiyas, istihsan, masalih mursalah, dan ‘urf untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Selain itu, kita bisa menggunakan kaidah al ma’ruf ‘urfan ka al masyruthi syarthan (sesuatu yang telah menjadi kebiasaan bisa dijadikan/dianggap sebagai syarat), al dhalurat tubihu al mahdzurat (kondisi darurat dapat memperbolehkan sesuatu yang dilarang), maa la yudraku kulluh laa yutraku kulluh (apa yang tidak bisa kita capai secara sempurna, jangan ditinggalkan semuanya) ataupun kaidah apa yang dianggap baik oleh kaum muslim, maka hal itu juga baik di hadapan Allah, dan masih banyak kaidah lainnya.[14]
C.     PENUTUP
Kesimpulan
       Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam Islam yaitu memberikan mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
            Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
            Teori konsumsi lahir karena adanya teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan permintaan akan barang dan jasa timbul karena adanya keinginan (want) dan kebutuhan (need) oleh konsumen riil maupun konsumen potensial. Dalam ekonomi konvensial motor penggerak kegiatan konsumsi adalah adanya keinginan.
Lembaga-lembaga perekonomian dalam islam antara lain: Badan Perwakafan Nasiona, Baitul Maal Wat Tamwil, Bank Syariah, Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Asuransi Syariah dan Obligasi Syariah

Saran
       Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi.
                                                    




D.    DAFTAR PUSTAKA
Anto, Hendrie, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2003.
Ash Shadr, Muhammad Baqir, Buku Induk Ekonomi Islam – Iqtishaduna, terj.        Yudi, cet.1, Jakarta: Zahra, 2008.
Budi, Aziz, Etika Produks Dalam Islam, http://agustianto.niriah.com, didownload             pada 5 Juni 2013
Chamid, Nur, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka        Pelajar, 2010.
Masykuroh,  Ely, Pengantar Teori Ekonomi, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,    2008.
Mannan, M.A, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”, Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman:    Malaysia, 1992.
Muhamad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Supardi, Ahmad, Lembaga-Lembaga Perekonomian Dalam Islam,             www.hupelita.com, didownload pada 8 Juni 2013.
K. Lubis, Surawardi, Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.



                [1] Muhammad Baqir Ash Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam – Iqtishaduna, terj. Yudi, cet.1 (Jakarta: Zahra, 2008), hal. 251
[2] Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 102
[3] M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”, Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, (Longman: Malaysia, 1992), hal. 120-130.
[4] Aziz Budi, Etika Produks Dalam Islam, http://agustianto.niriah.com

                [5] Ely Masykuroh, Pengantar Teori Ekonomi, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), hal, 141.
[6] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hal. 125.
[7] Ely Masykuroh, Pengantar Teori. . . , hal, 144
                [8] Muhamad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 25
                [9] Ibid, hal. 27
                [10] Ahmad Supardi, Lembaga-Lembaga Perekonomian Dalam Islam, www.hupelita.com, didownload pada 8 Juni 2013.
                [11] Muhamad, Lembaga Keuangan. . . , hal. 29
                [12] http://www.dudung.net/artikel-islami/realita-umat-islam-sekarang.html, didownload pada 8 Juni 2013
                [13] http://www.dudung.net/artikel-islami/realita-umat-islam-sekarang.html, didownload pada 8 Juni 2013
                [14] Surawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 33.